JAKARTA – Berdasarkan UU No. 41 tahun 2004, harta benda wakaf hanya dapat difungsikan untuk: (a) sarana dan kegiatan ibadah, (b) sarana dan kegiatan pendidikan serta kesehatan, (c) bantuan kepada fakir miskin, anak terlantar, yatim piatu, bea siswa, (d) kemajuan dan peningkatan ekonomi umat, (e) kemajuan kesejahteraan umum lainnya yang tidak bertentangan dengan syariah dan peraturan perundang-undangan. (Pasal 22).
Penetapan fungsi atau peruntukan itu dilakukan wakif pada saat pelaksanaan ikrar wakaf. Jika wakif tidak menentukan secara spesifik, nazir punya otoritas untuk menetapkan peruntukannya. (Pasal 23).
Setelah itu, nazir wajib mengelola dan mengembangkan sesuai dengan peruntukkan. Apa benar, peruntukan tersebut tak bisa berubah?
Pada dasarnya, nazir dilarang untuk mengubah peruntukan harta wakaf. Namun, jika ditemukan kendala di lapangan, yaitu karena kondisi aset sudah tidak dapat dikelola dan dikembangkan sesuai dengan peruntukan, maka larangan tersebut bisa dicabut.
Berarti, fungsi atau peruntukan aset wakaf yang semula boleh diubah dengan fungsi yang berbeda, tapi dengan syarat atas izin tertulis dari Badan Wakaf Indonesia. (Pasal 44).
Ini sesuai dengan salah satu tugas dan wewenang BWI, yaitu memberikan persetujuan dan atau izin atas perubahan peruntukan dan status harta benda wakaf. (Pasal 49).
Usai mendapatkan izin dari BWI, nazir melalui Pejabat Pembuat Akta Ikrar Wakaf (PPAIW) harus mendaftarkan kembali atas harta benda wakaf yang diubah peruntuannya kepada Instansi yang berwenang dan juga kepada BWI. (Pasal 36).
Jika dalam suatu kasus, ditemukan nazir yang dengan sengaja mengubah peruntukan harta benda wakaf tanpa mengantongi izin dari BWI, maka ia dikenakan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun dan atau pidana denda paling banyak Rp400.000.000. (Pasal 67). (bwi.go.id)
