Indonesia, ternyata menjadi surga bagi jaringan para Mafioso. Selain praktek korupsi berjamaah yang dilakukan oknum eksekutif, legislatif dan yudikatif, begitu pula di lingkaran peredaran narkoba, jaringan mafia di kalangan bisnis obat-obatan ternyata juga sudah bergentayangan sejak lama.
Obat-obatan adalah produk industri yang sebenarnya mengusung misi kemanusiaan. Dibutuhkan oleh mereka yang terkena musibah, sakit sesuai fitrah manusia yangmustahil sehat sepanjang hayat atau mengalami gangguan kesehatan akibat kecelakaan atau penyebab lainnya.
Bagi mayoritas rakyat Indonesia, khususnya kaum tunawisma, pengangguran, pensiunan, warakawuri atau mereka yang hidup pas-pasan, harga obat sering terlalu tinggi di atas jangkauan. “Orang miskin, dilarang sakit,” ujaran bernada sarkatis ini sering muncul, bukan akibat kebencian tetapi ungkapan bernuansa kepasrahan.
Memang sejak beberapa tahun terakhir ini, pemerintah telah memberlakukan Sistem Jaminan Kesehatan Nasional yang dikelola BPJS Kesehatan. Dengan membayar iuran tertentu, warga dapat menikmati layanan kesehatan secara cuma-cuma saat berobat. Warga yang tidak mampu membayar iuran juga bisa memanfaatkan layanan BPJS. Namun prakteknya ternyata tidak semudah yang dibayangkan. Selain harus ngantri di Puskesmas, pasien juga sering harus membeli obat sendiri dengan alasan obat tidak tersedia di Puskesmas atau rumah sakit rujukan.
Manisnya bisnis obat-obatan tercermin dari besarnya omset transaksi industri farmasi yang mencapai sekitar Rp69 triliun setiap tahunnya. Industri Farmasi biasanya juga berada dalam satu jaringan. Pemilik industri dan distributor, pemiliknya itu-itu juga orangnya.
Kongkalingkong dalam bisnis obat-obatan terjadi antara industri yang ujung tombaknya para staf penjual (biasa disebut Medical Representative – Medrep) dengan para dokter atau rumah-rumah sakit yang memberikan layanan kesehatan. Para Medrep biasanya mengiming-imingi dokter atau pihak RS dengan tawaran-tawaran menarik, mulai dari diskon tunai, undangan mengikuti seminar di dalam dan luar negeri atau insentif lainnya.
Bagitu naifnya, ungkap Ketua Yayaan Pemberdayaan Konsumen Kesehatan, Marius Wijayarta, Medrep sering menemui dokter calon pembeli hanya bermodalkan kalkulator, untuk tawar-menawar angka potongan harga yang bisa disepakati bersama. “Spesifikasi obat sudah tidak dianggap penting lagi. Yang perlu besaran jumlah komisi. Medrep bahkan kadang-kadang juga menyiapkan uang panjer, “ tuturnya.
Sedangkan mantan Ketua Majelis Kehormatan Etik Kedokteran Agus Purwadianto mengemukakan, industri farmasi sebenarnya sudah menikmati marjin laba rata-rata 40 persen dari harga produknya. Berdasarkan pemahaman orang awam selama ini, hanya ada obat generik. Padahal ada lagi obat berkategori generik bermerk yang penggunaannya mencapai 80 persen dari total peredaran obat di Indonesia. Penggunaan obat generik (murni) hanya 15 persen dari peredaran obat, kemudian obat paten sekitar lima persen.
“Pasien yang meminta obat generik, biasanya diberikan obat generik bermerk yang harganya bisa tiga kali lipat dari obat generik, “ ujarnya. Obat generik bermerk adalah obat generik yang merk dagangnya dicantumkan. Sedangkan obat paten adalah obat yang tidak bisa diproduksi oleh industri lain sebelum hak paten berakhir.
Agus berharap Departemen Kesehatan mengeluarkan deregulasi tatakelola perdagangan obat-obatan, misalnya pembatasan harga jual maksimal tiga kali dari harga pokok. Tidak seperti sekarang, harga obat ada yang ratusan kali lipat dibandingkan harga pokoknya. Ia juga berharap hanya ada satu kategori obat generik yang harganya dicantumkan dalam e-katalog sehingga transparan bagi publik.
Jika tidak dibenahi, harga obat-obatan akan terus mencekik rakyat miskin di negeri ini. Ironis memang rakyat Indonesia yang penghasilannya relatif lebih rendah, harus membayar harga obat lebih mahal dibandingkan misalnya dengan rakyat di negara-negara tetangga yang penghasilannya lebih tinggi.