
SISWA korban keracunan akibat mengonsumsi makanan yang disediakan program Makan Bergizi Gratis (MBG) di sejumlah kota hampir mencapai 6.000 orang, sehingga selayaknya dievaluasi secara menyeluruh.
Sejak Januari ’25, jumlah korban keracunan Gizi yang cukup masif (di atas 100 orang) a.l di Wilayah I: di Talang Ubi, Sumsel (5/5) sebanyak 172 orag, Bengkulu 467 orang (27/8), dan Lampung 503 orang (29/8).
Di Wilayah II: Pandeglang, Menes 480 orang (19 Feb.’25), Limbangsari, Cianjur 254 orang (21/4) , Coblong, Kota Bandung 320 orang (30/4), Tanah Sareal, Sukadamai 223 orang (6/5)
Laporan teranyar dari Kec. Cipongkor, Ciampelas, Bandug Barat sampai 25 Sept. tercatat 842 korban keracunan terdiri dari siswa PAUD hingga SMK.
Masih di Wilayah II: di Kulon Progo, Wates 305 orang (31/7), Sragen, Gemolong 196 orang (12/8), Sleman Mati 152 orang (26/8), Sleman Berbah 137 orang (26/8), Wonogiri 131 orang (11/9).
Di Wilayah III: di Nunukan Selatan 90 orang (13/1), Kota Kupang 140 orang (22/7), Sumbawa Empang 106 orang (17/9) dan Banggai Tinangkung 339 orang (17/9).
Dalam Dengar Pendapat di DPR (22/9) lalu, Ahli gizi dr Tan Shot Yen mengkritik keras menu MBG berupa makanan kering, bertepung, hingga minuman bergula untuk anak-anak.
“Yang dibagi burger. Padahal tanaman gandum tidak tumbuh di bumi Indonesia, begitu pula spagheti atau bakmi Gacoan atau daging tiruan (dilakukan Satuan Pelayanan Pemenuhan Gizi – SPPG untuk menekan biaya-red) “ ujar dr Tan.
Dalam pemaparannya, dr Tan membagikan temuan tentang keluhan menu MBG di lapangan. Salah satunya soal susu kemasan yang menjadi paket menu MBG.
dr Tan juga menyebutkan pada menu MBG di Depok ditemukan ayam yang masih mentah. Selain itu, di tempat lain, juga pernah ada belatungnya.
Khusus untuk susu, ia menilai masyarakat sudah pintar. Masyarakat sudah bisa mengenali mana susu yang baik dan mana minuman yang mengandung gula tinggi.
“Ini adalah bukti nyata dari susu yang dibagi (oleh program MBG). Anda bisa tahu bahwa publik kita dah pinter, yang dibagi ini bukan susu. Ini adalah minuman bergula,” ujarnya.
Reformasi Program MBG
Dengan mempertimbangkan semua hal yang terjadi, dr Tan menyarankan perlunya reformasi program MBG, antara lain:
– Menghentikan distribusi makanan kering yang mengacu pada produk industri sebagai ultra-processed food (UPF).
– Menghentikan operasional SPPG yang potensial (bermasalah)
– Menghentikan operasional SPPG yang bermasalah
– Menerapkan sistem monitoring, evaluasi, dan supervisi yang akuntabel
– Alokasikan menu lokal sebagai 80 persen isi MBG di seluruh wilayah Indonesia
“Alokasikan menu lokal 80% isi MBG di seluruh wilayah ya, saya pengin anak Papua bisa makan ikan kuah asam, saya pengin anak Sulawesi bisa makan kapurung,” ungkap dr Tan.
Selain itu, ia juga merekomendasikan MBG untuk fokus di wilayah 3T. Kemudian, segera membangun kerja sama dengan Dinkes dan Puskesmas, serta memastikan terjadinya edukasi makanan bergizi ke masyarakat.
Tiga kemungkinan penyebab
Sementara itu, Direktur Pascasarjana Universitas YARSI yang juga Professor Griffith University, Prof Tjandra Yoga Aditama mengatakan, setidaknya ada tiga kemungkinan penyebab keracunan yang harus dievaluasi.
Pertama, harus dipastikan, proses memasak makanan di SPPG kebersihan berbagai alat dan persiapannya, proses masak yang baik dan benar serta pengemasannya terjamin.
”Tetapi harus diingat bahwa masalah bukan hanya dan belum tentu terjadi di dapur SPPG, karena masih ada kemungkinan titik kritis lain,” kata Prof Tjandra.
Kedua – dan juga amat penting- adalah kebersihan, kesegaran dan kesehatan bahan pangan awalnya, baik tanaman atau hewan.
Prof Tjandra mengatakan, kalau tinggi kadar insektisidanya, atau hewan yang dipotong dari kandang yang banyak hewan sakit, atau ada berbagai kontaminasi lainnya maka tentu bisa saja makanan yang tersaji jadi tidak sehat dan bukan tidak mungkin terjadi keracunan.
Tentu ini tergantung dari jenis dan seberapa besar pencemarannya serta bagaimana pengolahan makanan selanjutnya.
Hal ketiga adalah transportasi dan penyimpanan bahannya.
Berita di media tentang feri yang terlambat atau jalan yang rusak berat sehingga truk pembawa bahan pangan harus menunggu ber jam-jam atau ber hari-hari misalnya, tentu punya dampak bagi bahan pangan.
Begitu juga kalau gudang penyimpanan tidak memenuhi syarat (ventilasi, kelembaban suhu dll.) maka juga akan punya dampak terhadap hasil akhir produk makanan yang dikonsumsi.
Tegasnya memang ada beberapa alur proses yang harus dievaluasi secara mendalam.
”Analisa mendalam pada setiap kejadian tentu dapat menjadi acuan tentang apa yang sebenarnya terjadi di lapangan, yang harus diperbaiki agar jangan sampai teruang lagi,” ujarnya.
Dievakusi berkala
Ketua DPR RI Puan Maharani meminta program MBG dievaluasi secara berkala. Menurutnya, pemerintah harus selalu mengevaluasi program MBG dan menindaklanjuti hasil evaluasi tersebut.
Puan berharap pelaksanaan program MBG di lapangan bisa lebih di baik lagi. Ia mengingatkan, jangan sampai anak-anak justru dirugikan oleh program MBG.
Tentu kita bisa membayangkan kekhawatiran para orang tua murid untuk melepas anaknya ikut dalam MBG di sekolah masing-masing, begitu pula para anak didik yang trauma, pernah mengalami keracunan atau mendengar santernya kabar tentang peristiwa itu.
Niat mulia saja ternyata tidak cukup, karena dalam pelaksanaannya di lapangan, harus terus diawasi, karena bia jadi terjadi penyimpangan, baik akibat kurangnya pengalaman dan keterbatasan SDM, kelalalain, apalagi ada yang memang berniat curang demi megeruk untung sebesar-besarnya dari program MBG.
“Enough is enough”, satu korban saja harus diperhatikan, apalagi sampai masif mendekati 6.000-an siswa yang notabene adalah generasi penerus bangsa.




