TIMNAS Garuda takluk di tangan skuad Samurai Biru Jepang 0 – 4 pada laga kandang putaran ketiga kualifikasi Piala Dunia 2026 di stadion GBK, Senayan, Jakarta, Jumat malam lalu (15/11).
Harapan publik pecinta timnas di Tanah Air agaknya membumbung ketinggian, “Bagai pungguk merindukan bulan”, karena Tim Jepang yang dihadapi, bukanlah kaleng-kaleng.
Di laga sebelumnya pada putaran turnamen yang sama, Jepang membantai China 7 – 0, menekuk Arab Saudi 5 – 0 dan mengungguli Bahrain 2 – 0.
Berarti dari keempat laga termasuk menang 4 – 0 lawan Indonesia, Jepang meriah 12 poin penuh, dan gawangnya yang dijaga Zion Suzuki belum pernah kebobolon sekali pun!
Ranking FIFA saja, bagai antara bumi dan langit. PSSI di urutan ke-130, sementara Jepang bertengger di ranking 15 di atas tim-tim unggulan seperti AS, Meksiko atau Swiss dan terbaik di Asia.
Pecandu, pelatih , pengamat dan publik pengemar sepak bola di Tanah Air yang menggebu-gebu, berharap skuad Garuda yang diisi mayoritas pemain naturalisasi mampu ”terbang” lebih tinggi lagi tentu kecewa.
Jepang membangun tim sepak bola dari bawah, didukung industri raksasa dengan mendirikan klub-klub yang kemudian menjadi unggulan di kawasan Asia dan mencetak pemain-pemain yang diincar dan laku, merumput di tim-tim papan atas Eropa.
Tidak hanya itu, persepakbolaan negara Matahari Terbit itu maju berkat semangat Bushido dan budaya disiplin tinggi yang mengakar dalam diri setiap individu orang Jepang.
Sikap tim Jepang saat kalah dalam adu pinalti melawan tim Kroasia sehingga langkahnya terhenti di 16 besar Piala Dunia 2022 setelah sebelumnya mampu mengalahkan tim raksasa Jerman dan Spanyol seperti ditulis oleh Prof. Pitoyo Peter Hartono, patut direnungkan.
“Kalah ya kalah”, tegas pelatih Jepang Hajime Moriyasu. Ia pun membungkukkan dalam dalam, mengucapkan terima kasih pada para supporter dan tuan rumah penyelenggara.
Tak sepatah kata pun pernyataan untuk mencari kambing hitam atau menyalah-nyalahkan wasit, lawan dan alasan lainnya.
Tidak hanya itu, saat stadion Doha sudah sepi, pelatih tim Jepang Hajime Moriyasu kembali ke sana, bersujud syukur, sekali lagi untuk berterima kasih dan merenungkan kekalahan timnya.
Hal biasa
Sudah menjadi tradisi, Moriyasu bersama seluruh pemainnya membersihkan ruang ganti, meninggalkan hiasan kertas (origami) berbentuk “tsuru” (bangau simbul keberuntungan) dan selembar kertas berisi tulisan “Syukron” atau terima kasih dalam Bahasa Arab.
Pembelajarannya, pada saat terpuruk atau mengalami situasi terburuk pun, orang harus tetap mengedepankan adab, etika, sikap fair, sportif dan melakukan kebaikan bagi orang lain.
Yag ditunjukkan para supporter Jepang usai laga Jepang vs Garuda di SGBK, Jumat lalu, juga sama. Dengan karung-karung plastik hitam, mereka membersihkan sampah-sampah yang berserakan.
“Membersihkan sampah adalah pekejaan biasa, “ kata seorang Jepang yang malah heran, di Indonesia diliput oleh media. Menuut catatan, di Jakarta, komunitas Jepang (Japan Club) juga acap melakukan bersih-bersih di kawasan Blok M atau di sekitar SGBK.
Dalam turnamen di liga-liga nasional di Jepang (J-League), kebiasaan tim dan juga supporter untuk bersih-bersih di kamar ganti dan di stadion juga dilakukan.
Semboyan orang Jepang, meninggalkan tempat dalam kondisi lebih baik dan lebih bersih dibandingkan pada saat mereka gunakan sebelumnya.
Bukan budaya Jepang pula, melontarkan hujatan, umpatan, caci maki, mengolok-olok, mempermalukan langsung atau melalui medsos pada lawan atau wasit yang tak berpihak pada tim favorit mereka, bahkan pada tim favorit yang kalah.
Orang Jepang juga menghindar untuk menilai sesuatu atau hal yang tidak dipahami termasuk menerka hasil laga sepak bola, sesuai dengan falsafah mereka: Shiru furi o suru, shinu made wakaranai (Orang sok tau, sampai mati nggak bakal tau).
Banyak pembelajaran sebenarnya yang bisa dipetik dalam setiap laga sepak bola yang di negeri ini disaksikan puluhan ribu orang, khsususnya tentang adab, sopan santun, fairness dan sportivitas.
Adakah yang perduli?