Peneng Yang Bikin Pening

Pajak (plombir) sepeda dan gerobak dari berbagai daerah.

MINGGU-minggu ini orang heboh tentang kenaikan 300 persen biaya STNK mobil dan sepeda motor. Pemerintah kemudian menjelaskan, yang naik biaya administrasi saja, bukan pajaknya. Barulah masyarakat lega. Itulah orang Indonesia. Ada kenaikan pajak kendaraan saja sudah ribut. Padahal jaman Belanda dulu, anjing pun kena pajak (peneng), rakyat tidak ribut meski jumlahnya cukup bikin pening pemiliknya. Tapi ternyata, sampai Indonesia merdeka, tahun 1990-an Pemda di berbagai tempat masih mengejar-mengejar pajak anjing tersebut.

Ketika koran-koran dan media elektronik memberitakan bahwa biaya STNK  kendaraan naik 300 %, masyarakat berasumsi bahwa pajak motor yang sebelumnya Rp 150.000,- setahun akan menjadi Rp 450.000,- Dan pemilik mobil yang dulu kena pajak Rp 2,5 juta, di tahun 2017 ini harus membayar Rp 7,5 juta. Ternyata maksud pemerintah, yang naik itu hanya biaya administrasi saja, sebab dengan kenaikan PNBP (Pendapatan Negara Bukan Pajak) tersebut pelayanan publik bisa ditingkatkan.

Sepeda motor dan mobil kena pajak, sebagaimana juga bangunan dan tanah (PBB) masih wajar. Tapi di zaman Belanda dulu, rakyat dipajaki untuk hal-hal yang aneh. Berdasarkan penelusuran di internet, di awal abad ke-19 pun pemilik guk-guk itu harus membayar pajak sesuai Staatsblad No.283 tahun 1906. Ternyata, setelah Indonesia merdeka, sejumlah daerah masih mengenakan juga pajak anjing. Misalkan Pemda Cirebon, ditahun 1995 mewajibkan pemilik anjing membayar pajak sebesar Rp 7.500,- untuk anjing ras, anjing ras kecil Rp 5.000,- dan anjing kampung Rp 1.000,- saja.

Pajak itu sebetulnya iuran yang ditarik negara dari rakyatnya untuk membiayai penyelenggaraan negara. Sebagian dikembalikan kepada rakyat berupa pembangunan infrastruktur untuk kesejahteraan bersama. Ini memang kewajiban rakyat sebagai pemilik negara itu sendiri. Paling aneh di jaman Belanda, mereka bangsa pendatang dari Eropa, tapi mengatur-ngatur pribumi. Edan nggak, tamu kok berani mengatur tuan rumah.

Sebagai bangsa penjajah, Belanda memang ingin memeras inlander (pribumi). Maka untuk meningkatkan pendapatan negara, apa saja dipajaki. Misalnya: candu, pasar, jalan dan jembatan, minuman keras, penangkapan ikan, tembakau, garam, gula aren, bahkan anjing sebagaimana telah disebut di atas. Kalau orang sekarang diperlakukan demikian pasti akan misuh (memaki): anjing…..!

Pajak yang aneh-aneh itu dihapuskan setelah Indonesia merdeka. Tapi bukan berarti yang aneh-aneh itu hapus seluruhnya. Tahun 1960-an, pemilik sepeda ontel juga kena pajak, sehingga banyak yang mengakali. Beli plombir patungan dengan tetangga, satu untuk dua sepeda. Jika ada cegatan (razia), bilang saja pada petugas, “separo sudah ngelotok”, habis perkara.

Tahun 1970-an radio juga masih kena pajak. Begitu juga televisi, tahun 1990-an orang masih harus membayar pajak lewat lembaga swasta yang ditugasi Yayasan TVRI. Tapi seiring dengan banyaknya TV swasta, pajak TV hapus dengan sendirinya sebagaimana pajak sepeda dan radio. TV kini memang bukan barang mewah lagi. Di setiap rumah satu keluarga bisa saja memiliki 2-3 pesawat TV, belum dalam mobilnya.

Pemerintah menyusun APBN, 70 % mengandalkan dari pemasukan pajak. Tapi ternyata dari tahun ke tahun tak memenuhi target. Sudah ada Tax Amesti pun, dari yarget Rp 165 triliun, baru masuk Rp 100 triliun. Maka siapapun Dirjen Pajaknya, dia harus kreatif menciptakan pajak-pajak baru.

Bila sudah benar-benar kepepet, bisa saja nanti orang nikah kena pajak, anak lebih dari dua kena pajak. Bahkan punya bini lebih dari satu bisa saja kena pajak progresip. Pajak bini ke tiga dan ke empat, tentu lebih besar dari pajak bini kedua. Mau memanjakan “bonggol” harus banyak punya “benggol”. (Cantrik Metaram).

 

 

 

 

Advertisement div class="td-visible-desktop">