spot_img

Jual Nama Orangtua

DALAM deklarasi pasangan Capres-Cawapres di Museum Arsip Nasional Republik Indonesia (ANRI) di Jalan Gajah Mada Rabu  lalu, Mahfud MD yang jadi Cawapresnya Ganjar Pranowo sempat memperkenalkan 2 dari 3 anaknya. Mereka adalah: Dokter M. Ikhwan Zein, dr. Vina Amalia. Sedangkan putra ke-3, Royhan Akbar tidak hadir karena sedang menempuh progam S2 di Amsterdam. Mereka kuliah dengan bea siswa, tanpa mengandalkan apa lagi menjual nama besar orangtua.

Dokter Vina Amalia saat kuliah di Universitas Airlangga Surabaya, sempat dikira mahasiswi miskin, karena tampilannya yang kurus dap pucat. Seorang dosennya yang merasa kasihan sering memberikan susu untuk penambah gizi. Tapi ketika sang dosen diundang mampir ke rumahnya di Yogya, dia terperangah karena mahasiswi yang sering diberi susu olehnya itu ternyata anak Prof. Dr. Mahfud MD yang kala itu menjadi Ketua MK. Kata Mahfud MD kemudian, “Saya memang wanti-wanti pada semua anakku, jangan bilang bahwa kalian itu anakku.”

Jangankan jadi mentri, ayah jadi mantri klinik atau mantri hewan saja, seorang anak pasti bangga atas posisi orangtua. Anak membanggakan status orangtuanya memang jamak. Apa lagi menjadi pejabat tinggi negara, anak-anaknya pasti bangga luar biasa. Tapi tak perlu dipamer-pamerkan, kemudian memanfaatkan previlege (hak istimewa) atau menjual nama sang ayah. Kini banyak kejadian semacam itu, sehingga bikin malu orangtuanya. Begitu berurusan dengan hukum, eh ketahuan ayahnya seorang menteri, anggota DPR, pejabat pajak.

Kita  masih ingat, bagaimana anak Menko Ekonomi Hatta Radjasa nabrak orang sampai mati di tol Jagorawi (2013), tak perlu masuk penjara, cukup kasih ganti rugi Rp 12 juta. Hukumannya pun hanya 5 bulan dengan masa percobaan 6 bulan. Itu sama saja bohong, karena si Rasyid Amrullah tak perlu menjalaninya. Tragis kan, menghilangkan dua nyawa sekaligus hanya dikompensasi Rp 12 juta, apa pernyawa dihargai Rp 6 juta? Harga emas kala itu Rp 580.000,- pergram.

Kemudian kasus anak Ahmad Dhani pemusik dan pemilik band Dewa-19. Si Dul ini bak keturunan dewa kahyangan. Sebab ketika mobilnya menabrak mati 7 orang di jalan tol Jagorawi, dibebaskan dari hukuman oleh hakim. Alasan majelis hakim, si Dul masih anak-anak usia 13 tahun (2013), dan sopan di persidangan. Hanya kurang kasih sayang, sementara para keluarga korban sudah berdamai dengan kompensasi keuangan. Elok kan, kurang kasih sayang bisa dibarter dengan kasih duit.

Gara-gara dua kasus yang terjadi di tahun yang sama, di jalan tol yang sama pula, publik pun makin kenceng mengeluh dan menuduh bahwa hukum di negeri ini hanya tajam ke bawah tapi tumpul ke atas. Tragis kan, wet (hukum) kalah dengan duwit. Tapi itu memang sudah biasa terjadi. Paling sepele saja, pelanggaran lalulintas di jalan raya, oknum-oknum polisinya siap membebaskannya dengan istilah “lapan anem” alias damai.

Anak Hatta Radjasa dan Ahmad Dhani bisa menjual nama orangtuanya, karena memang mereka layak jual atas ketenarannya. Tapi ternyata, anak-anak orang kaya yang ayahnya tidak terkenal sepert Hatta Radjasa dan Ahmad Dhani, mencoba memamerkan dan membanggakan orangtunya dengan caranya sendiri. Tetapi ketika jaman sudah sedikit berubah, usaha mereka tak berhasil. Misalkan Mario Dandy Satrio anak Rafael Alun Trisambodo pejabat di Ditjen  Pajak, dan Ronald anak anggota DPR Edward Tanur.

Mario menganiaya David sampai koma gara-gara urusan cewek. Ketika menjadi masalah hukum dia berharap ayah bisa menyelamatkan, karena Rafael Alun itu pejabat pajak yang kaya raya. Tapi ternyata, sang ayah akhirnya angkat tangan karena dia sendiri justru ditangkap gara-gara korupsi uang pajak. Walhasil, meski Mario anak sendiri yang salah didik, pada akhirnya Rafael Alun tak bisa menolong anak lelakinya.

Begitu pula dengan Ronald, yang tega menganiaya janda Dini sampai tewas, dia berharap ayah bisa menolong lewat pengaruhnya. Yang terjadi malah Edward Tanur dari PKB ini dicopot sebagai anggota DPR. Mestinya dia kan bisa gunakan pengaruh Ketum PKB Cak Imin, tapi yang bersangkutan masih sibuk nyawapres. Mana mungkin blionya bisa menolongnya.

Orang Jawa punya filosofi, aja gumunan lan aja kagetan.  Contohnya Mahfud MD ini, meski sebagai pejabat tinggi negara, dia tidak kagetan dengan memanfaatkan kekayaan dirinya sebagai pejabat untuk memanjakan anak-anaknya. Dia juga tidak gumunan ketika diprank Capres Jokowi di Pilpres 2019, sehingga batal jadi Cawapres. Berkat kesabaran dalam penderitaannya tersebut, Allah pun membalas-Nya dengan memberi jalan sebagai Cawapres-nya Ganjar pada Pilpres 2024 mendatang. (Cantrik Metaram).

 

Gara-gara kepongahan Mario Dandy Presetyo, ayahnya jadi terbawa. Bahkan praktek korupsi Rafael Alun Trisambodo di Ditjen Pajak jadi oh oh….. ketahuan.

 

 

 

spot_img

Related Articles

spot_img

Latest Articles