Keselamatan Siswa dan Guru No. 1

Rencana pembukaan sekolah hanya bisa dilakukan jika tatanan normal baru di sektor lain terutama ekonomi dan sosial serta sarana dan prasarana sekolah serta kompetensi guru dibenahi dulu.

PEMBUKAAN kembali sekolah dengan tatanan normal baru perlu dipertimbangkan masak-masak dari berbagai aspek guna mencegah risiko fatal berupa terbentuknya epicentrum baru penyebaran Covid-19.

Aktivitas belajar-mengajar bagi sekitar 60 juta siswa di Indonesia terhalang karena sekolah-sekolah mereka ditutup selama pelaksanaan PSBB guna menghambat penyebaran Covid-19 yang sudah menjangkiti 216 negara.

Bahkan menurut Organisasi Pendidikan, Ilmu Pengetahuan dan Kebudayaan PBB (UNESCO), Korea Selatan, Perancis dan Finlandia yang sudah membuka kembali sekolah-sekolah sejak April lalu, menutupnya kembali karena pemunculan kasus-kasus baru Covid-19.

Tidak hanya Indonesia, 199 negara juga tercatat menutup sekolah-sekolah mereka akibat pandemi Covid-19 sehingga dampaknya dirasakan oleh sekitar 1,5 milyar murid sekolah di negara-negara tersebut.

Sejauh ini Kemendkbud mengusulkan tiga model pembelajaran di era tataan normal baru yakni tetap melanjutkan Pembelajaran Jarak Jauh (PJJ), pembukaan sekolah diiringi pemberlakuan ketat protokol kesehatan dan hanya sekolah di Zona Hijau yang boleh dibuka.

PJJ Juga Sarat Persoalan

PJJ melalui daring yang diberlakukan selama pandemi Covid-19 faktanya juga memunculkan ragam persoalan, a.l.  karena sebagian siswa dari keluarga miskin atau di wilayah terpencil atau pedesaan terkendala akses internet dan perangkat teknologinya.

Mulai dari kondisi permukiman yang tidak sehat, sempit atau terlalu padat penghuni, belum lagi jika orang tuanya gatek, tidak memiliki waktu luang untuk membimbing anaknya belajar di rumah, buruknya akses internet sampai kesulitan membeli pulsa hanya contoh-contoh dari ragam kendala yang dihadapi program PJJ.

Guru-guru juga belum optimal memberikan  bimbingan daring pada murid-muridnya, selain persoalan kompetensi, juga lemahnya pengawasan terhadap mereka, sehingga kualitas pembelajaran yang diberikan juga perlu dievaluasi.

Yang lebih miris, “uyel-uyelan” berinteraksi  dalam waktu lama di rumah-rumah sempit di tengah himpitan ekonomi yang dihadapi orang tua yang pencarian atau usahanya terimbas Covid-19 sering memicu kekerasan dan eksploitasi terhadap anak-anak.

Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak melaporkan, antara 2 Maret sampai 25 April terjadi  368 kasus kekerasan terhadap 407 anak-anak (300 anak perempuan dan 107 anak laki-laki) akibat gangguan emosi di kalangan anggota keluarga karena terlalu lama berkumpul di rumah dalam pelaksanaan PSBB.

Federasi Serikat Guru Indonesia (FSGI) dan Ikatan Guru Indonesia (IGI)  mengusulkan, selain kesiapan SDM-nya yakni guru, siswa dan orang tua, perlu kesiapan anggaran, infrastruktur dan peraturan teknis di lingkup sekolah untuk menjalankan protokol kesehatan.

Kesiapan guru perlu dioptimalkan jika PJJ dilanjutkan, begitu pula dengan siswa dan para orang tua mereka, sedangkan infrastruktur pendukung seperti akses internet dan komunikasi juga harus difasilitasi, termasuk pemberian pulsa gratis misalnya.

Melipatgandakan kapasitas kelas, menyediakan fasilitas cuci tangan dan penyediaan cairan pebersih secara teratur, mengatur waktu belajar mengajar bagi guru dan murid dalam dua shift misalnya tentu bukan hal yang gampang.

Segudang “PR” harus dituntaskan jika sekolah harus segera dibuka kembali,  begitu pula jika PJJ dilanjutkan guna menciptakan ekosistem yang aman dan nyaman di tengah ancaman pandemi Covid-19.

Pembukaan sekolah agaknya harus ditunda dulu sebelum tatanan normal baru di sektor-sektor sosial ekonomi dan juga sarana, prasarana sekolah diperbaiki serta SDM terutama guru-guru dan juga peran orang tua murid  dioptimalkan.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Advertisement div class="td-visible-desktop">