JADI tidaknya Presiden Joko Widodo menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) revisi UU Nomor 30 tahun 2002 tentang KPK dengan harap-harap cemas dinanti rakyat.
“Terbit….tidak…..terbit, “ bagai meghitung suara tokek, publik berada di pusaran kebimbangan, karena mereka juga paham posisi Jokowi yang bagai berhadapan dengan buah si malakama. Terbitkan Perppu bakal dimusuhi parpol (dan DPR), tidak menerbitkan, berhadapan dengan mahasiswa dan masyarakat luas.
Ambivalensi sikap presiden terasa saat ia mengamini saja pembahasan revisi UU KPK tersebut bersama DPR di tengah munculnya penolakan dari kelompok masyarakat yang menganggap sejumlah pasal-pasalnya memuat pelemahan upaya pemberantasan korupsi.
Sehari sebelum terjadi gelombang unjukrasa mahasiswa di berbagai kota (24 dan 25 September) Jokowi masih bergeming dari desakan banyak pihak untuk menebitkan Perppu guna membatalkan revisi UU yang disahkan oleh DPR pada 17 September itu.
Baru kemudian, setelah bertemu dengan 40-an tokoh lintas kalangan masyarakat, Jokowi pada 26 September menyatakan kesediaannya mempertimbangkan penerbitan Perppu “secepat-cepatnya dan dalam waktu sesingkat-singkatnya”.
Perppu, seperti disampaikan mantan Ketua MK, Mahfud MD yang hadir dalam pertemuan itu mengemukakan adalah opsi yang paling banyak disarankan oleh tokoh-tokoh yang hadir selain legislatif review (oleh DPR) dan judicial review (oleh MK).
Lagipula, menurut Mahfuf MD, persyaratan penerbitan Perppu yakni kegentingan (dalam hal ini berdasarkan subyektif penilaian presiden, bisa jadi setelah terjadi eskalasi unjukrasa yang bisa mengganggu stabilitas nasional) dianggap sudah cukup.
Sekarang sudah lebih sepekan berlalu, Perppu belum juga diterbitkan, walau publik mungkin paham akan kegundahan yang dihadapi Jokowi.
Jika diterbitkan, Jokowi akan berhadapan dengan seluruh fraksi di DPR termasuk koalisi pemerintah yang mendukung revisi UU KPK, jika tidak, yang dihadapi mahasiswa dan mayoritas publik. Ini pilihannya.
Pemimpin Transformal
Sementara Direktur Eksekutif the Literacy Politics Institute Gungun Heryanto berpendapat, sosok pemimpin transformal dibutuhkan, tentu sebelumnya ia juga harus memiliki “trust” atau kepercayaan publik.
Jokowi, yang pernah mengatakan, pada jilid ke-2 kepemimpinannya tidak lagi memiliki beban akan melakukan apa pun demi kemajuan Indonesia, tentu diharapkan kali ini juga tidak tunduk dari oligarki politik yang dimainkan parpol.
Mungkin Jokowi bisa meneladani sikap kesatria yang ditunjukkan Presiden BJ Habibie dan Presiden KH Abdurrahman Wahid alias Gus Dur melawan para politisi yang bersekongkol melengserkan mereka.
BJ Habibie menjadi presiden ke-3 RI hanya setahun lebih (21 Mei 1988 – 20 Oktober 1989) karena pertanggungjawabannya dalam Sidang Istimewa MPR ditolak.
Banyak yang menyebutkan apa pun bentuk pertanggunjawaban yang disampaikan Habibie pasti ditolak MPR misalnya terkait masalah korupsi, lepasnya Timtim dan legitimasi pemerintahannya dari Presiden Suharto.
Habibie dan Gus Dur, Suri Tauladan
Habibie yang meninggalkan legacy fenomenal seperti kebebasan pers, pelepasan tapol, penguatan nilai rupiah yang terpuruk dan dipuji dunia karena melaksanakan referendum Timtim, langsung lengser begitu pertanggung-jawabannya ditolak MPR, tidak berupaya sama sekali untuk mempertahankan kekuasaannya.
Terkait Timtim, Habibie berinisiatif menawarkan referendum pada wilayah bekas jajahan Portugis itu, lebih dari yang diperkirakan internasional bahwa RI hanya bersedia memberikan otonomi terbatas.
Alasan Habibie, persoalan Timtim selain menjadi ganjalan dalam politik LN RI, dan menurut Menlu RI Ali Alatas dianggap sebagai “kerikil dalam sepatu”, waktu itu Habibie memperoleh laporan intelijen bahwa jika dilakukan referendum mayoritas rakyat Timtim diperkirakan akan tetap memilih bernaung di bawah RI. Perkiraan itu ternyata keliru.
Lain lagi Gus Dur, persiden keempat RI yang dilengserkan secara politis oleh parlemen melalui Sidang Istimewa (SI) MPR RI pada 23 Juli 2001.
Gus Dur mengeluarkan Dekrit Presiden untuk menolak langkah MPR, namun bukan untuk mempertahankan jabatan, tetapi karena menurut dia, inkonstitusional dan sejumlah tuduhan yang ditimpakan padanya (a.l. Bulog dan Brunei Gate) tidak terbukti.
“Kekuasaan tidak layak dipertahankan dengan pertumpahan darah, “ tegas Gus Dur dan ia menolak rencana kalangan NU menyiapkan pasukan berani mati untuk pasang badan membelanya. Gus Dur secara legawa memilih lengser.
Rakyat berharap, Jokowi segera menerbitkan Perppu dan dengan tegar memimpin rakyat menguatkan KPK dalam upaya pemberantasan korupsi tanpa menghitung-hitung, apalagi menggunakan kalkulator politik.
Namun menyaksikan pernyataan-pernyataan politisi DPR misalnya John G Plate dari Nasdem dan Menkopolhukam Wiranto, agaknya sampai hari ini (4/9) kans apakah Jokowi jadi menerbitkan Perppu juga masih 50:50.
Ayo Pak Jokowi, jangan bimbang-ragu, rakyat di belakangmu!