
RIBUAN pengungsi Perang Sudan yang melarikan diri dari El Fasher, wilayah barat Sudan, setelah kota itu jatuh ke tangan kelompok milisi Rapid Support Forces (RSF), tiba di Kota Tawila, Selasa (28/10).
AFP melaporkan, Jumat (31/10), orang-orang bersembunyi di parit, sementara jasad manusia bergelimpangan di jalan, termasuk anak-anak yang dibunuh di depan orang tua ketika pasukan paramiliter menyerbu ibu kota Provinsi Darfur Utara, Sudan.
Lebih dari 36.000 warga sipil dilaporkan melarikan diri sejak Minggu (26/10) ketika RSF menguasai benteng terakhir pasukan pemerintah Sudan di Darfur.
PBB dan kelompok kemanusiaan memperingatkan risiko pembunuhan massal dan pembersihan etnis di kawasan tersebut.
Sebagian besar pengungsi kini mencari perlindungan di Tawila, kota berjarak sekitar 70 kilometer di barat El Fasher yang menampung sekitar 650.000 orang yang terpaksa mengungsi akibat konflik berkepanjangan.
Tiga penyintas yang berhasil mencapai Tawila menceritakan kepada AFP melalui sambungan telepon satelit, tentang kekerasan brutal yang mereka alami selama mencoba kabur dari kota yang terkepung 18 bulan itu. Mereka terputus dari akses makanan, obat-obatan, dan bantuan kemanusiaan.
Horor
Kisah horor yang dialami para pengungsi mengingatkan pada tragedi pembantaian Darfur awal 2000-an, ketika milisi mengaku anggota RSF Janjaweed—yang berganti nama menjadi RSF—membakar desa-desa dan menewaskan sekitar 300.000 orang, sedangkan 2,7 juta lainnya terpaksa mengungsi.
Hayat, ibu lima anak mengakui, anggota RSF membunuh putranya yang berusia 16 tahun setelah melarikan diri dari El Fasher yang jatuh ke tangan pasukan RSF pada 28 Oktober 2025.
Sekitar pukul enam pagi, Sabtu (25/10), terdengar tembakan sangat gencar, sehingga ia membawa anak-anaknya bersembunyi di parit.
“Setelah satu jam, tujuh prajurit RSF masuk rumah kami. Mereka mengambil ponsel saya, menggeledah pakaian saya, lalu membunuh putra saya yang berusia 16 tahun. Lalu kami melarikan diri bersama banyak warga lainnya.
Di jalan antara El Fasher dan Garni, Hayat mengaku melihat banyak jasad tergeletak, sementara orang-orang terluka dibiarkan begitu saja karena keluarganya tak mampu membawa mereka.”
“Dalam perjalanan, kami kembali dirampok, dan para pemuda yang bersama kami ditahan. Kami tak tahu nasib mereka.”
Pengungsi tanpa perbekalan
Sedangkan Hussein, korban selamat dengan luka tembak meceritakan kisahnya. “Kami meninggalkan El Fasher Sabtu pagi-pagi sekali. Jalannya berat, kami lapar, haus, dan melewati banyak pos pemeriksaan.
Sebelum tiba di Garni, Hussein ditahan oleh anggota RSF selama tiga jam.” “Mereka menuduh saya ikut bertempur karena saya terluka,” tuturnya.
Jika bukan karena kebetulan ada keluarga yang lewat dengan kereta keledai dan membawa ibu mereka, ia mungkin tinggal nama saja.
“Situasi di El Fasher sangat mengerikan. Jasad manusia bergelimpangan di jalan tanpa dikubur. Kami bersyukur bisa sampai sini, meski hanya dengan pakaian di badan. Sekarang saya dirawat di klinik untuk luka di kaki.” “Jasad sudah jadi tulang belulang” tuturnya.
Konflik di Sudan terus berkepanjangan sejak negara itu merdeka pada 1956 sampai Juni 2011.Sementara konflik terakhir terjadi akibat perebutan pengaruh antara Panglima RSF Janjaweed Hemedti dan Angkatan Bersenjata Sudan (SAF) dipimpin Abdel Fattah al-Burhan yang berkecamuk di sekitar ibu kota Khartoum dan kota-kota strategis lainnya..
Diperkirakan 150.000 korban tewas, 522.000 anak meninggal karena kurang gizi, sekitar 8,5 juta mengungsi ke wilayah yang lebih aman di dalam negeri dan sekitar 3,5 juta kabur ke luar negeri. (AFP/ns)




