spot_img

Kearifan Lokal Desa Sinar Resmi, Berdaya Karena Adat dan Tradisi

Dengan ketaatan pada adat dan rasa syukur kepada Allah SWT, masyarakat Kasepuhan Sinar Resmi tidak pernah merasakan kelaparan.

Berdiri di sebuah sisi jalan di Desa Sirna Resmi, Kecamatan Cisolok, Kabupaten Sukabumi, Jawa Barat, dan memandang ke arah lembah, kita disuguhkan pemandangan apik dari kumpulan bangunan eksotik. Di sana ada rumah besar beberapa lantai dan terlihat seperti istana, yang penduduk setempat memanggilnya Imah Gede.

Di Imah Gede ini Abah Asep Nugraha, 50 tahun dan istrinya Ambu Noor Hasanah, 49 tahun, tinggal. Abah adalah pemimpin Kesatuan Adat Banten Kidul, Kasepuhan Sinar Resmi. Ia generasi kesepuluh dari kasepuhan yang tertulis dalam sejarah, meskipun diyakini kasepuhan ini sudah berusia lebih lama dari tanda-tanda usia yang tertulis dalam sejarah itu. Sebelum kasepuhan, Sinar Resmi dikenal sebagai Kakolotan Cikaret.

Selain Imah Gede, ada pula bangunan kecil di samping kanan, Ajeng (ruang kesenian) di sini terletak alat-alat kesenian yang digunakan kasepuhan untuk upacara. Di samping kiri ada bangunan Pangkemitan, tempat penjaga Imah Gede berkumpul, dan di dalamnya ada Ruang Panyayuran ruang tempat pengolahan makanan untuk penghuni Imah Gede. Di samping kanan setelah bangunan Ajeng, ada ruang pertemuan (Bale Riyungan) tempat musyawarah warga adat kasepuhan.

Setelah ruang pertemuan itu, bangunannya bersambung dengan kumpulan rumah-rumah penduduk. Bentuk rumah-rumah ini sangat khas, meskipun tidak semua bahan bangunannya tradisional. Di antara rumah, ada yang memiliki kaca dan beberapa perabotan modern, namun bila dilihat dari estetika aristektur dan penggunaan atap kirai yang dilapisi ijuk serta anyaman bambu sebagai pelapis dinding, rumah tersebut terlihat masih sangat menonjolkan kearifan lokal.

Komplek perumahan di Kasepuhan Sinar Resmi itu, tampak indah dan anggun dengan kumpulan rumah tradisional yang masih lestari. Di depan Imah Gede sendiri, terhampar lapangan yang luas. Di sinilah berbagai upacara adat di gelar, dan halaman ini dapat menampung ratusan mobil tamu yang berkunjung ke kasepuhan. Di pinggir-pinggir halaman Imah Gede ini, berdiri pula lumbung-lumbung atau gudang padi yang masyarakat sana menyebutnya Leuit.

Di Leuit ini, kasepuhan menyimpan padi dari hasil panen sawah-sawah dan ladang mereka. Leuit inilah sumber ketahanan pangan masyarakat kasepuhan. Aturan adat di kasepuhan yang tidak membolehkan menjual padi dan makanan yang berasal dari beras, membuat masyarakat di kasepuhan ini tidak pernah didera kelaparan.

Mereka juga tidak harus mendatangkan beras dari negeri lain, karena untuk sekali panen saja, mereka sudah bisa survive atau bertahan untuk minimal  tiga tahun ke depan. Bahkan di Imah Gede masih ada Leuit yang menyimpan padi hasil panen 14 tahun yang lalu, dan ketika dijadikan beras dan dimasak, rasanya masih enak seperti nasi dari beras baru dipanen.

Dalam satu Leuit (standar) disimpan minimal 365 ikat (pocong) padi, yang artinya, keluarga tersebut tidak akan mungkin kekurangan makan dalam satu tahun. Pasalnya, satu hari mereka hanya membutuhkan beras yang hanya bersumber dari satu pocong padi yang diambil dari simpanan di Leuit. Padi tersebut ditumbuk dengan alu dan lisung (lesung) secara tradisional, beras dari satu ikat padi tersebut sudah dapat memenuhi kebutuhan satu keluarga per hari itu.

Bahkan di Leuit ini, padi-padi disimpan dengan sangat hati-hati dan memakai teknik penyimpanan yang masih terjaga turun temurun. Padi diberlakukan seperti makhluk hidup dan dimuliakan. Perlakukan tersebut dapat membuat padi terjaga selama bertahun-tahun. Sekali 3 tahun, padi yang ada di Leuit di tukar letak. Padi yang baru panen biasanya ditaruh di bagian atas, namun 3 tahun berikutnya padi yang di bawah ditaruh dinaikan ke bagian atas.

Nah, padi yang sudah berumur 3 tahun dalam penyimpanan, yang sudah dipindah ke bagian atas itulah, yang dimakan sehari-hari. Meskipun sudah berusia 3 tahun, beras yang dihasilkan dari padi ini, tetap enak dan tidak berbau.

Menariknya, masyarakat kasepuhan ini hanya panen sekali dalam setahun. Umur padi hanya 5 bulan, sampai musim tanam berikutnya sawah dan ladang diisi dengan tanaman palawija seperti, sayur-sayuran dan juga ikan. Menjelang musim tanam padi lagi, mereka bisa panen 2 kali untuk tumbuhan palawija dan juga panen ikan. Hasil tanaman palawija dan ikan ini, selain dimakan sendiri juga boleh dijual dan dari hasil ini pulalah masyarakat setempat mendapatkan uang untuk kebutuhan kehidupan sehari-hari yang non beras.

Menurut Abah Asep, dalam keyakinan adat Sinar Resmi, langit adalah Bapak dan  bumi adalah indung (ibu) kita. Karena itu pula, kepada indung hanya kita minta ‘melahirkan’ padi 1 kali dalam setahun. Jika kita minta lebih, maka indung kita akan kesakitan dan rusak.

“Jika sekali panen padi, kita sudah diberikan hasil untuk dapat dimakan selama 3 tahun, kenapa harus kita paksa indung (bumi-red) ini melahirkan padi 3 kali dalam setahun. Ini serakah namanya, dan itu akan merusak keseimbangan alam,” ungkap Abah kepada Swara Cinta, Januari 2016.

Karena itu, di Sinar Resmi bertani bukan hanya sekedar aktifitas ekonomi terkait menanam, memelihara dan memanen. Lebih dari itu, bertani adalah bagian dari nafas budaya dan penjagaan adat istiadat dari leluhur. Maka sistem pertanian yang diterapkan di Kasepuhan Sinar Resmi terus dijaga ketat dalam aturan adat istiadat dan dipantau langsung oleh Abah Asep Nugraha sebagai ketua adat.

Dalam hal bercocok tanam padi, Abah adalah pemegang otoritas pemeliharaan benih. Setiap pengikut kasepuhan hanya boleh menanam benih yang diberikan dan telah dapat restu dari  Abah Asep Nugraha.

Dengan demikian, keberlangsungan pemeliharaan benih lokal tetap terjaga, sehingga saat ini Sinar Rermi masih memiliki dan memelihara kelestarian benih padi sekitar 68 jenis varietas padi lokal terdiri dari padi huma (ladang) dan padi sawah yang masih ada dan di tanam di Wilayah Kasepuhan Sinar Resmi.

Negeri Aman dan Ramah Tamu

Kasepuhan Sinar Resmi adalah negeri aman dan tentram. Di sini pintu rumah-rumah jarang dikunci, begitu juga pintu Leuit tempat penyimpanan padi. Pintu Leuit hanya dipasak sebilah bambu saja. Itu pun dimaksudkan agar angin tidak bisa mendorong pintu hingga terbuka dan menyebabkan padi yang disimpan menjadi basah atau lembab ketika hujan datang. Padi yang lembab akan jamuran dan tidak baik untuk dikonsumsi.

“Di kampung ini memang ada Tukang Kemit, sebagai keamanan kasepuhan. Namun pada prinsipnya yang menjaga kawasan itu agar tetap aman adalah Syariat dan Hakikat,” kata Abah Asep kepada Swara Cinta.

Secara Syariat, kata Abah, ada tim keamanan (kemit) yang menjaga kampung dan secara hakikat sesungguhnya kita dijaga sama Allah SWT pencipta sekalian alam.

Kedua penjaga itu sangat diyakini masyarakat adat Sinar Resmi. Bahkan tidak itu saja, di Sinar Resmi masyarakatnya patuh kepada Syarak (agama), Mukaha (hukum adat) dan Nagara (hukum Negara).

Tentunya jika ada yang melanggar adat (Pamali), mereka akan terkena sangsi adat (baberes) dan berjanji untuk tidak mengulangi lagi. Kalau tidak dapat diselesaikan secara adat, maka mereka akan diserahkan pada hukum negara. Dan sanksi yang lebih parah adalah dari Allah SWT, yang membuat manusia tidak dapat lari ke manapun. Keyakinan yang kental terhadap aturan ini, membuat masyarakat kasepuhan dan tamu yang datang tetap terjaga, aman dan damai.

Damainya suasana di Sinar Resmi, tidak terlepas karena masyarakatnya yang saling jaga dan menghormati hak milik orang lain. Mereka sangat memuliakan tamu. Bahkan ketika tamu datang, mereka disambut dengan meriah. Beberapa orang berpakaian hitam, dengan khas peci iket sunda berinteraksi menyambut tamu di halaman. Kamudian beberapa orang pria lainnya akan menari-nari menggoyangkan Pocong Padi yang diikatkan ke bambu yang berdiameter 20cm yang dikenal dengan Rengkong. Tali pengikat pocong itu bergesekan dengan bambu menimbulkan suara yang unik. Ditingkah pula dengan hantaman alu ke lisung kayu yang dimainkan beberapa orang ibu-ibu (Ngagendeg) dan goyangan nada Dog dog lojor (sejenis angklung).  Itulah cara mereka menyambut tamu, mereka terlihat gembira dan suka dengan kedatangan tamu, sehingga mereka mainkan bunyi-bunyian dengan penuh semangat.

Ritual Adat 

Tidak hanya ketika penyambutan tamu yang dijadikan ritual, tapi ketika tamu sudah berada di Imah Gede pun, tamu akan disuguhkan berbagai jenis makanan yang dihasilkan dari pertanian di kasepuhan. Setiap makan, tamu disuguhkan minimal dua jenis nasi, bisa berwarna merah, ungu atau putih. Ini mengenalkan kekayaan varietas padi yang ada di kasepuhan.

Tidak itu saja, selama satu tahun Kasepuhan Sinar Resmi tidak putus dari ritual adat yang semuanya berhubungan dengan pertanian yang bisa disaksikan oleh tamu. Ini sebuah bukti, kasepuhan menjaga tradisi dan menjaga kekayaan budaya pertanian agar mereka tetap sejahtera dan tidak berkekurangan, apatah lagi didera kelaparan.

Di antara ritual adat yang dilaksanakan kasepuhan Sinar Resmi adalah Ngaseuk (acara tanam padi bersama di ladang), Padi sapangjadian (memperingati 1 minggu usia padi), Prah-prahan (upacara tolak bala), Sedekah ruwah (sedekah di bulan sya’ban), sedekah mulud (sedekah di maulid Nabi Muhammad SAW) baberes turun nyambut (persiapan mengolah sawah), baberes nyimur (membawa bayi-bayi nginjak tanah), mager pakaya (ritual memagar padi agar terhindar dari hama), slamet pare nyiram (upacara padi bunting untuk minta isi), mipit (memotong padi di ladang dan sawah), Lantayan (menjemur padi), mocong padi (ganti tali ikatan padi), ngunjal (ngangkut padi ke Leuit), ngadiukeun (menentapkan penyimpanan padi di Leuit), nutu pare anyar (menumbuk padi baru), nyangu pare anyar (mencicip hasil panen baru), Ponggokan (masa tenang) dan seren taun (pesta panen).

Ritual adat yang berkaitan dengan pertanian itu semuanya dipimpin oleh Abah sebagai sesepuh adat dan masyarakat adat taat  serta mengikuti dengan seksama secara turun temurun. Setiap acara yang diadakan menunjukkan rasa syukur dan mohon perlindungan kepada Allah SWT dan terimakasih kepada Karuhun (nenek moyang yang mewariskan aturan).  Karena itu pulalah warga Kasepuhan Sinar Resmi hingga saat ini tidak pernah kelaparan, karena keberkahan dari rasa syukur dan taat pada aturan yang terjaga secara turun temurun hingga sekarang. – Maifil Eka Putra

spot_img

Related Articles

spot_img

Latest Articles