JAKARTA, KBKNews.id – Sindrom patah hati atau Takotsubo cardiomyopathy adalah kondisi yang menyerupai serangan jantung, dan sering kali dipicu oleh peristiwa emosional yang berat seperti putus cinta atau kehilangan orang terdekat.
Menurut EveryDay Health, kondisi ini terjadi akibat lonjakan hormon stres seperti adrenalin yang membuat jantung tidak dapat berkontraksi dengan normal.
Studi terbaru yang dimuat dalam Journal of the American Heart Association menunjukkan bahwa meski kasusnya lebih sering dialami perempuan, pria memiliki risiko kematian dua kali lebih tinggi akibat sindrom ini.
Studi ini menganalisis data dari hampir 200 ribu pasien yang dirawat karena kardiomiopati Takotsubo antara tahun 2016 hingga 2020, di mana 83 persen pasien adalah perempuan.
Hasilnya, tingkat kematian mencapai 6,5 persen dalam lima tahun, tanpa adanya penurunan tren. Angka kematian pada pria mencapai 11,2 persen, jauh lebih tinggi dibandingkan perempuan yang hanya 5,5 persen.
Komplikasi yang paling umum adalah gagal jantung kongestif (36 persen), fibrilasi atrium (21 persen), syok kardiogenik (7 persen), stroke (5 persen), dan serangan jantung (3 persen).
Para peneliti menilai masih dibutuhkan penelitian lanjutan untuk memahami mengapa pria lebih rentan mengalami dampak fatal.
Ahli jantung dari Stanford Health Care, Abha Khandelwal, menyebut kemungkinan penyebabnya adalah keterlambatan dalam diagnosis karena sindrom ini lebih dikenal sebagai “penyakit perempuan”, sehingga gejala pada pria mungkin tidak langsung dikenali.
Sementara itu, ahli jantung dari UChicago Medicine, Jeremy Slivnick, menambahkan bahwa pria cenderung mengalami stres fisik akibat penyakit serius atau trauma, serta memiliki kondisi kronis lain yang memperberat kondisi jantung.
Ia juga menyebut bahwa lonjakan hormon stres pada pria bisa lebih besar, sehingga memperparah kerusakan jantung.
Sindrom patah hati paling sering terjadi pada orang berusia di atas 62 tahun. Umumnya dipicu oleh tekanan emosional seperti kesedihan mendalam, kemarahan, rasa takut, atau keterkejutan.
Selain itu, stres fisik seperti stroke, demam tinggi, asma, gula darah rendah, hingga pendarahan berat juga bisa menjadi pemicu. Namun, pada sekitar 30 persen kasus, penyebab pastinya tidak bisa diidentifikasi.
Gejala utama sindrom ini meliputi nyeri dada, sesak napas, keringat berlebih, dan pusing. Lonjakan adrenalin bisa menyebabkan penyempitan pembuluh darah kecil di jantung, yang mengurangi aliran darah sementara.
Selain itu, hormon stres bisa membuat sel-sel jantung menerima terlalu banyak kalsium, sehingga mengganggu irama jantung.
Meskipun sindrom ini berpotensi mematikan, sebagian besar pasien dapat pulih dengan cepat. Namun, penanganan tidak cukup hanya berdasarkan gejala fisik.
Menurut Mohammad Reza Movahed dari University of Arizona, pendekatan medis seharusnya juga mencakup penanganan stres dan kecemasan sebagai penyebab utama.
Slivnick mengingatkan bahwa sindrom patah hati tidak selalu ringan dan bisa bermanifestasi secara berbeda-beda, terutama pada pria. Oleh karena itu, penting bagi dokter untuk tetap waspada terhadap kondisi ini.
Ia juga menyarankan untuk mengelola stres, mengatasi penyakit yang mendasari seperti hipertensi, serta segera mencari bantuan medis jika mengalami nyeri dada atau sesak napas.