Saya baru saja mewakili Kementerian Kesehatan dalam Dialog Konstruktif dengan Komite Hak Anak PBB di Palais Wilson, Jenewa – Swiss pada 14-15 Mei 2025, dimana berbagai kebijakan dan tantangan terkait hak anak dibahas. Sebagai negara pihak, Indonesia telah meratifikasi Konvensi Hak Anak melalui Peraturan Presiden No.36 tahun 1990 dan telah melaksanakan Dialog Konstruktif dengan Komite Hak Anak pada tahun 1993, 2004, dan 2014.
Dialog Konstruktif merupakan mekanisme yang digunakan oleh Badan Traktat PBB untuk meninjau kepatuhan negara pihak (state party) terhadap pelaksanaan Kovenan Internasional tentang Hak-hak anak (CRC) pada awal Mei 2025, yang bertujuan untuk meninjau Laporan Periodik kelima dan keenam Republik Indonesia terkait implementasi Konvensi Hak Anak (CRC).
Delegasi berasal dari perwakilan dari: Kemenko Hukum HAM Imigrasi dan Pemasyarakatan, Kemenko Politik Keamanan, Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, Kementerian Luar Negeri, Kementerian Hak Asasi Manusia, Kementerian Kesehatan dan Bappenas.
Pertemuan Konvensi Hak Anak bertujuan untuk meninjau dan memastikan implementasi hak-hak anak sesuai dengan Konvensi Hak Anak PBB (CRC). Beberapa tujuan utama dari pertemuan ini meliputi:
1. Evaluasi Kemajuan – Negara-negara yang telah meratifikasi CRC melaporkan perkembangan mereka dalam memenuhi hak anak, termasuk kebijakan, program, dan tantangan yang dihadapi.
2. Identifikasi Tantangan – Komite Hak Anak mengkaji isu-isu yang masih menjadi hambatan, seperti diskriminasi, eksploitasi anak, akses pendidikan, dan kesehatan.
3. Rekomendasi Kebijakan – Komite memberikan rekomendasi kepada negara untuk meningkatkan perlindungan anak, termasuk revisi kebijakan dan strategi nasional.
4. Mendorong Transparansi dan Akuntabilitas – Negara diminta untuk memberikan data dan laporan yang akurat mengenai kondisi anak-anak serta langkah-langkah yang telah diambil.
5. Meningkatkan Kesadaran Global – Pertemuan ini juga berfungsi sebagai platform untuk berbagi praktik terbaik dan memperkuat kerja sama internasional dalam perlindungan anak.
Komite Hak Anak yang beranggotakan 18 orang pakar independen yang bertugas untuk memonitor implementasi Konvensi Hak Anak. Mereka baru saja menyimpulkan kajian atas laporan berkala kelima dan keenam Indonesia terkait pemenuhan hak anak. Dalam sesi ini, para pakar mengapresiasi berbagai langkah progresif yang telah diambil Indonesia, termasuk pengembangan kota ramah anak dan kebijakan perlindungan sosial.
Namun, beberapa isu krusial masih menjadi sorotan, seperti aturan wajib hijab di sekolah tertentu serta tingginya angka mutilasi genital Perempuan. Isu spesifik kesehatan yang dibahas antara lain tentang Kesehatan Ibu dan Anak, stunting, aborsi, pasung, kesehatan mental remaja dan makan bergizi gratis.
Philip Jaffe, Wakil Ketua Komite, menyampaikan bahwa Indonesia telah menunjukkan komitmen kuat terhadap hak anak melalui berbagai program nasional, termasuk rencana pembangunan jangka panjang “Indonesia Emas”. Hingga tahun 2023, 459 dari 514 kotamadya telah menjalankan evaluasi terkait hak anak, menandakan peningkatan signifikan dalam pemenuhan hak-hak dasar.
Dalam pengantarnya, Duta Besar Achsanul Habib, Kuasa Usaha Ad Interim Perutusan Tetap RI (PTRI) di Jenewa, menekankan bahwa partisipasi Indonesia dalam dialog ini mencerminkan komitmen untuk menjalankan Konvensi Hak Anak guna memastikan perlindungan hak anak sebagai generasi penerus bangsa.
Muhammad Ihsan dari Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak mengungkapkan bahwa Indonesia telah menetapkan anak sebagai kelompok prioritas dalam Rencana Aksi Nasional Hak Asasi Manusia 2021–2025. Salah satu pencapaian penting adalah disahkannya Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual yang memperkuat perlindungan hukum bagi anak dari kekerasan seksual. Selain itu, perubahan batas usia perkawinan menjadi 19 tahun telah menunjukkan dampak positif dalam menurunkan angka pernikahan anak.
Dalam sesi tanya jawab, delegasi Indonesia menjelaskan bahwa aturan jilbab wajib di beberapa sekolah tidak mencerminkan kebijakan nasional. Setelah insiden terkait aturan ini, tiga kementerian mengeluarkan keputusan bersama yang menegaskan bahwa tidak ada siswa, guru, atau staf sekolah yang boleh dipaksa mengenakan pakaian keagamaan di luar keinginan mereka. Langkah ini bertujuan untuk menjamin kebebasan berkeyakinan dan toleransi di lingkungan pendidikan.
Dalam sidang ini saya berkesempatan menjawab beberapa pertanyaan, diataranya terkait pasung dimana Indonesia melaporkan saat ini masih ada 1.794 kasus pasung yang terlaporkan pada tahun 2024, 23 diantaranya usia < 18 tahun. Tahun lalu pemerintah telah berhasil membebaskan 301 kasus pasung yang ada di Masyarakat. Isu Kesehatan lain yang saya jawab adalah tentang penanganan HIV, dimana Indonesia telah melakukan pencapaian yang luar biasa dalam pencegahan penularan HIV dari Ibu ke anak yang ditunjukkan peningkatan ibu hamil yang ditest HIV dari 51% pada 2021 menjadi 71% pada 2024 dan prosentase ibu yang positif HIV mendapatkan pengitbatan ARV meningkat tajam dari 34% pada 2021 menjadi 74% pada 2024.
Mengenai sunat perempuan, delegasi Indonesia menegaskan bahwa praktik ini telah dilarang melalui peraturan dan strategi nasional 2020–2030. Data terbaru menunjukkan bahwa angka kasus ini telah menurun dari 50% pada 2021 menjadi 48% pada 2025. Pemerintah terus memperkuat koordinasi antar sektor untuk memastikan penghapusan praktik ini secara menyeluruh.
Delegasi juga menyampaikan bahwa Indonesia berkomitmen terhadap perlindungan anak di ruang digital. Pada Maret 2025, Presiden mengesahkan Peraturan Pemerintah tentang Tata Kelola Sistem Elektronik untuk Perlindungan Anak, memastikan ekosistem digital yang aman. Selain itu, kebijakan pendidikan terus diperbaiki dengan peningkatan kapasitas sekolah serta integrasi pendidikan hak asasi manusia dalam kurikulum.
Komite Hak Anak juga menyoroti tantangan dalam akses pendidikan bagi anak-anak penyandang disabilitas serta kasus pekerja anak. Pemerintah Indonesia menyampaikan bahwa berbagai langkah telah diambil, termasuk kampanye kesadaran serta peningkatan alokasi anggaran untuk pendidikan inklusif.
Dalam sambutan penutupnya, Dirjen Munafrizal Manan dari Kementerian Hak Asasi Manusia Indonesia menegaskan bahwa kementerian yang baru dibentuk ini bertujuan untuk memperkuat perlindungan hak asasi manusia, termasuk hak anak. Dialog ini menegaskan bahwa Indonesia terus berupaya memperbaiki kebijakan, merespons rekomendasi internasional, dan memastikan anak-anak dapat menikmati hak-hak mereka secara penuh.
Komite Hak Anak mengapresiasi keterlibatan Indonesia dalam sesi ini dan berharap bahwa rekomendasi yang diberikan dapat diterjemahkan ke dalam kebijakan yang lebih efektif di masa mendatang.(IP)
*dr. Imran Pambudi, Direktur Pelayanan Kesehatan Kelompok Rentan Kemenkes