Mengenal Malahayati, Laksamana Wanita Pertama di Dunia

Keumalahayati Malahayati. (Foto: Istimewa/id.wikipedia.org)

JAKARTA – Kemerdekaan yang diperoleh oleh bangsa Indonesia pada 17 Agustus 1945, adalah hasil dari perjuangan besar para pejuang dalam melawan penjajah yang telah berkuasa di Nusantara selama 350 tahun lamanya. Banyak jiwa yang dikorbankan oleh pahlawan-pahlawan bangsa demi mewujudkan kemerdekaan sebagai landasan negara berdaulat. Salah satu di antara mereka adalah Malahayati.

Malahayati, wanita asli Aceh yang lahir pada 1 Januari 1550, salah satu dari sekian banyak pahlawan dari Tanah Rencong yang berani berjuang melawan penjajah. Ia dikenal bersama dengan Cut Nyak Dien dan Cut Nyak Meutia dalam melawan penjajahan.

Malahayati, yang lahir dengan nama Keumalahayati, berasal dari keluarga yang memiliki sejarah sebagai pelaut-pelaut ulung. Ayahnya, Laksamana Mahmud Syah, adalah Panglima Angkatan Laut Kesultanan Aceh.

Malahayati juga keturunan Sultan Salahuddin Syah, raja kedua Kesultanan Aceh yang memerintah pada 1530 hingga 1539. Malahayati menghabiskan masa remajanya di lingkungan istana, bahkan mengikuti akademi militer Angkatan Laut Kesultanan Aceh yang dikenal sebagai Mahad Baitul Maqdis.

Pada usia 35 tahun, sekitar tahun 1585, Malahayati dipercaya sebagai Kepala Barisan Pengawal Istana Rahasia dan Panglima Protokol Pemerintahan selama pemerintahan Sultan Alauddin Riayat Syah al-Mukammil.

Perlawanan pertamanya terhadap penjajah Portugis terjadi dalam pertempuran di perairan Teluk Haru, dekat Selat Malaka, pada 1586. Suaminya, Laksamana Tuanku Mahmuddin bin Said Al Latief, yang juga menjadi Kepala Pengawal Sultan, memimpin pertempuran tersebut.

Armada perang Kesultanan Aceh berhasil mengusir Portugis meskipun suaminya gugur dalam pertempuran tersebut. Malahayati tidak menerima kenyataan itu dan berjanji untuk membalas dendam serta melanjutkan perjuangan suaminya. Dia kemudian menggantikan posisi mendiang Laksamana Tuanku Mahmuddin.

Dengan restu Sultan Riayat Syah, ia diberi gelar laksamana dan menjadi wanita pertama di dunia yang memegang pangkat tersebut, sebagaimana diungkapkan dalam buku Perempuan Keumala. Malahayati mengungkapkan rencana besar untuk membangun armada tempur laut dengan seluruh prajuritnya adalah wanita.

Inong Balee

Malahayati memberi nama pasukan elit ini Inong Balee, yang merupakan prajurit perempuan yang telah menjadi janda setelah suami mereka gugur dalam pertempuran melawan Portugis. Pasukan ini terdiri dari sekitar 2.000 wanita, semuanya adalah janda dari prajurit yang gugur dalam pertempuran tersebut.

Dengan pengetahuan yang mereka dapatkan saat belajar di Mahad Baitul Maqdis, Malahayati melatih Inong Balee menjadi pasukan tempur yang sangat dihormati.

Selama waktu belajarnya di Mahad Baitul Maqdis, Malahayati juga mendapatkan pelatihan dari instruktur perang yang sangat berpengalaman dari Turki, seperti yang tercatat dalam buku Malahayati: Srikandi dari Aceh.

Sultan Aceh kemudian memberinya gelar panglima armada laut atau laksamana, menjadikannya wanita pertama di dunia yang memegang jabatan tersebut. Sultan juga memberi pasukan Inong Balee 100 kapal perang besar, masing-masing dengan kapasitas untuk 400 pasukan.

Pasukan Inong Balee terlibat dalam berbagai pertempuran melawan Portugis dan Belanda. Mereka tidak hanya beroperasi di Selat Malaka, tetapi juga di pantai timur Sumatra dan Malaya.

Selain itu, mereka membangun Benteng Inong Balee di perbukitan dekat Teluk Lamreh, Krueng Raya, Kecamatan Mesjid Raya, Kabupaten Aceh Besar. Benteng ini, yang sepenuhnya dibangun oleh wanita-wanita ini, memiliki tembok setinggi sekitar 100 meter dan cukup kuat untuk menghadapi serangan musuh.

Benteng ini menjadi markas pasukan Malahayati dan juga pusat pelatihan tempur untuk Inong Balee. Selain tugas-tugas perang, pasukan Malahayati juga bertanggung jawab untuk mengamankan jalur perdagangan laut Kesultanan Aceh dan mengawasi pelabuhan-pelabuhan laut Aceh pada saat itu.

Namun, pada 21 Juni 1599, dua kapal Belanda, de Leeuw dan de Leeuwin, yang membawa pasukan perang di bawah pimpinan dua bersaudara, Cornelis dan Frederik de Houtman, ingin bersandar di pelabuhan Aceh Besar.  Aceh Besar menjadi tujuan kedua bersaudara de Houtman setelah sebelumnya mengunjungi Banten, Madura, hingga Bali dalam pencarian rempah-rempah.

Namun, mereka selalu menghadapi perlawanan dari masyarakat setempat karena perilaku pasukan bersaudara de Houtman yang tidak disukai. Ini juga terjadi saat mereka mencoba mencapai Aceh Besar, dan mereka tidak diizinkan berlabuh di pelabuhan oleh Sultan.

Taklukkan Cornelis de Houtman

Laksamana Malahayati dan pasukan Inong Balee telah menunggu dengan kesiapan penuh. Sultan memerintahkan Laksamana Malahayati untuk mengusir dua kapal Belanda tersebut. Pertempuran laut menjadi tak terhindarkan, dan pasukan Inong Balee berhasil menghancurkan kedua kapal dagang itu.

Dalam duel satu lawan satu di atas kapal musuh pada 11 September 1599, Laksamana Malahayati menghadapi Cornelis, yang nyawanya akhirnya melayang di ujung rencong Malahayati.

Sebagaimana yang diceritakan oleh sejarawan Marie van C Zeggelan dalam bukunya Oude Glorie yang diterbitkan pada 1935, Belanda mengalami kerugian besar dalam pertempuran tersebut, dan sebagian yang masih hidup, termasuk Frederik de Houtman, ditahan di hotel prodeo alias penjara.

Selain menjadi panglima perang yang ulung di laut, Malahayati juga terkenal sebagai seorang juru runding yang cakap. Pemerintah Belanda mengajukan permintaan pembebasan tawanan perang mereka yang ditahan oleh Kesultanan Aceh, termasuk Frederik de Houtman.

Sultan mengutus Malahayati untuk berpartisipasi dalam perundingan dengan Belanda. Namun, dia menetapkan syarat bahwa Belanda harus membayar ganti rugi atas perang yang telah mereka timbulkan demi membebaskan para tawanan.

Malahayati juga menerima kunjungan utusan khusus dari Ratu Elizabeth I yang bernama James Lancaster, seorang saudagar dagang besar pada masanya. Lancaster datang ke Aceh pada 5 Juni 1602 dengan kapalnya, Red Dragon.

Ia mengungkapkan maksudnya kepada Malahayati untuk membeli rempah-rempah Aceh, seperti yang telah dilakukannya di Maluku dan Banten. Misi tersebut berhasil karena Malahayati setuju dengan tawaran Lancaster bahwa mereka hanya ingin berdagang dan tidak berperang.

Malahayati meninggal pada 1615 dan dimakamkan di dekat bentengnya di Desa Lamreh, Krueng Raya. Pada 9 November 2017, Presiden Joko Widodo menetapkan Malahayati sebagai Pahlawan Nasional berdasarkan Keputusan Presiden RI nomor 115/TK/Tahun 2017.

Selain diabadikan sebagai nama salah satu kapal perang TNI-Angkatan Laut (AL), Malahayati juga diberi nama pelabuhan di Desa Lamreh Krueng Raya, Kecamatan Mesjid Raya, Aceh Besar.

Pelabuhan Malahayati ini pertama kali digunakan sebagai pelabuhan transit sejak zaman Sultan Iskandar Muda, kemudian mengalami perubahan fungsi menjadi tempat persinggahan kapal, dan pascatragedi tsunami 2004, pelabuhan ini mangkrak.

Baru pada 2007, Pelabuhan Malahayati kembali beroperasi untuk mengangkut produk ekspor dari Aceh ke kawasan Eropa dan Timur Tengah.

TNI-AL menghidupkan kembali kisah heroik Malahayati melalui pertunjukan teaterikal di Jakarta pada 8-9 September 2023, sekaligus untuk memperingati HUT TNI-AL pada 10 September 2023. Beberapa nama besar di dunia seni pertunjukan dan teater terlibat dalam acara ini, termasuk Jay Subiakto, sutradara Iswadi Pratama, Nyak Ina Raseuki yang dikenal sebagai Ubiet, dan Marcella Zalianty.

Sumber: indonesia.go.id