Rumah Singgah BK

Rumah singgah Bung Karno di Padang, sebelum diratakan pemilknya sekarang.

KETIKA bangunan cagar budaya telah dihancurkan, barulah publik dan sejarawan geger. Ini berulang kali terjadi. Tahun lalu pembongkaran beteng Kraton Kartosura di Surakarta, pernah pula rumah perjuangan Bung Tomo di Surabaya. Istana Gebang di Blitar dan paling baru rumah singgah Bung Karno di Padang. Beruntung rumah peninggalan keluarga Presiden Sukarno di Blitar tak sampai terbongkar, karena Pemkot setempat berhasil menyelamatkannya.

Kini yang sedang heboh adalah dibongkarnya rumah singgah Bung Karno di kota Padang Sumbar. Rumah tradisional yang pernah ditinggali Bung Karno dan istrinya Inggit Garnasih selama 3 bulan tahun 1942 itu kini sudah kadung rata dengan tanah. Sejarawan, public hanya bisa kaget dan marah. DPR pun meninjaunya langsung ke sana dan Utut Udianto Wakil Ketua Komisi I (PDIP) akan melaporkannya pada Megawati.

Rumah singgah Bung Karno itu berada di Jalan Ahmad Yani No 12, Kelurahan Padang Pasir, Kota Padang. Perlu diketahui, di masa penjajahan Jepang Bung Karno ditemani Inggit Garnasih istrinya pernah terlunta-lunta naik gerobak dan jalan kaki di Sumatra Barat karena Belanda tak selalu siap memberikan fasilitas kendaraan. Rupanya di kota Padang inilah Bung Karno sempat tinggal di rumah Ema Idham seorang tokoh adat di Padang  masa itu.

Ironisnya, pemilik sekarang tidak tahu nilai sejarah rumah peninggalan,  dan ini yang selalu terjadi. Soehinto Sadikin misalnya, membeli rumah tersebut pada tahun 2017 lalu dari Andreas Sopandi, pengusaha Tionghoa Padang yang juga Ketua Himpunan Bersatu Teguh (HBT) Padang. Sebelum Andreas, rumah dimiliki oleh Fauzi Bahar, mantan Wali Kota Padang periode 2004-2014. Pendiri rumah tersebut Ema Idham pada tahun 1930.

Suhinto Sadikin membongkar gedung itu untuk dibangun restoran dan untuk itu telah memperoleh KRK (Keterangan Rencana Kota) dari Pemkot Padang. Jika perizinan sampai terbit, berarti Dinas Tatakotanya kecolongan, karena tidak tahu bahwa gedung tersebut sebetulnya telah ditetapkan sebagai cagar budaya dengan Nomor Inventaris 33/BCBTB/A/01/2007.

Pemilik menyesal telah menghancurkan bangunan itu, sehingga rerserah kebijakan Pemda selanjutnya. Misalkan dibangun kembali sama persis dengan aslinya, tetap saja kehilangan nilai sejarah, tak ada lagi bau-baunya Bung Karno. Bentuk bisa sama, tapi “roh”-nya sudah tidak ada.

Utut Udianto sendiri setelah meninju bangunan akan melapor pada Ketum PDIP Megawati, sebagai putri Bung Karno. Bisa apa Mega? Jangankan ini hanya sekedar rumah singgah ayahnya. Lha wong rumah Istana Gebang di Blitar yang ditinggali Bung Karno di masa kecil, ketika mau dijual dia tak mau mencegah. Padahal kala itu dia masih Presiden atau Wapres. Untung Walikota Blitar Djarot berhasil menyelamatkannya.

Di era Walikota Tri Rismaharini (2016), Pemkot Surabaya juga pernah kecolongan. Rumah Bung Tomo di Jl. Tembok Dukuh yang dijadikan ajang radio perjuangan di masa revolusi, dihancurkan pemilik. Pemkot tahunya sudah rata dengan tanah. Pemilik pun kala itu juga mengeluh, katanya cagar budaya tapi tak ada tanda-tandanya dan pemilik tetap terkena PBB yang mahal tanpa ada dispensasi.

Paling kurang ajar di Surakarta tahun lalu. Beteng kraton Kartosura yang jelas-jelas ada keterangan sebagai cagar budaya, dibongkar juga hanya karena butuh akses masuk ke tanah milik sang pembongkar. Katanya, pembongkaran itu atas suruhan Pak RT. Sedangkan Pak RT mengaku hanya menyuruh membersihkan, bukan membongkar. Nah, kalau begitu siapa yang bolot?

Yang jelas, bangunan cagar budaya yang dimiliki oleh sejumlah kota, tidak diurus secara serius. Pemda sekedar mencatat, tapi tak mengawasi, giliran hilang dibongkar orang, baru salahkan sana salahkan sini. Sepertinya Pemda tak punya anggaran untuk mengamankan cagar budaya.

Cagar budaya adalah peninggalan sejarah. Agar aman mesti dikelola Pemda sendiri, bukan sekedar “titip” perawatan pada pemilik sekarang. Pemilik yang merasa itu asset warisan, ketika desakan ekonomi bisa saja lalu Jual BU, tanpa minta izin lagi pada Pemda. Maka jika Pemda tak mampu membeli asset cagar Budaya tersebut, paling tidak juga menyisihkan anggaran untuk perawatan. Jangan hanya mau dapat jeneng (nama), tapi tak mau keluar jenang (baca modal). (Cantrik Metaram)

Advertisement div class="td-visible-desktop">