Perempuan Pendorong Korupsi

0
241
Ilustrasi: Dua kali MK kehilangan hakim andalannya.

SAAT ditangkap penyidik KPK beberapa hari lalu, hakim MK Patrialis Akbar ternyata sedang shoping di pertokoan mewah bersama seorang perempuan muda nan cantik bernama Anggita Putri (24). Dia bukan anaknya, melainkan sekedar TTM (Teman Tapi Mesra) yang kabarnya dijanjikan apartemen seharga Rp 2 miliar. Peristiwa ini mengingatkan pada jangkrik mainan anak kampung. Saat ditangkap, biasanya selalu bersama jangkrik betina selaku jodohannya.

Melihat kisah tertangkapnya Patrialis Akbar, orang Surabaya bisa saja misuh (memaki) spontan, “Jangkrik!” Kenapa eks politisi PAN dan eks menteri Menkumham itu bersama seorang perempuan bukan muhrimnya? Ini mirip-mirip dengan Ahmad Fathanah terpidana kasus lahmul bakorun (daging sapi) impor yang menyeret presiden PKS Lutfi Hasan Ishak di tahun 2013. Fathanah ditangkap penyidik KPK ketika sedang kencan dengan perempuan Maharani di hotel Le Meredien.

Yang menarik semuanya terjadi di penghujung Januari. Ahmad Fathanah – Maharani Suciono dicokok tanggal 29 Januari 2013 sedangkan Patrialis Akbar-Anggita Putri tanggal 26 Januari 2017. Sama-sama malam hari juga. Bedanya adalah, Fathanah-Maharani sedang “naik ring” di kamar hotel dan Patrialis – Anggita Putri baru shoping di gerai kosmetik Central Departemen Store, Mal Grand Indonesia, Jakarta Pusat. Belum ada konfirmasi dari keduanya, karena saat ditanya soal itu Patrialis Akbar malah bilang, “Saya didzolimi.”

Tak kalah menariknya, pusaran korupsi itu juga sama-sama menyangkut soal impor daging. Ahmad Fathanah – Luthfi Hasan Ishak berusaha mencari tambahan jatah daging sapi impor, sedangkan hakim MK Patrialis Akbar sedangkan menangani uji materi UU Peternakan yang menyangkut pembatasan impor daging. Di sinilah uniknya, dua-duanya kok bisa berujung ke soal “daging” wanita.

Dari dua kasus di atas ternyata korupsi itu selalu akrab dengan urusan wanita. Wanita sebagai istri, juga wanita sebagai WIL (wanita idaman lain). Tapi dua-duanya memang punya potensi untuk mendorong terjadinya tindak korupsi tersebut. Bedanya adalah, korupsi demi istri untuk “membahagiakan” semua anggota keluarga, sedangkan korupsi demi WIL sekedar “membahagiakan” anggota badan tertentu koruptor itu sendiri.

Memang, demi istri tercinta, seorang suami siap melakukan apa saja, termasuk juga….. korupsi! Karenanya, dalam sebuah keluarga istri punya peran strategis untuk menjadi pendorong tindak korupsi. Maka celakalah pejabat yang punya istri pemboros dan konsumerisme, karena dia berpotensi menjadikan suami jadi incaran KPK.

Saat dilantik menjadi pejabat negara termasuk hakim MK, selalu disumpah untuk tidak “menerima/memberi kepada siapapun dalam bentuk apapun”. Ada yang konsekuen hingga akhir masa tugas, tapi banyak juga yang “lupa”, karena kekuasaan itu cenderung korup (Lord Acton). Bagi yang larut dalam penyalah-gunaan kekuasaan, dicarinyalah alasan pembenaran segala tindakannya. Jika tak ketahuan, dia merasa apa yang dilakukan sah-sah saja, dan bukanlah tindakan haram yang jadi musuh negara dan agama.

Tapi perempuan dalam status istri, juga punya peran untuk mencegah terjadinya korupsi para suami. Jika ada sensor sekaligus kontrol dari keluarga, hal itu niscaya takkan terjadi. Karena istri akan mampu melakukan pencegahan pada kesempatan pertama. Karenanya Busyro Mukodas saat menjadi Ketua KPK pernah  mengingatkan, hendaknya para istri yang punya suami pejabat, berani menolak harta yang dibawa pulang suami bilamana asal-usulnya tidak jelas.

Sebab sebagaimana diajarkan dalam Islam, harta haram itu tidak membawa berkah dan justru merusak akhlak sekeluarga. Allah pun berfirman:  “Dan kewajiban ayah memberikan makanan dan pakaian kepada ibu dengan cara yang ma’ruf.” (surat Albakarah ayat 233). Sayangnya, tak banyak  istri pejabat yang berani berbuat seperti ini. Mayoritas, apa saja yang dibawa pulang suami, lab-leb masuk…., batal haram mbuh ora weruh! (Cantrik Metaram)

Advertisement div class="td-visible-desktop">