PARPOL yang biasanya menggebu-gebu menjual ide dan gagasan untuk menarik hati rakyat demi mengatrol elektabilitasnya di setiap masa kampanye menjelang Pemilu, ternyata jauh dari hati rakyat, calon konstituen mereka.
Hasil jajak pendapat yang digelar harian Kompas, 20 sampai 22 Des. lalu diikuti 506 responden di 34 propinsi mengungkapkan, hanya 29 persen responden yang tau KPU sudah menetapkan parpol peserta Pemilu 2024 pada 14 Des. lalu, 71 persen lainnya tidak tau.
Menjawab pertanyaan lainnya, hanya 7,8 persen responden menjawab dengan benar jumlah parpol yang ditetapkan KPU sebagai peserta Pemilu ‘24, sedangkan 8,1 persen tau tetapi salah menjawab jumlahnya dan selebihnya (84,1 persen) tidak tau.
Ada 18 partai nasional yakni: PKB, Gerindra, PDI-P, Partai Golkar, Nasdem, Partai Buruh, Partai Gelora Indonesia, PKS, PKN, Hanura, Garuda, PAN, PBB, Partai Demokrat, PSI, Perindo, PPP dan Partai Umat yang ditetapkan sebagai peserta Pemilu 2024.
Selebihnya ada enam partai lokal Aceh yakni Partai Nanggroe Aceh, Partai Generasi Aceh, Partai Darul Aceh, Partai Aceh, Partai Adil Sejahtera dan Partai Solidaritas Independen Rakyat Aceh.
Sedangkan 79,3 responden menjawab “perlu” bagi parpol yang sudah ditetapkan sebagai peserta pemilu ‘24 melakukan sosialisasi meski kampanye belum mulai, 18 persen menjawab “tidak perlu “ dan 2,7 persen “tidak tau”.
Masalahnya, masa kampanye baru dimulai 28 November 2023 sampai 10 Februari 2024 sehingga ada jeda waktu relatif panjang bagi parpol kontestan pemilu sebelum memasuki masa kampanye.
Untuk merespons perlunya sosialisasi di luar jadual kampanye, KPU dan Bawaslu sedang membahas mekanismenya dan disepakati, KPU akan menerbitkan aturan teknis terkait sosialisasi tersebut.
Gagal, Parpol
Keberadaan parpol sebagai infrastruktur politik di negeri dinilai sebagian gagal menjadi wadah bagi kader-kader berkualitas dan amanah yang nantinya diharapkan menjadi perpanjangan tangan rakyat dan calon pemimpin.
Sejak perekrutan kader-kadernya, parpol sudah sarat dengan KKN, money politics dan jauh dari akses publik, sehingga yang terjun biasanya dari kalangan “yang itu-itu” saja, dari dinasti politik, kalangan berduit, selebrities atau pengusaha tajir.
Lebih parah lagi, saat kader parpol yang sudah bersusah payah berhasil menjadi wakil rakyat di DPR atau pemimpin daerah, mereka ingkar janji, jadi pesakitan atau dicokok OTT oleh KPK.
Yang juga memprihatinkan, banyak orang tua menasihati anak-anak mereka untuk tidak terjun ke politik yang mereka anggap kotor, penuh intrik, kepura-puraan dan dan sekedar pencitraan serta acap mencatut nama rakyat, bangsa dan negara.
Akibatnya, karier politik (sebagian) diisi oleh preman, petualang, pengangguran, orang yang berambisi menumpuk kekayaan atau yang memiliki akses atau berasal dari dinasti politik.
Reformasi total parpol, mulai dari sistem perekrutan agaknya mendesak dilakukan, agar lahir politisi atau pemimpin yang amanah, pekerja keras dan jujur.
Bayangkan, sejak 2004 sampai Oktober 2022, sekitar 320 anggota DPR dan DPRD yang berurusan dengan KPK, 12 menteri, 20 gubernur dan 140 bupati atau walikota yang sebagian besar berasal dari kader-kader Parpol.