ZNEWS.ID JAKARTA – “E daeng daeng daeng na ka ma to jeng (wahai para hadirin sekalian, demikianlah adanya).” Tepuk tangan warga yang duduk melingkar seketika terdengar riuh ketika Daeng Aco sang pemain sinlirik (pasinrilik) malam itu memainkan irama penutup.
Sinrilik adalah cerita atau narasi yang disampaikan dalam bentuk lantunan irama, menyerupai puisi atau syair dengan pemilihan kata-kata yang tepat dan pengulangan lirik.
Lantunan syair Daeng Aco malam itu mengisahkan perjalanan romantis layaknya Romeo dan Juliet dari Tanah Makassar, yaitu Datu’ Museng dan Maipa Deapati.
Dalam setiap pertunjukan, pasinrilik selalu duduk bersila di tengah lingkaran penonton dengan menggunakan ikat kepala, pakaian Bella Dada, dan sarung. Pasinrilik juga tidak lupa memangku alat musik kesok-kesok atau sejenis rebab khas Makassar.
Kesok-kesok milik Daeng Aco memiliki keistimewaan, tidak hanya berumur tiga generasi, tetapi juga memiliki status yang sangat sakral baginya.
Daeng Aco mengakui bahwa ia tidak dapat bertutur sinrilik secara lantang tanpa kesok-kesok tersebut, setelah menerima pesan melalui mimpi dari ayahnya untuk melanjutkan estafet sinrilik.
Pementasan sinrilik Daeng Aco menjadi legenda karena tetap berbentuk organik, mirip dengan pementasan sinrilik yang direkam oleh antropolog Prancis, Christian Pelras, pada sekitar 1970-an.
Keahlian sinriliknya besar kemungkinan hasil pewarisan yang alami, di mana kemampuannya terasa seperti pemberian daripada hasil kerja keras dan latihan.
Sebagian penonton tak kuasa menahan air mata, sementara yang lain tersenyum dengan mata terpejam, meresapi suara Daeng Aco yang mengikuti gesekan kesok-kesok.
Setiap penonton sepertinya setuju bahwa syair-syair yang dibacakannya membawa energi magis yang memperkuat dan menghibur, meskipun ada yang tidak memahami artinya.
Daeng Aco menyatakan bahwa menjadi pasinrilik bisa dimulai dengan belajar langsung dari maestro, tetapi pewarisan lebih sering berhasil ketika seseorang menerima pesan khusus atau menyadari bakat sinrilik yang ada dalam dirinya.
Pertunjukan sinrilik adalah warisan seni dan budaya khas masyarakat Makassar, yang menuturkan syair-syair kuno dengan lantunan nada dari instrumen kesok-kesok.
Pada panggung budaya, pasinrilik umumnya membacakan syair kuno atau bahasa arkais Makassar yang berkisah tentang tokoh heroik atau leluhur masyarakat Makassar.
Dalam perkembangannya, pasinrilik sering memodifikasi syair kuno agar sesuai dengan kebutuhan individu yang mengundang.
Meski begitu, tantangan utama dalam pertunjukan sinrilik bukanlah pergeseran panggung, melainkan jumlah penutur. Menurut lembaga riset Transkrip Tradisi Lisan Indonesia, hanya ada lima orang pasinrilik yang tersisa, dan Daeng Aco menjadi penutur tertua di seluruh Makassar.
Panggilan Hidup
Jumlah penutur sinrilik yang sangat sedikit tidak terjadi tanpa alasan. Menjadi pasinrilik ternyata sangat terkait dengan panggilan hidup. Kondisi tubuh Daeng Aco yang sudah renta membuatnya tidak mampu lagi untuk tampil atau bahkan berbagi pengetahuan tentang sinrilik kepada generasi muda.
Sayangnya, anak dan keluarga Daeng Aco belum tergerak, bahkan belum mendapatkan pesan khusus untuk melanjutkan tradisi menjadi pasinrilik.
Kondisi pewarisan sinrilik yang terancam punah menimbulkan kekhawatiran bagi akademisi dan penggiat tradisi lisan Makassar, Muhammad Fadhly Kurniawan.
Fadhly melihat bahwa sinrilik menyimpan banyak pengetahuan lokal, mulai dari sejarah, petuah, hingga memori budaya masyarakat Makassar dari masa lampau, yang dapat membuat penonton merasakan nostalgia.
Banyak masyarakat Makassar yang sebenarnya merindukan pertunjukan sinrilik, namun terbatas aksesnya, baik itu pertunjukan maupun arsipnya.
Bersama beberapa anak muda lainnya, Fadhly mendirikan sebuah komunitas dan lembaga riset swadaya untuk memastikan kelangsungan pewarisan sinrilik di masa yang akan datang.
Mereka aktif mengumpulkan berbagai arsip, seperti pemberitaan, rekaman audio, video, dan potongan gambar terkait pertunjukan sinrilik masa lalu.
Selain itu, mereka membuat publikasi berupa artikel pendek maupun panjang dengan sifat ilmiah untuk memperbarui referensi tentang sinrilik.
Dalam beberapa kesempatan, Fadhly dan komunitasnya mengadakan kegiatan “Sinrilik Goes To School” untuk memberikan literasi tentang tradisi sinrilik dan keberadaan pasinrilik kepada generasi muda.
Tak hanya itu, mereka berjuang untuk mendapatkan dana hibah guna membuat film dokumenter mengenai perjalanan hidup Daeng Aco melalui program Dana Indonesiana yang diselenggarakan oleh Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek) melalui Direktorat Jenderal Kebudayaan.
Dalam satu kesatuan dengan Fadhly, Direktorat Perlindungan Kebudayaan Kemendikbudristek menyatakan bahwa program penetapan warisan budaya tak benda (WBTB) yang diadakan setiap tahun juga menjadi upaya untuk melindungi seni tradisi lisan Nusantara.
“Program tahunan penetapan warisan budaya tak benda memang upaya Kemendikbudristek sebagai pembuat regulasi untuk melindungi seni tradisi lisan Nusantara. Setelah ditetapkan, para pelaku tradisi akan mendapatkan perhatian khusus,” ujar Direktur Perlindungan Kebudayaan Kemendikbudristek, Judi Wahjudin, dilansir dari Antara.
Sebanyak 1.728 di antara 11.706 seni tradisi lisan yang dilaporkan kepada Kemendikbudristek telah ditetapkan sebagai WBTB pada 2022. Jumlah itu diperkirakan akan bertambah pada akhir 2023.
Mengaitkan dengan sinrilik, upaya tersebut juga merupakan dukungan terhadap UU No 5 tahun 2017 tentang Pemajuan Kebudayaan. Sinrilik adalah satu dari sepuluh Objek Pemajuan Kebudayaan yang merupakan tradisi lisan dan kesenian rakyat yang berkelindan dengan pengetahuan lokal masyarakat Makassar.