spot_img

Koalisi Berubah-ubah

PANGGUNG politik Indonesia cukup unik, karena koalisi antar parpol kontestan Pemilu yang terbentuk,  masing-masing secara terbuka terus melakukan lobi-lobi ke sana ke mari ke  luar koalisi.

Sambil menyatakan koalisi tetap solid, anggota koalisi terus berupaya mendekati pihak di luar koalisi, menjajagi kemitraan baru, berselubung untuk sekedar silaturrahmi atau membuat suasana kontestasi Pemilu terasa adem, penuh pertemanan dan nyaman.

Partai Nasdem (PN), mendeklarasikan bakal calon presidennya, mantan Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan paling awal yakni 3 Oktober 2022, lalu bersama Partai Demokrat (PD) dan Partai Keadilan Sejahtera (PKS) membentuk Koalisi Perubahan untuk Persatuan (KPP).

Ketiganya (PN, PD dan PKS) dalam KPP lalu mendeklarasikan Anies menjadi bakal calon presiden (bacapres) mereka pada 24 Maret, 2023, sedangkan bakal cawapres yang dimandatkan pada Anies untuk memilihnya belum jelas sampai hari ini.

Pantasnya, Ketum PD Agus Mukti Yudhoyono (AHY) yang mendampingi Anies sebagai cawapres, mengingat di berbagai kesempatan AHY sering tampil dan seperti yang dipersepsikan publik dan pers.

Sampai ini hari, pilihan cawapres KPP masih menggantung, sementara Anies dan timnya sibuk wara-wiri menemui berbagai tokoh, sehingga sulit dibantah, ia sedang melakukan “PDKT”, lobi=-lobi mencari cawapres yang berkenan di hatinya.

Namun bagi Anies, mencari cawapres untuk mendampinginya juga bukan semudah membalik telapak tangan, karena beberapa nama yang disebut seperti puteri mantan Presidan Gus Dur, Yenny Wahid, Gubernur Jatim Kofifah Indar Parawansa dan Menkopolhukam Mahfud MD menolaknya.

Saat didesak pers, Anies berkilah: “ tunggu waktu yang tepat” untuk menetapkan cawapres, sebaliknya AHY pun lama-lama meradang, tidak kunjung ditetapkan jadi cawapres, padahal mesin partai harus segera digerakkan untuk menyiapkan langkah pemenangan pemilu.

Jika sampai PD bersama AHY hengkang dari KPP, tentu menyulitkan Anies karena jika hanya bersama PKS tidak mencapai ambang batas minimal pencalonan persiden dan parlemen.

Hal sama dihadapi Koalisi Indonesia Baru (KIB) terdiri dari Partai Golkar, Partai Persatuan Pembanagunan (PP)P) dan Partai Amanat Nasional (PAN).

Partai Golkar sendiri sudah menetapkan ketumnya, Airlangga Hartarto dalam Munas 2019 sebagai capres, sebaliknya PPP dan PAN belum menentukan capres, malah PAN mengajukan Mnteri BUMN Erick Thohir sebagai cawapres dan PPP mengajukan cawapres pilihannya, Menparekraf Sandiaga Uno.

KPP akhirnya bubar, setelah Golkar, Minggu (13/8) bersama PAN  membelot ke KKIR dan bersama-sama Partai Gerindra dan PKB mengajukan Ketum Partai Gerindra Prabowo Subianto sebagai capres.

Yang jadi persoalan, lagi-lagi siapa cawapresnya, karena sejak awal pembentukan KKIR, Ketum PKB Muhaimin Iskandar atau Cak Imin lah yang selalu digadang-gadang. Masuknya Partai Golkar dengan ketumnya Airlangga dan PAN dengan Zulkifli Hasan, tentu Cak Imin mendapat dua pesaing.

Prabowo sandiri juga sibuk untuk “milirak-lirik” nama lainnya, misalnya putera Presiden Jokowi Gibran Rakabuming Raka jika persyaratan usia capres dan cawapres minimal 35 tahun diputuskan MK.

Sementara PDI-P berada di atas angin, karena memenuhi ambang batas pencalonan presiden sehingga  bisa menentukan  cawapresnya yang akan mendampingi Ganjar.

PDI-P tinggal menjatuhkan pilihan diantara nama-nama yang diunggulkan polling mulai dari Erick Thohir, Sandiaga Uno, Mahfud MD, AHY, Gubernur Jabar Ridwan Kamil dan  juga nama-nama baru yang muncul seperti Yenni Wahid dan Kofifah.

Nama-nama terutama cawapres masih bergerak secara dinamis dan cair, yang penting bagi rakyat, sosok yang amanah, pekerja keras dan punya nyali serta keberanian untuk membasmi korupsi.

Last but not least, agar pemilu berjalan lancar, jurdil dan bebas, baik penyelenggara, kontestan mau pun pemilih tidak terlibat praktek money politics.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

spot_img

Related Articles

spot_img

Latest Articles