Ironi Mega Proyek Cetak Sawah 3 Juta Hektare di Luar Jawa

0
52
Para petani yang tergabung dalam Kelompok Tani Somnya Pertiwi mengadakan upacara bendera memperingati HUT ke-79 Kemerdekaan RI di area persawahan di Dusun Wangaya Betan, Desa Mengesta, Kecamatan Penebel, Kabupaten Tabanan, Bali, Sabtu (17/8/2024) ANTARA/Nyoman Hendra Wibowo/Dewa Ketut Sudiarta Wiguna

JAKARTA – Peneliti Institute for Demographic and Affluence Studies (IDEAS), Sri Mulyani, menyoroti salah satu program utama pemerintahan Presiden Prabowo yaitu megaproyek cetak sawah baru 3 juta hektare di luar Jawa.

Melalui cetak sawah skala besar di luar Jawa ini, Indonesia ditargetkan akan swasembada beras pada 2027, menjadi eksportir beras pada 2028, dan menjadi lumbung pangan dunia pada 2029.

Sri Mulyani mengatakan bahwa proyek ambisius tersebut menyimpan ironi besar karena di satu sisi pemerintah berencana membuka lahan sawah baru, sementara laju alih fungsi lahan sawah secara masif masih terus terjadi, terutama di Jawa yang merupakan lumbung pangan nasional.

“Lahan sawah produktif, terutama di Jawa terus berkurang akibat dari masifnya alih fungsi lahan. Sepanjang 2013-2019, luas lahan baku sawah (LBS) nasional secara resmi berkurang 287 ribu hektare, dari 7,75 juta hektare pada 2013 menjadi 7,46 juta hektare pada 2019,” kata Sri melalui keterangan tertulis, Senin (3/2/2025).

Dari 7,46 juta hektare LBS pada 2019, sentra sawah nasional terkonsentrasi di Jawa (46,5 persen), diikuti Sumatra (23,5 persen), Sulawesi (13,0 persen), dan Kalimantan (9,7 persen).

Sri menambahkan bahwa lahan pertanian pangan sudah lama menghadapi tekanan alih fungsi lahan yang masif. Lahirnya Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2009 tentang Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan (LP2B) tidak mampu menurunkan tekanan alih fungsi lahan ini.

“Jawa, yang merupakan lumbung pangan nasional dengan intensitas tenaga kerja yang tinggi, makin terdesak lahan pertaniannya oleh industrialisasi dan urbanisasi,” ujar Sri.

Untuk mengetahui besaran dan kecepatan alih fungsi lahan sawah produktif, terutama di Jawa, sekaligus menguji kesahihan data luas LBS 2019, IDEAS melakukan pengukuran luas sawah di wilayah aglomerasi Jakarta di mana tekanan untuk alih fungsi lahan pertanian sangat tinggi.

“Dengan metode digitasi tutupan lahan berbasis citra satelit dari Google Earth yang memiliki resolusi spasial tinggi, kami melakukan proses interpretasi dan digitasi data citra satelit olahan secara on-screen untuk menghasilkan peta tutupan lahan (sawah),” tutur Sri.

Dari LBS 2019 diketahui bahwa luas lahan sawah di kawasan aglomerasi Jakarta (Jabodetabek plus Cianjur, Karawang, dan Serang) adalah 374.582 hektare, dengan nyaris seluruhnya terkonsentrasi di enam kabupaten, yaitu Karawang (27,2 persen), Cianjur (18 persen), Bekasi (15,4 persen), Serang (13,2 persen), Bogor (12,3 persen), dan Tangerang (10,5 persen).

“Pada 2024, kami memperkirakan luas lahan sawah di kawasan aglomerasi Jakarta (Jabodetabek Raya) tersisa 296.871 hektare. Dengan kata lain, antara 2019 dan 2024 setidaknya 77.711 hektare sawah telah hilang di Jabodetabek Raya, setara dengan tingkat konversi lahan sawah 4,54 persen per tahun,” ungkap Sri Mulyani.

Sri menambahkan bahwa dari dari 77.711 hektare lahan sawah yang lembaganya estimasi telah hilang sepanjang 2019-2024 di kawasan aglomerasi Jakarta, nyaris seluruhnya terjadi di enam kabupaten sentra sawah aglomerasi, yaitu Bekasi (21.027 hektare), Cianjur (13.809 hektare), Bogor (12.956 hektare), Karawang (8.823 hektare), Serang (8.571 hektare), dan Tangerang (6.824 hektare).

Hilangnya 77.711 hektare lahan sawah ini membuat pangsa luas sawah terhadap luas wilayah kawasan aglomerasi menurun tajam dari 26,3 persen pada 2019 menjadi hanya 20,8 persen pada 2024.

“Penurunan intensitas luas sawah paling tajam terjadi di Bekasi, dari 46 persen pada 2019 menjadi tersisa 29,2 persen pada 2024. Sepanjang 2019-2024, Bekasi kehilangan 21.027 hektare sawah, setara dengan tingkat konversi lahan sawah 8,70 persen per tahun,” papar Sri Mulyani.

Menurut Sri, kebijakan pencetakan sawah baru di luar Jawa tampak sebagai solusi instan yang belum tentu efektif. Karakteristik lahan di luar Jawa sangat berbeda dengan lahan pertanian di Jawa yang subur dan memiliki sejarah panjang dalam pertanian pangan.

Sebagian besar lahan yang akan digunakan untuk sawah baru adalah lahan gambut, rawa, atau tanah berpasir yang secara alami tidak cocok untuk padi.

Membangun ekosistem sawah di lahan baru bukanlah perkara mudah. Selain membutuhkan investasi yang sangat besar untuk infrastruktur seperti irigasi, waduk, dan jaringan pengairan, menciptakan sawah baru juga memerlukan tenaga kerja dengan budaya pertanian yang sudah terlatih.

“Seharusnya, kebijakan pemerintah lebih diarahkan untuk mempertahankan lahan sawah yang tersisa di Jawa dan meningkatkan kesejahteraan petani. Jika alih fungsi lahan sawah tidak dihentikan, maka program cetak sawah baru di luar Jawa hanya akan menjadi upaya tambal sulam yang tidak menyelesaikan akar masalah,” tutup Sri.

Advertisement div class="td-visible-desktop">

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here