
SUKABUMI – Anak-anak di Kampung Parakan Peteuy, Desa Walangsari, Kecamatan Kalapanunggal, Kabupaten Sukabumi, Jawa Barat, sering mengalami bahaya terjatuh dari jembatan saat pergi ke sekolah.
Terutama ketika hujan turun semalam suntuk. Para ibu cenderung memilih untuk meliburkan anak-anak mereka daripada membiarkan mereka berangkat sekolah.
Pasalnya, jembatan menjadi licin dan tidak aman untuk dilalui. Mereka lebih khawatir keselamatan anak-anak mereka daripada kehilangan beberapa pelajaran matematika.
Rina, seorang guru di SDN 1 Ciherang, menyampaikan kisah kekhawatirannya dan warga Kampung Parakan Peteuy terkait kondisi jembatan gantung di desa tersebut.
Dia menceritakan betapa sulitnya kehidupan remaja di desa tersebut, terutama karena jembatan gantung tersebut menjadi momok yang menakutkan.
“Kayak Fikri pas mau berangkat ke sekolah. Dia nangis dan pulang lagi terus bilang ke orang tuanya kalau kakinya kejeblos di jembatan dan sendalnya hanyut ke sungai,” ujar Rina.
Penghubung Desa
Jembatan tersebut menghubungkan Desa Walangsari, Kecamatan Kalapanunggal, dengan Desa Gunungmalang di Kecamatan Cikidang. Dan, menjadi satu-satunya akses bagi warga. Selain pejalan kaki, pengendara motor juga melintasi jembatan tersebut.
Jembatan gantung tersebut terbuat dari tumpukan kayu dan bambu, yang digantung dengan tali seling baja. Sehingga, mampu menggantung di atas sungai yang arus airnya menjadi deras saat musim hujan.
Karena terbuat dari bahan kayu, jembatan ini cenderung menjadi lembap saat musim hujan dan sangat licin seperti es. Kejadian terpeleset akibat licinnya lintasan jembatan seringkali terjadi. Salah satunya dialami oleh Rina.
Dia menceritakan pengalamannya ketika hendak pergi ke sekolah melalui jembatan gantung tersebut. Ketika melintasi jembatan, motor yang dikendarainya hampir terjatuh ke sungai karena licinnya jembatan.
Sebagian bagian belakang motornya bahkan sudah keluar dari jembatan. Beruntung, bagian lain dari motornya masih tersangkut pada tali seling baja jembatan.
Meskipun mengalami insiden tersebut, Rina berhasil selamat dari bahaya yang sering dikhawatirkan oleh warga.
“Yang bikin motor diem, tuh, karena nyangkut di tali seling itu. Udah gitu, kata orang tua saya, ‘udahlah gak usah sekolah’. Cuma, ya, karena tantangannya seperti itu saya nekat sekolah, saya tetap sekolah,” kata Rina.
Kejadian tersebut bukanlah yang pertama kali dialami oleh Rina.
“Kalau lagi jalan kaki, terus kaki saya terperosok karena kayu atau bambu jembatan rusak, terus sandal saya jatuh dan hanyut ke sungai. Itu, sih, sudah biasa. Jadi, emang harus hati-hati banget,” ungkapnya.
Hambatan Utama Warga
Sebagai seorang guru dengan pengalaman hampir tujuh tahun, Rina memiliki pemahaman yang baik tentang hambatan-hambatan yang dihadapi anak-anak sekolah di Kampung Parakan Peteuy. Salah satu hambatan utama yang sangat nyata, ya, jembatan.
Kondisi jembatan yang memprihatinkan, terutama saat cuaca buruk, membuat anak-anak enggan berangkat sekolah karena takut melintasi jembatan yang licin akibat hujan. Bahkan, orang tua juga khawatir akan keselamatan anak-anak mereka.
“Kalau misalnya hujan, orang tua pasti bilang, ‘Sekarang hujan, mending gak usah sekolah aja. Soalnya di jembatannya nanti licin’,” ucap Rina sembari memeragakan cara orang tua murid berbicara.
Dalam situasi seperti itu, menurut Rina, orang tua melarang anak-anak mereka untuk berangkat sekolah. Tetap tinggal di rumah menjadi pilihan terbaik daripada harus melewati jembatan gantung yang tidak aman di atas arus sungai yang deras.
“Ada cuaca yang gak memungkinkan juga, orang tua bilang ‘gak usah ke sekolah’ itu sering. Misalnya, ‘lah, jalan jembatannya aja gitu, jadi gak usah lah!’,” kata Rina.
Kengerian akan kondisi jembatan yang tidak aman tidak hanya memengaruhi anak-anak sekolah, tetapi juga semua aspek kehidupan warga desa, termasuk dalam situasi darurat seperti ibu hamil tua yang harus segera dibawa ke tempat persalinan.
“Jembatan kan gak bisa dilewatin mobil, ya. Mobil ambulans itu ada di seberang sungai. Jadi, kalau ada yang mau lahiran, para bapak-bapak udah kerja sama bikin tandu dari sarung. Si ibu hamil tiduran di atas tandu sarung itu. Dibawa ke seberang jembatan,” ujar Rina.
Jembatan untuk Kehidupan
Rina menjelaskan, betapa pentingnya jembatan bagi kehidupan sehari-hari warga desa. Jembatan menghubungkan kebutuhan dari generasi muda hingga yang tua.
Mulai dari anak-anak yang pergi ke sekolah, gadis kecil yang menghadiri pengajian, ibu hamil yang butuh penanganan darurat, hingga bapak-bapak yang pergi ke ladang untuk bertani.
Dari cerita Rina, kita dapat memahami bahwa keberadaan jembatan memperkuat ikatan antarwarga desa, mendorong kerja sama, solidaritas, dan kolaborasi dalam mengatasi masalah yang dihadapi.
Rina berharap jembatan yang saat ini memprihatinkan segera diperbaiki dan dibangun ulang menjadi lebih baik, seperti jembatan penyeberangan di kota-kota.
Dia yakin bahwa dengan demikian, kekhawatiran yang dirasakannya dan warga desa akan hilang. Anak-anak dapat pergi ke sekolah dengan aman, tanpa khawatir tergelincir di lintasan bambu licin atau kayu lapuk yang rentan hancur.
“Jembatan bisa diperbaiki jadi lebih layak. Jadi gak ada lagi tuh orang tua yang takut anaknya ke sekolah pas lagi hujan. Rasa khawatir mereka bisa hilang. Itu aja harapannya,” pungkas Rina, penuh harap.
DMC Dompet Dhuafa hadir dengan program “Jembatan untuk Kehidupan” di Desa Walangsari, Sukabumi, berupaya membangun jembatan yang aman dan layak.
Dengan demikian, jembatan tersebut dapat menjadi penyambung kehidupan, dan kegelisahan akan kondisi jembatan yang buruk dapat berubah menjadi harapan yang cerah.