Jalan Mudah ke “Suriah”

0
280

Tenda-tenda besar berwarna biru, putih, coklat—entah itu memang berwarna asli coklat atau putih yang berubah menjadi coklat karena sudah dipenuhi debu dan pasir—berjejer rapih di tengah padang yang luas.

Beberapa anak kecil asik bermain bola berwarna putih-hitam yang mereka tendang ke sana ke mari. Di antara mereka mengalihkan fokus kepada kami dan mengacungkan kedua jarinya. Entah, apakah mereka paham simbol acungan dua jari yang menyerupai huruf “V” itu. Di bagian lainnya, seorang ibu yang tengah menyuapi anaknya yang masih balita, ada pula yang tengah membawa ember beserta bungkusan plastik warna hitam yang tak kami ketahui apa isinya. Mereka berjalan bergerombol dari balik tenda besar itu.

Demikianlah gambaran salah satu kamp pengungsian warga Suriah di wilayah selatan Turki, tepatnya di Provinsi Hatay. Selain di Hatay, kamp-kamp pengungsian yang disiapkan Pemerintah Turki untuk rakyat Suriah yang tengah mengalami perang sipil di negaranya, juga terdapat di beberapa provinsi lainnya, seperti Adana, Gaziantep, Osmaniye, dan Adiyaman. Total ada 14 kamp pengungsi yang menampung sekitar 600 ribu warga Suriah.

Menurut data terakhir yang dirilis Badan PBB untuk Pengungsi (UNHCR) di Turki, ada sekitar 1 juta orang yang eksodus ke Turki, dan setengah di antaranya tinggal di luar kamp. Bahkan, UNHCR memprediksi jumlah itu bisa terus bertambah seiring belum adanya titik terang penyelesaian konflik di Suriah.

Untuk ukuran kamp pengungsian, kondisinya memang cukup nyaman. Selain tempat tinggal yang nyaman, kebutuhan makanan dan air untuk mereka juga terpenuhi. Selain itu, Pemerintah Turki juga menyediakan layanan kesehatan gratis dan berbagai layanan sosial lainnya.

Bayangan saya tentang deru peluru, dentuman bom dan mortir, serta gambaran horror peperangan lainnya, ketika pertama kali menerima misi ini hilang seketika. Kami memang sempat mendengar rentetan tembakan dan bunyi ledakan, tak jauh ketika kami menyambangi posperbatasan Suriah-Turki di provinsi Killis. Tapi kami tak sempat melihatnya secara langsung.

Di balik jeruji kawat yang panjang membenang itu, terdapat beberapa bangunan seperti gubuk sederhana. Di sana nampak jelas pria berseragam loreng, meski tak sama antara satu dengan yang lainnya. Di pundak mereka juga tergantung senapan laras panjang seperti AK-47.

***
“Ahmad, tolong siapkan paspor ya. Susun anggaran dan cari kontak untuk mitra kita di Suriah,” demikian kira-kira instruksi atas saya, ketika itu.

Saya tak banyak bertanya, instruksinya sudah cukup jelas. Segera saja saya melakukan pencarian kontak yang bisa kami ajak kerjasama. Saya menghubungi dua lembaga kemanusiaan yang pernah masuk ke Suriah sebelumnya, namun responnya sangat lambat. Saya pun browsing melalui internet, dan ketemulah di situs jejaring sosial Facebook dengan Ketua Persatuan Pelajar Indonesia (PPI) di Turki. Akses menuju Suriah yang paling memungkinkan memang melalui Turki.

Mungkin karena tinggal di perantauan dan jauh dari sanak saudara yang membuat mereka begitu welcome dan antusias ketika ada orang Indonesia yang akan datang ke Turki. Benar saja, setibanya kami di Istanbul, Mas Bayu yang juga pengurus PPI, sudah menyambut dengan penuh hangat. Kami diantar ke KJRI untuk melapor dan koordinasi.

Sehari di Istanbul kami langsung terbang ke Adana, titik terdekat yang berbatasan dengan Suriah, di sana pun ada kamp pengungsi Suriah. Di Adana pun kami sudah disambut teman-teman PPI. Semalam menginap di Adana, kami kembali memeneruskan ke Gaziantep selama tiga jam perjalanan di darat, untuk memudahkan koordinasi dan aksi kemanusiaan.

Menginap di hotel bukan pilihan terbaik ketika itu, karena lokasinya sangat jauh dari titik perbatasan dan akan menghabiskan waktu untuk perjalanannya. Akhirnya, atas inisiatif dan usaha rekan-rekan PPI seperti mas Shalahudin, Harris, dan Erik kami diinapkan di apartemen salah satu rekan mereka yang asli Turki bernama Ahmed. Bersyukur Ahmed tidak keberatan apartemennya kami jadikan Posko.

Di Gaziantep inilah kemudain kami ditemukan dengan salah satu organisasi kemanusiaan lokal bernama Kimsiyokmu. Atas saran mereka kami tidak dianjurkan melintasi perbatasan dan masuk ke wilayah Suriah. Menurutnya, kondisi di Suriah sangat tidak menentu, dan sangat mengancam keamanan kita. Oleh karenanya ia menganjurkan kami membantu warga Suriah yang ada di Turki.

Menurut orang Kimsiyokmu, selain di kamp pengungsian, ada 300 ribu lebih warga Suriah yang tinggal di Turki. Mereka menyewa rumah atau menempati gedung-gedung lama yang tak terpakai sebagai tempat tinggal. Adapula yang menumpang di bunker warga dan ruko-ruko kosong. Mereka juga hidup bergerombol. Keberadaan mereka liar, tak terdata oleh aparat.

Salah satu alasan mereka tidak mau tinggal di kamp pengungsian, karena mereka masih sering kembali ke Suriah karena masih ada keluarga yang tak ingin mengungsi. Warga Suriah memang bisa dengan mudah melintasi perbatasan untuk keluar-masuk di kedua wilayah ini. Selain itu, dengan tinggal di luar pengungsian, mereka juga dapat mencari nafkah di luar.

“Jika tinggal di kamp pengungsian, aturannya sangat ketat, mereka tak bisa sembarang keluar-masuk kamp,” ujarnya.

Bersamaan dengan itu, Pak Asmoro, Direktur DMC yang juga ikut serta ke Turki, menyampaikan amanat hasil koordinasi dengan KBRI di Ankara, bahwa tim sebaiknya tidak masuk ke Suriah. Pasalnya, kami membawa bantuan atas nama Indonesia. Sementara Pemerintah Indonesia tak mau diplomasi yang tengah diupayakannya di Suriah terganggu.

“Jika kita membantu pemberontak, pemerintah Suriah akan marah, jika kita membantu mereka yang pro pemerintah, pemberontak akan marah,” demikian alasan yang disampaikan.

Akhirnya kami putuskan untuk bermain di posisi netral dengan tidak masuk ke wilayah Suriah. Kami hanya membantu warga Suriah yang liar tadi, yang tidak mau tinggal di pengungsian. Ratusan paket makanan, selimut, dan kebutuhan hidup lainnya kami berikan kepada mereka dengan dibantu Kimsiyokmu dan relawan mahasiswa Indonesia di Turki atau PPI.

Alhamdulillah kami tak perlu bertaruh nyawa di medan tempur Suriah. Kavler yang kami bawa pun tak terpakai. Kami juga tak perlu mengendap-endap di balik tembok untuk menghindari peluru nyasar. Tak mengapa jalan yang kami tempuh lebih mudah, toh misi kami untuk membantu rakyat Suriah tetap tertunai, mereka juga orang-orang Suriah korban peperangan yang tak berkesudahan. Hidup mereka merana karena sumber penghidupan mereka porak poranda.

[kilas data]
Gelombang revolusi Arab atau yang biasa dikenal dengan Arab Spring (musim semi Arab) pada tahun 2010 yang bermula di Tunisia, Libya dan Mesir, terus menjalar ke Suriah. Unjuk rasa besar-besaran rakyat Suriah pada 26 Januari 2011 yang menuntut pengunduran diri Presiden Bashar Al Assad menjadi titik awal perlawanan milisi yang ingin menggulingkan Presiden Assad.
Pemerintah Suriah mengerahkan tentara untuk memadamkan api perlawanan yang dilakukan oleh puluhan kelompok opisisi bersenjata yang bersatu di bawah bendera Tentara Pembebasan Suriah ini. Peperangan ini kemudian mengarah ke konflik sectarian yang hingga kini belum dapat diselesaikan.
Berbeda dengan proses Arab Spring lainnya, penggulingan kekuasaan di Suriah relatif lebih lama, dan belum ada titik terang akan berakhirnya konflik ini ketika tulisan ini dibuat. Bahkan, berita terakhir menunjukkan eskalasi konflik semakin luas setelah tentara pemerintah menggunakan senjata kimia untuk melawan oposisi.

Sebagaimana lazimnya peperangan, rakyat sipil yang tak tahu apa-apa menjadi korban terbanyak dari konflik ini. Data terakhir yang dirilis oleh Pengawas HAM Suriah menyebutkan, 115 ribu orang telah tewas dalam 30 bulan peperangan ini. Di antara mereka yang tewas adalah 47.206 pendukung Presiden Bashar al-Assad dan 23.707 militan yang melawannya. Dari jumlah itu, 28.804 merupakan tentara umum, 18.228 orang lainnya merupakan militan pro-rezim dan informan.

Sebanyak 174 orang yang tewas berasal dari Hizbullah yang berperang membela al-Assad di Suriah. Sementara di sisi oposisi, 17.071 korban tewas yang berasal dari warga sipil yang memilih memegang senjata untuk memberontak melawan rezim.

Selain dari itu, sebanyak 2.176 orang merupakan tentara yang membelot, dan 4.460 orang merupakan militan asing atau yang tidak teridentifikasi. Warga sipil yang tewas dalam perang sebanyak 41.533 orang. Di antara korban tewas tersebut terdapat 6.087 anak-anak dan 4.079 wanita. (Republika 2 Oktober 2013).

Selain itu, peperangan ini juga mengakibatkan 1 juta lebih warga Suriah yang eksodus, mengungsi menghindari peperangan. Mereka menempati pos-pos pengungsian yang disiapkan Pemerintah Turki, juga hidup secara mandiri di Turki dan beberapa negara yang berbatasan dengan Suriah lainnya.

Advertisement div class="td-visible-desktop">

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here