JAKARTA – Angka persentase kematian akibat leptospirosis di Indonesia secara umum lebih tinggi dibandingkan dengan Covid-19. Hal ini disampaikan oleh Prof Tjandra Yoga Aditama, Direktur Pasca-Sarjana Universitas YARSI, yang mengungkapkan bahwa kasus leptospirosis di Indonesia cenderung meningkat setiap tahunnya.
Pada 2020, terdapat 1.170 kasus leptospirosis dengan 106 kematian, yang setara dengan angka persentase kematian (CFR) sebesar 9,06 persen, yang jauh lebih tinggi dibandingkan dengan angka kematian akibat Covid-19.
Di tahun 2021, terdapat 736 kasus leptospirosis dengan 84 kematian (CFR 11,41 persen), sementara pada 2022 laporan dari 11 provinsi menunjukkan terdapat 1.408 kasus leptospirosis dengan 139 kematian (CFR 9,87 persen).
“Persentase CFR COVID-19 pada umumnya berkisar 2,4 hingga 3,4 persen berdasarkan data Public Health Emergency Operating Centre (PHEOC) Kemenkes RI,” katanya, dilansir dari Antara, Jumat (10/3/2023).
Namun, pada kurun Januari hingga Maret 2023, beberapa daerah di Indonesia telah melaporkan adanya peningkatan kasus leptospirosis, seperti Kabupaten Pacitan di Jawa Timur, Jawa Tengah, Kabupaten Bantul di DI Yogyakarta, Jawa Barat, Kabupaten Pangkep di Sulawesi Selatan, dan Banten.
Dalam laporan tersebut, Kabupaten Pacitan melaporkan 114 kasus dengan enam orang meninggal, Jawa Tengah melaporkan 111 kasus dengan 18 orang meninggal, Kabupaten Bantul melaporkan 41 kasus dengan tujuh orang meninggal.
Kemudian, Jawa Barat melaporkan sembilan kasus dengan dua orang meninggal, Kabupaten Pangkep melaporkan empat kasus dengan satu orang meninggal, dan Banten melaporkan dua kasus tanpa adanya kematian.
Tjandra menjelaskan bahwa penyakit leptospirosis disebabkan oleh bakteri yang dikenal sebagai leptospira, yang pertama kali diidentifikasi pada tahun 1886 oleh Adolf Weil dan juga dikenal sebagai penyakit atau sindrom Weil.
“Penyakit ini termasuk salah satu penyakit zoonosis, karena ditularkan melalui hewan atau binatang. Di negara kita hewan penular terutama adalah tikus melalui kotoran dan air kencingnya,” katanya.
Tjandra memperingatkan agar masyarakat berhati-hati terhadap beberapa lokasi yang berpotensi menjadi tempat penularan leptospirosis, terutama di kawasan banjir.
Pada musim hujan, banyak tikus keluar dari liang tanah mereka dan berkeliaran di sekitar manusia, dan kotoran serta air kencing mereka bisa tercampur dengan air banjir. Jika seseorang yang memiliki luka terendam air banjir yang terkontaminasi bakteri leptospira, maka mereka berpotensi untuk terinfeksi dan sakit.
Seseorang yang mempunyai luka, kemudian terendam air banjir yang sudah tercampur dengan kotoran maupun kencing tikus yang mengandung bakteri leptospira, maka berpotensi terinfeksi dan bisa jatuh sakit, kata Tjandra menambahkan.
Menurut Tjandra, terdapat empat langkah antisipasi yang dapat dilakukan.untuk mencegah penularan leptospirosis, yakni dengan menekan dan menghindar dari aktivitas tikus yang berkeliaran di sekitar tempat tinggal, dengan selalu menjaga kebersihan, hindari bermain air saat terjadi banjir, terutama jika mempunyai luka.
Cara berikutnya adalah menggunakan pelindung, misalnya sepatu, bila terpaksa harus ke daerah banjir. Terakhir, segera berobat ke sarana kesehatan bila sakit dengan gejala panas tiba-tiba, sakit kepala dan menggigil.
“Jika terlanjur tertular, maka pengobatan dilakukan dengan memberikan antibiotika yang sesuai baik secara oral maupun suntikan, di mana antibiotika saat ini masih efektif untuk pengobatan leptospirosis,” katanya.
Gejala dan tanda klinis penderita leptospirosis secara umum adalah demam mendadak dengan suhu tubuh lebih dari 38,5 derajat Celcius, sakit kepala, nyeri otot betis sehingga kesulitan berjalan, lemah, kemerahan pada selaput putih mata atau conjunctival suffusion, serta kekuningan (ikterik) pada mata dan kulit.