Matinya Pemulung

Jangan remehkan pemulung! Jika bernasib baik, bisa lho kemudian menjadi Pemred harian terpandang di Ibukota.

JANGAN salah ya, untuk seorang pemulung ketika melepas nyawa, bahasanya cukup mati atau meninggal saja. Sebab bahasa jurnalist sekarang, sudah kadung latah dan salah kaprah, siapapun yang meninggal disebut wafat. Bahkan kelihatan gobloknya itu wartawan muda, orang biasa meninggal kok disebut mangkat. Mungkin wartawan sekarang belajar Bahasa Indonesia pada tukang kijing (pengrajin batu pusara). Siapapun yang meninggal disebut wafat!

Demikianlah, beberapa hari lalu diberitakan, seorang pemulung bernama Misno (43) tewas dihajar massa gara-gara mencuri HP di rumah warga Cilangkap Kecamatan Tapos, Kotif Depok. Ini kejadian sungguh tragis, demi sesuap nasi sampai harus mengorbankan nyawa. Bahkan dalam Islam, meninggal ketika tengah mencari nafkah keluarga, termasuk mati syahid. Tapi kalau tewasnya karena mencuri HP, pengurus MUI sekelas Anwar Abas pun pasti menolak melabelkan syahid untuk Misno.

Di satu sisi keberadaan pemulung sangat membantu masyarakat yang kesulitan membuang sampah besi dan plastik. Jangankan dikasih, membeli pun untuk barang bekas mau meski dengan harga rendah sekali. Tapi di sisi lain, dia menjadi “hama” bagi kalangan penduduk. Mereka terlalu rajin, sehingga barang yang sebetulnya masih digunakan, ditimpe juga. Pendek kata, manakala barang itu berada di luar pagar rumah, langsung saja mereka embat.

Tak mengherankan di berbagai tempat papan peringatan berbau “politik identitas” dengan kalimat: pemulung dilarang masuk! Sedikit kata-kata itu, tapi sengak didengar bagi kalangan pemulung. Mereka hanya punya kemampuan seperti itu menafkahi keluarga, kenapa nggak boleh? Jika diadukan ke Komnas HAM laku nggak ya? Ini kan termasuk pelanggaran hak azasi manusia untuk menghidupi keluarga.

Mereka memang punya “hukum internasional” yang isinya kurang lebih begini: Setiap barang yang berada di luar pagar adalah hak mutlak pemulung. Padahal bisa saja barang-barang itu masih di luar pagar rumah kana kelupaan, bisa juga di rumah tak ada tempat. Eh, begitu ditaruh depan rumah, beberapa jam kemudian sudah wasalam……

Tapi pemulung sendiri sering melanggar “kode etik” yang tak pernah diratifikasi oleh masyarakat pada umumnya. Masuk dalam halaman rumah pun berani mana kala kondisi rumah terlihat aman secara mantap terkendali. Yang terjadi di Depok ya seperti itu. Pemulung Misno berani masuk ke dalam rumah dan langsung mengambil HP milik CH si tuan rumah.

Sebetulnya CH tak bermaksud membunuh sang pemulung. Tapi karena Misno memukul muka tuan rumah saat ditangkap, ya tentu saja jadi emosi. Celurit yang tadinya hanya untuk menakut-nakuti, akhirnya dibacokkan ke punggung si pemulung. Sempat lari sebentar menghindari pengejaran, tapi tak lama kemudian Misno ditemukan sudah wasalam karena kehabisan darah.

Jika melihat kerajinan pemulung, kita harus angkat topi. Bukan pelajar SMA di Kupang (NTT), bukan pula anak buah Gubernur Viktor Laskodat, dia pukul 05:00 pagi sudah berdinas. Apa saja yang didapat asalkan laku dijual pada pengepul, pasti diambil. Ada gelas plastik, besi potongan pager, atau pager bekas masih utuh sekalipun, pemulung pasti mau ambil. Di Jakarta pemulung yang ogah ngambil hanya satu, yakni bekas …….gubernur DKI.

Jangan remehkan pemulung. Meski pekerjaan kasar dan kotor, ternyata pemasukannya sangat menjanjikan, terutama bagi juragan atau pengepul.  Banyak orang menjadi kaya dari usaha ini, tak perlu menjadi pegawai Pajak, Bea Cukai maupun Agraria dan Kejaksaan. Dan sekaya apapun juragan pemulung, tak pernah dimintai kewajiban mengisi LHKPN. Kecuali LHKPN itu diubah artinya menjadi: Laporan Harta Kekayaan Pemulung Nusantara.

Penulis punya teman sesama wartawan dan sempat menjadi Pemred harian terpandang di Ibukota. Saat merantau meninggalkan Cirebon, karena frustasi ayahnya jadi tukang kawin, dia minggat ke Jakarta dan jadi pemulung atas ajakan orang. “Waktu saya jadi pemulung, tinggal di kolong jembatan nyaman saja. Dan tak takut mati ketika mencuri gril besi jembatan di rumah orang.” Begitu katanya.

Nasib berubah ketika naik kelas menjadi pegawai cleaning service kampus di Lenteng Agung yang lulusannya banyak bekerja di media massa. Karena kerajinannya dia ditawari kuliah gratis. Begitu lulus dia langsung melamar kerja di surat kabar di Ibukota dan sekian tahun kemudian sempat menjadi Pemimpin Redaksi dan Wakil Pemimpin Umum. Apa ora hebat? (Cantrik Metaram).