
DRONE atau pesawat siluman pengintai nirawak Amerika Serikat MQ-9 Reaper (Pencabut Nyawa) tercebur di Laut Hitam, belum dikonfirmasi, akibat “tersenggol” atau sengaja “disenggol” oleh pesawat tempur Rusia Sukhoi SU-27 Flanker, Selasa (14/3).
Insiden tersebut menciptakan kegaduhan antara Amerika Serikat dan Rusia yang terlibat dalam perang Rusia vs Ukraina yang masih berkecamuk hingga kini sejak invasi Rusia ke negara tetangganya tersebut yang sama-sama sempalan Uni Soviet, 24 Feb. 2022.
Seperti biasa, kedua belah pihak saling mengklaim kebenaran sesuai versi masing-masing. Jubir Deplu AS Ned Price menuduh pihak Rusia melanggar hukum internasional, karena pesawat itu sedang melakukan misi rutin di atas perairan int’l.
Sebaliknya, kemhan Rusia mengklaim, drone AS itu terbang di atas L. Hitam dekat Crimea (yang dicaploknya dari Ukraina, 2014), lalu menyusup ke wilayah terlarang Rusia. Rusia pun meresponsnya dengan mengirimkan dua pesawat tempur SU-27 Flanker untuk mencegatnya.
Dari rekaman video berasal dari perangkat drone berdurasi 42 detik yang dirilis oleh Pentagon dan diunggah oleh Voice of America (16/3), tampak pesawat SU-27 mendekati drone dari arah belakang, lalu menyemburkan bahan bakar (untuk menganggunya).
Pesawat Rusia itu menjauh, lalu untuk kedua kalinya mendekat dan tampak jelas bentuk fisik pesawat tersebut di rekaman, termasuk masing-masing tiga rudal di kedua sayapnya.
Setelah itu gambar di layar lenyap, seperti diklaim oleh pihak AS, entah bagian mana pesawat tempur itu menyenggol drone sehingga kehilangan kendali dan tercebur ke laut dalam. Pihak AS pun menampik argumen Rusia, drone jatuh karena bermanuver secara tajam.
Hindari Eskalasi Konflik
Eskalasi konflik antara AS dan Rusia diharapkan terhindar setelah kedua pejabat berwenang negara adidaya itu memilih jalur diplomasi untuk meredakan ketegangan.
Menhan AS Lloyd Austin dilaporkan segera menilpon mitra kerjaya, Menhan Rusia Sergei Shoigu, Rabu (15/3) waktu Washington, sementara Kastaf Gabungan AS Jenderal Mark Milley menghubungi Kastaf Gabugan Rusia Jenderal Valery Gerasimov.
Sebaliknya Menlu Rusia Sergei Lavrov mengingatkan, sejumlah wilayah udara di atas L. Hitam tertutup bagia penerbangan int’l selama perang antara Rusia dan Ukraina berkecamuk dan pihaknya akan mencegat setiap wahana angkasa yang melintas.
Dari sisi militer, insiden kedua pesawat dengan spesifikasi dan fungsi berbeda tersebut tidak bisa dikategorikan sebagai pertempuran udara (dog fight) untuk mengukur kecanggihan masing-masing.
SU-27 Flanker adalah jenis pesawat tempur warisan Uni Soviet yang diproduksi sejak 1984, sementara MQ-9 adah pesawat nirawak untuk misi pengintaian yang pertama kali dioperasikan awal 2001 (jenis terdahulu dinamai Predator, kini Reaper atau Predator B).
Belasan negara termasuk Indonesia mengoperasikan SU-27 yang sejauh ini sudah diproduksi 680 unit dengan harga satuan 35 juta dollar AS (sekitar Rp525 miliar).
Dengan panjang 21,9 M, rentang sayap 14,7 M, SU-27 yang diawaki satu pilot berkecepatan maks. 2.35 MACH, daya jelajah 3.500 km dan dipersenjatai a.l. dengan kanon 30mm dan sejumlah rudal serta aneka bom di rak-rak di bawah sayapnya.
Sementara MQ-9 yang berbobot sembilan ton, rentang sayap 20,1M, ketinggian terbang maks. 12 Km dan terbang 24 jam masuk kategori pesawat berketinggian sedang dan berjangkauan panjang (medium-altitude, long-endurance -MALE).
MQ-9 seharga 56,5 juta dollar per unit (Rp868 miliar) yang juga bisa dilengkapi dengan rudal atau kanon sudah digunakan mendukung operasi AS di 12 negara seperti di Timur Tengah, Afghanistan dan Eropa Timur.
Selain menjalankan misi pengintaian, MQ-9 juga sukses memburu puluhan target pentolan musuh-musuh AS seperti pemimpin NIIS Khorasan Abu Sayed, Komandan Garda Revolusi Iran Jenderal Qasem Solemaini dan petinggi Taliban Mullah Mansour.
Semoga tes keandalan teknologi perang AS dan Rusia ditandai jatuhnya drone MQ-9 tersebut tidak berlanjut dengan uji-uji coba lain yang rentan memicu konflik terbuka. (AP/AFP/Reuters/ns)
