BAGI para elit politik di negeri Ngastina, sesungguhnya Prabu Baladewa sering dalam posisi “musuh dalam selimut”. Soalnya dia sering mengoposisi berbagai kebijakan Prabu Duryudana. Apa lagi yang berkaitan dengan renstra (rencana strategis) untuk membinasakan keluarga Pendawa, Prabu Baladewa sering membocorkannya kepada pihak terkait. Maklum, meski wilayah teritorial negeri Mandura berada dalam kawasan Ngastina, tapi jiwanya dia lebih pro pada Ngamarta negerinya keluarga Pandawa.
Karenanya Prabu Baladewa sering dikerubuti pers, terutama wartawan yang seharian tak dapat berita. Dari mulut raja Mandura ini bisa dikorek informasi apa saja, yang sering tak berbanding lurus dengan kebijakan negeri Ngastina. Bahkan ketika heboh MCA yang diplesetkan jadi Mandura Cyber Army, dia juga tak protes. Katanya, itu kan bagian dari demokrasi.
“Difitnah seperti itu Anda masih tenang saja. Tapi giliran keluarga Pendawa yang difitnah, kok mencak-mencak?” kata wartawan muda dari media online.
“Memfitnah Pendawa, itu sama saja pembunuhan karakter. Itu melecehkan leluhur kami. Kamu nggak pernah nonton wayang, ya?” sergah Prabu Baladewa, dan wartawan muda itu mengangguk. Terkesan asal tanya, karena tak menguasai masalah.
Baladewa pro pada Pendawa adalah sebuah keniscayaan. Adiknya yang bernama Sembadra, jadi “kanca ngandhap” (istri) Harjuna. Sedangkan Dewi Kunthi ibunya para Pendawa Lima, adalah juga adik daripada Prabu Basudewa ayahanda Prabu Baladewa. Karena itulah jika Baladewa jiwanya lebih mengakar pada Pendawa adalah sebuah keniscayaan.
“Bapa pandita Durna dan paman Sengkuni, pada pisowanan kali ini kenapa Prabu Baladewa tidak hadir? Ke mana beliau?” kata Prabu Duryudana dalam sebuah pisowanan agung.
“Nggak tahu juga anak prabu. Tapi kok absennya ada, ya?” jawab Sengkuni.
“Mau niru anggota DPR dia.” Potong pendita Durna.
Apa sehina itu kelakuan Prabu Baladewa, bolos tapi masih mengharapkan uang tranpor? Yang jelas, bagi Sengkuni dan Durna, absennya Baladewa justru lebih menguntungkan. Sebab dengan minus dia, sidang-sidang di istana Gajahoya tak pernah mengalami disenting opinion. Apa pun yang menjadi keputusan forum, semua amiiiin saja. Sebaliknya jika ada Baladewa, sering macet gara-gara dapat kecaman. Biar cuma wayang raja Mandura ini vokalnya melebihi Fahri Hamzah DPR Indonesia.
Tapi bagi Prabu Duryudana, absennya Prabu Baladewa tetap merupakan kehilangan besar, karena bagaimanapun dia adalah kakak iparnya juga. Banowati istri Duryudana adalah adik dari Dewi Erawati istri Prabu Baladewa. Jika tidak sungkan saja, mau Prabu Duryudana mengangkat Baladewa jadi panglima tentara Ngastina.
“Paman Sengkuni, aku tidak mau tahu. Cari beliau sampai dapat. Tanpa beliau kita nanti bisa keteteran di Perang Baratayuda mendatang.” Perintah Duryudana tegas.
“Ealah, dianya yang enak-enakan, kok jadi kita yang repot.” Keluh Sengkuni.
Demikianlah, Patih Sengkuni dan Pendita Durna segera mencari keberadaan Prabu Baladewa. Tapi baru saja keluar dari Istana Gajahoya, di luar tukang koran membawa suratkabar yang berheadline sangat mencolok: Baladewa bangun Candi Grojogan Sewu. Dia segera beli selembar dan dibaca. Ternyata isinya, tak sekedar pembangunan tempat pemujaan, tapi Baladewa akan menjadikan arena itu sebagai medan diskusi kebangsaan. Ini yang Patih Sengkuni jadi curiga, jangan-jangan Prabu Baladewa hendak merongrong kewibawaan pemerintahan Ngastina yang sah.
Candi Grojogan Sewu dibangun pada areal negeri Ngastina yang statusnya jalur hijau. Tapi Baladewa tetap saja bisa membangun, karena petugas P2B (Pengawas dan Penertiban Bangunan)-nya bisa disogok. Patih Sengkuni segera meluncur ke lokasi. Bukan sekedar mengusut perizinannya, tapi motif di balik pembangunan candi tersebut.
“Maaf, selain petugas dilarang masuk.” Kata Satpam Candi Grojogan Sewu.
“Matamu picek, ya? Saya ini Patih Ngastina, tahu?” gertak Patih Sengkuni.
“Bodo amat! Patih Sengkuni kek, Patih Logender kek, jika tak ada memo dari Prabu Baladewa dilarang masuk.”
Jika mau main kekerasan, sebetulnya Patih Sengkuni sangat bisa. Tapi demi menjaga stabilitas nasional, hal itu tak dilakukan. Bersama Pendita Durna wrangka dalem negeri Gajahoya itu kembali ke pangkalan, melaporkan hasil temuannya pada Prabu Duryudana. Tentu saja diberi bumbu yang lebih seru, sehingga Prabu Duryudana tinggal bisa mengelus dada.
Hari berikutnya berita dari Grojogan Sewu memang lebih seru. Sebab Prabu Baladewa diam-diam membentuk ormas yang diberi nama “Pergerakan Mandura”. Rupanya ini bagian dari diskusi kebangsaan yang direncanakan. Sebagai Ketua Umum Baladewa sendiri, Sekjen dan wakilnya adalah Adipati Karno dan Resi Bisma. Divisi-divisi lain diisi oleh sebagian staf negeri Mandura, termasuk Limbuk dan Cangiknya.
“Ini sudah keterlaluan, harus ditindak tegas.” Daulat Prabu Duryudana kemudian.
“Langsung kita jadikan tersangka, anak prabu?” Patih Sengkuni mau cari muka.
Prajurit Ngastina dikerahkan, termasuk membawa alat-alat besar. Banguan candi Grojogan Sewu harus dirobohkan. Di samping tanpa dilengkapi IMB, juga dikhawatirkan tempat itu nantinya menjadi arena kumpul kaum oposisi, khususnya para anggota Petisi-75. Baru Petisi 50 saja sudah bikin pusing apa lagi sampai ditambah 25.
Pasukan Ngastina terus bergerak. Tanpa ba bi bu lagi, alat-alat besar mendorong bangunan candi berbentuk minimalis itu, bruggg! Pendita Durna dan Sengkuni yang pakai jaket hitam anti peluru merangsek ke dalam, sejumlah poster berlogo “Pergerakan Mandura” diambil. Keduanya bermasud menangkap urip-uripan Prabu Baladewa. Tapi demi melihat Prabu Baladewa ngelus-elus senjata Nenggala, Pendita Durna langsung kabur duluan. Padahal posisi Nenggala masih diarahkan ke bawah, karena sekedar untuk menakut-nakuti.
“Apa-apaan ini, bentuk ormas “Pergerakan Mandura” segala. Sampeyan mau kontra revolusi, ya?” tuduh Patih Sengkuni.
“Kalian jangan asal tuduh. Cek dulu kebenarannya, baru bicara!” sergah Prabu Baladewa dengan muka memerah laksana jambu bol. Senjata Nenggala mulai diangkat.
Daripada cari penyakit, Patih Sengkuni dan Pendita Durna memilih kabur naik taksi. Tiba di negeri Gajahoya segera lapor sang prabu. Dan hari itu juga Prabu Duryudana mengadakan mutasi besar-besaran pengurus Yayasan Gajahoya. Posisi Baladewa sebagai wakil ketua dicopot dan digantikan oleh Pendita Durna sendiri. Sedangkan Adipati Karno yang semula jadi sekretaris, kini hanya jadi anggota biasa. Apalagi Resi Bisma, pertapan Talkanda yang selama ini dapat pasokan listrik gratis, dipaksa harus bayar dengan tarif golongan mewah.
“Ssst, jadi wakil ketua tunjangannya segede Tim Gubernur DKI, nggak ya?” kata Durna bisik-bisik pada patih Sengkuni.
“Auah gelap! Pendita kok masih mata duitan.”
Tahu-tahu ada Prabu Duryudana dipanggil Betara Bayu, Kepala Ombudsman di Jonggring Salaka. Dia mau diklarifikasi soal intimidasi pada Prabu Baladewa. Ternyata Patih Sengkuni justru menyarankan, tak usah datang. Ini telah terjadi pemutar-balikan fakta.
“Yang mengintimidasi justru Prabu Baladewa, karena kita datang disambut senjata Nenggala.” Kata Patih Sengkuni.
“Untung yang datang Sengkuni. Kalau saya, Baladewa sudah bisa disebut sebagai teror pada pendita.” Potong Pendita Durna tak mau kalah. (Ki Guna Watoncarita).
