Rempang Jadi Rempong

0
252
Warga Pulau Rempang yang menolalk relokasi melawan petugas Ditpam BP Batam dan TNI-Polri.

SEJAK awal narasi yang dipakai terhadap warga Pulau Rempang, Batam (Kepri) memang salah. Kenapa pengambil-alihan tanah mereka kok bahasanya ganti rugi, bukannya  ganti untung? Gara-gara ini kasus Rempang jadi rempong, sehingga tak kunjung rampung. Menteri Investasi Bahli Lahadalia bisa ramping tubuhnya mengurus kasus ini. Tetapi kita yakin Menteri Bahlil ini takkan bahlul ngurusi hal beginian.

Di jaman Orde Baru, setiap pemerintah membebaskan tanah rakyat untuk proyek, narasi yang digunakan selalu: ganti rugi. Tak salah memang istilah itu, sebab rakyat benar-benar dibikin rugi. Dana pengganti dari pemerintah sudah kecil, oknum-oknum di bawah bermain pula, maka yang diterima rakyat semakin kecil lagi. Rakyat merasa dirampok oleh pemerintahnya sendiri.

Ada banyak contoh soal beginian. Membicarakan Waduk Saguling (Bandung Barat), Waduk Gajah Mungkur (Wonogiri) dan Waduk Kedungombo (Boyolali-Sragen-Grobogan); mengingatkan kembali penderitaan rakyat. Mereka hanya menerima ganti rugi yang tidak layak, terusir dari kampung halamannya karena harus bedhol desa menjadi transmigran. Padahal di tempat barunya, tak semuanya bisa menjadi sejahtera.

Rakyat tak berani melawan. Sebab ketika mereka protes bisa dituduh PKI, yang mbrengkelo (ngeyel) benar-benar diciduk seperti PKI di tahun 1965. Kejadian seperti itu terjadi misalnya ketika pemerintah Orde Baru hendak membangun jalan tol perdana Jagorawi (Jakarta-Bogor-Ciawi) sebelum tahun 1973-an. Warga Cipayung Kecamatan Pasar Rebo, harus melepas tanahnya untuk perkaplingan korban gusuran jalan tol tersebut. Yang menolak langsung diciduk dan dilabeli PKI.

Di era reformasi menjadi lebih baik, bahkan terlalu baik. Misalnya ketika PT Lapindo Brantas melakukan eksplorasi pertambangan di daerah Porong Sidoarjo (Jatim). Ketika perusahaannya Aburizal Bakrie itu mengalami kesalahan teknis pengeboran, di mana lumpur pekat malah membanjiri 800 hektar lebih atau sekitar 7, 5 KM2, ganti rugi  sebanyak Rp 11, 27 triliun untuk penduduk malah ditanggung negara. Padahal mestinya itu dibebankan ada PT Lapindo Brantas yang tadinya mau ngirit malah jadi ngorot.

Korban proyek pemerintah biasanya meringis dan merongos. Baru mrenges di era pemerintahan Jokowi. Kepada mereka yang tergusur, diberikan ganti untung, sehingga kehidupan warga terkena proyek menjadi sejahtera. Sekedar contoh proyek kilang Pertamina di Tuban (Jatim), dan bandara Temon di Kulon Progo (DIY).  Karena mendapat ganti untung puluhan miliar,  rame-rame membeli mobil. Ada juga kelebihan benggol itu untuk memanjakan si bonggol alias kawin lagi.

Ketika pemerintah hendak membangun Bendungan Bener di Wadas Purworejo (Jateng), rakyat kembali bergejolak, karena narasi yang digunakan: ganti rugi. Warga yang menolak ditambah provokasi LSM, prosesnya menjadi berlarut-larut diiringi dengan penangkapan penduduk segala. Tapi setelah Gubernur Jateng Ganjar Pranowo mengubah narasinya menjadi ganti untung, penduduk pun melunak.

Belajar dari kasus penggusuran di era Orde Baru dan kasus Wadas di era reformasi, mestinya tabu menggunakan istilah ganti rugi ketika pemerintah hendak menjadikan kawasan Pulau Rempang di Batam sebagai Eco City. Dengan pendekatan ganti rugi, proyek itu menjadi tidak eco (enak, bahasa Jawa) bagi yang terdampak. Ditambah sentimen anti Cina, kaum kadrun ikutan pula menggoreng isyu ini.

Sebagaimana dikatakan oleh Menteri Investasi/BKPM Bahlil Lahadalia, Xinyi Group perusahaan kaca dari China berencana berinvestasi senilai US$ 11,5 miliar atau setara Rp 175 triliun untuk menggarap proyek Eco City di Pulau Rempang. Dari luas pulau 17.000 hektar, 7.000 hektar dibebaskan Xinyi Group. Mereka akan bikin rumah kaca ketika pencemaran udara dan lingkungan terjadi di mana-mana?

Bukan! Lokasi itu akan disulap atau direvitalisasi menjadi sebuah kawasan yang mencakup sektor industri, perdagangan, hunian, dan pariwisata yang terintegrasi. Kata Bahlil, inisiatif ini bertujuan untuk meningkatkan daya saing Indonesia di kawasan Asia Tenggara. Investor China itu akan menggelontorkan dananya sebesar Rp 175 triliun, sampai tahun 2080 nanti jumlahnya akan mencapai Rp 300 triliun!

Tujuan pemerintah selalu baik, karena tak ada pemerintah mau menyengsarakan rakyatnya. Tapi warga  terdampak yang jumlahnya sebanyak 700 KK tak semuanya setuju meskipun pemerintah sudah menyiapkan berbagai fasilitas ganti rugi. Misalnya, 1. Setiap KK akan dapat tanah 500 M2, 2. Rumah tipe 45 M2 yang siap huni 6-7 bulan ke depan, 3. Uang tunggu sampai rumah jadi setiap jiwa Rp 1,2 juta.

Pada 7 September relokasi warga mulai dilakukan oleh BP Batam, Tapi ketika pengukuran lahan berlangsung, terjadi bentrok antara warga dan Ditpam BP Batam dan TNI-Polri. Untuk menghindari konflik yang lebih tajam sehingga menjadi rempong, Panglima TNI Jendral Yudo Margono berpesan, “Warga Rempong yang melawan dipiting saja!” Ternyata komentar Panglima langsung dibuly warganet, sehingga Yudo Margono minta maaf karena terjadi salah pengertian. Untung hanya dipiting bukan dipetting…….

Sebetulnya insiden ini tak perlu terjadi andaikata warga diberi ganti untung bukan ganti rugi. Masak hanya diberi tanah 500 M2 dan rumah 45 M2 senilai Rp 120 juta, mirip rumah Perumnas saja. Warga terdampak mestinya diberi ganti untung yang bernilai miliaran seperti di Jawa, sehingga kehidupan mereka menjadi sejahtera. Tentunya mereka ngiri dengan korban gusuran jalan tol di Jawa dan proyek-proyek Bandara dan bendungan.

Selain ganti rugi yang tak memadai, dipindahkan ke Pulau Galang, itu hal yang sangat memberatkan bagi penduduk. Sebab mereka akan tercerabut dari bumi tumpah darahnya untuk selamanya. Di lokasi baru harus beradaptasi dengan lingkungannya. Sekedar contoh, warga korban gusuran Waduk Gajahmungkur Wonogiri, bisa meneteskan air mata ketika  menyaksikan lahan kehidupan  mereka dulu, di musim kemarau ini muncul lagi. Tampak pondasi-pondasi rumah, jembatan penghubung dan juga batu-batu nisan di bekas pemakaman. (Cantrik Metaram).

 

 

 

 

Advertisement div class="td-visible-desktop">