Post-Hajj Blues: Ketika Rindu Tanah Suci Menjadi Ujian Jiwa

Direktur Pelayanan Kesehatan Kelompok Rentan Kementerian Ksehatan RI, dr. Imran Pambudi (Foto: 3rd)

JAKARTA, KBKNews.id – Post-Hajj Blues adalah kondisi emosional yang dialami sebagian jemaah setelah kembali dari ibadah haji. Gejalanya meliputi perasaan hampa, sedih, kehilangan semangat, hingga kecemasan ringan.

Fenomena ini mirip dengan post-travel depression, namun memiliki dimensi spiritual yang lebih dalam karena berkaitan dengan pengalaman religius yang sangat intens.

“Semoga engkau kembali dari haji dalam keadaan suci seperti bayi yang baru lahir.”

Ucapan ini sering terdengar saat menyambut jemaah pulang dari Tanah Suci. Namun, bagi sebagian jemaah, justru setelah kembali itulah ujian sejati dimulai. Mereka merasa kehilangan kedekatan spiritual yang begitu kuat saat berada di Makkah dan Madinah.

“Semoga hajimu menjadi titik balik menuju pribadi yang lebih baik.”

Kalimat ini mengandung harapan besar, namun bisa menjadi tekanan tersendiri bagi jemaah yang merasa belum mampu mempertahankan semangat ibadah seperti saat di Tanah Suci. Di sinilah Post-Hajj Blues muncul—ketika ekspektasi tinggi tidak sejalan dengan realitas emosional dan spiritual yang dialami.

Kaitan Post-Hajj Blues dengan kondisi psikologis jemaah sangat erat, karena fenomena ini merupakan bentuk transisi emosional dan spiritual yang dialami setelah menjalani pengalaman ibadah yang sangat mendalam. Psikolog Nur Islamiah, M.Psi., Ph.D. dari IPB University menjelaskan bahwa sindrom ini mencerminkan respons wajar terhadap perubahan besar dalam kehidupan batin seseorang.

Secara psikologis, Post-Hajj Blues berkaitan dengan:

Post-event let down: Setelah mengalami puncak spiritual di Tanah Suci, jemaah bisa merasa kehilangan arah atau makna ketika kembali ke rutinitas harian.

Kesenjangan antara ekspektasi dan realitas: Gelar “Pak Haji” atau “Bu Hajjah” sering membawa tekanan sosial untuk tampil sempurna secara religius, yang bisa memperberat beban emosional.

Kerinduan spiritual: Banyak jemaah merasa rindu suasana sakral, lantunan doa, dan ketenangan jiwa yang sulit ditemukan di tengah hiruk-pikuk kehidupan sehari-hari.

Gejala psikologis ringan: Seperti kecemasan, kesedihan berkepanjangan, sulit tidur, dan menarik diri dari lingkungan sosial.

Meskipun tidak tergolong gangguan kejiwaan, kondisi ini perlu mendapat perhatian karena bisa memengaruhi kualitas hidup dan spiritualitas jemaah setelah haji. Pendekatan psikososial yang empatik dan berbasis komunitas sangat penting untuk membantu mereka melewati fase ini dengan sehat dan bermakna.

Meski belum banyak data kuantitatif di Indonesia, studi di beberapa negara menunjukkan bahwa sekitar 20–30% jemaah mengalami gejala post-Hajj blues ringan hingga sedang. Di Indonesia, fenomena ini sering tidak teridentifikasi karena dianggap sebagai hal biasa atau bagian dari “kerinduan spiritual”.

Menurut DataSaudi, jumlah jemaah haji tahun 2025 mencapai 1.673.230 orang, 221.000 diantaranya berasal dari Indonesia. Menurut laporan Kemenkes 2025, lebih dari 82% jemaah tergolong berisiko tinggi mengalami tekanan psikologis, terutama lansia. Maka, pendekatan yang penuh kesabaran, komunikasi empatik, dan dukungan spiritual sangat krusial dalam masa transisi ini.

Adapun penyebab dari Post-Hajj Blues adalah :

Transisi emosional dari suasana spiritual intens ke rutinitas duniawi.

Kejenuhan fisik dan mental setelah perjalanan panjang dan ibadah berat.

Ekspektasi sosial yang tinggi dari lingkungan sekitar.

Kurangnya dukungan psikososial setelah kepulangan.

Ketiadaan ruang refleksi untuk memaknai pengalaman haji secara mendalam.

Pendampingan jemaah yang mengalami Post-Hajj Blues memerlukan pendekatan yang empatik, terstruktur, dan berbasis komunitas.

Dari para psikolog haji, berikut adalah cara-cara efektif yang bisa diterapkan:

1. Deteksi Dini dan Validasi Emosi

Dengarkan keluhan jemaah tanpa menghakimi.

Validasi perasaan mereka dengan kalimat seperti: “Wajar merasa seperti itu setelah pengalaman spiritual yang luar biasa.”

Gunakan alat skrining ringan di Puskesmas atau KBIHU untuk mendeteksi gejala awal.

2. Fasilitasi Ruang Refleksi Spiritual

Ajak jemaah menuliskan pengalaman haji mereka dalam bentuk jurnal atau cerita.

Adakan halaqah pasca-haji untuk berbagi pengalaman dan menjaga semangat ibadah.

Dorong mereka untuk menginternalisasi nilai-nilai haji dalam kehidupan sehari-hari, bukan hanya mengenangnya.

3. Sediakan Layanan Konseling Ringan

Puskesmas dapat menyediakan sesi konseling singkat atau rujukan ke psikolog jika diperlukan.

Petugas haji atau KBIH bisa dilatih untuk memberikan pendampingan psikososial dasar.

4. Gunakan Narasi Tarbiyah yang Menenangkan

Sampaikan bahwa ujian setelah haji adalah bagian dari proses penyucian jiwa.

Gunakan kalimat seperti: “Haji bukan akhir perjalanan, tapi awal dari jihad spiritual yang baru.”

Peran Keluarga sangat penting dalam mencegah dan mengatasi post hajj blues dengan cara : Menjadi pendengar aktif tanpa menuntut cerita berlebihan, memberikan ruang adaptasi tanpa tekanan sosial dan mendorong jemaah untuk tetap menjaga rutinitas ibadah. Lingkungan Sosial juga bisa berperan melalui : tidak membandingkan pengalaman haji antar Jemaah, menyediakan forum berbagi pengalaman yang suportif dan menghindari glorifikasi berlebihan yang bisa menimbulkan tekanan.

Advertisement

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here