spot_img

Sarjana Mental Durjana

HARI ini ternyata diperingati bangsa Indonesia sebagai Hari Sarjana. Maaf jika narasinya pakai “ternyata”, karena banyak publik yang tidak tahu dan baru tahu, termasuk penulis sendiri. Padahal Hari Sarjana ditetapkan Presiden SBY sejak 9 tahun lalu, tepatnya 29 Agustus 2014. Karenanya, selamat berulang tahunlah wahai para sarjana. Baik yang bernasib bagus berkat titel kesarjanaannya, maupun yang tetap nganggur mesti sudah sarjana. Tetapi paling menyedihkan adalah, kelakuan para sarjana yang  merugikan banyak keuangan negara gara-gara bermental durjana!

Sarjana itu predikat bagi mereka yang sudah lulus perguruan tinggi, tak peduli kampusnya negeri, atau swasta yang akreditasinya: diakui, disamakan, terdaftar atau baru sekedar terdengar. Saat wisuda tiba, itu puncak kebahagiaan bagi para mahasiswa yang telah menempuh pendidikan selama 8 semester. Pakai toga item-item, foto bersama keluarga dengan latar buku-buku tebal dalam bentuk dekor. Pulang sudah menyandang gelar akademik semisal: SH, S.Hum, S.Sos, SE, dan masih banyak lagi.

Perubahan gelar akademik itu terjadi sejak tahun 1993, era Mendibud Wardiman Djojonegoro. Gelar SH adalah titel lama sejak jaman awal-awal Orde Baru yang sampai sekarang masih dipakai. SH yang singkatan Sarjana Hukum di zaman Belanda sampai Orde Lama disebut Mr (Meester in de Rechten). Maka dulu ada sejumlah tokoh terkenal disebut: Mr. Kasman Singodimedjo (Jaksa Agung RI pertama), Mr. Sumanang (tokoh pers).

Putu Wijaya mahasiswa UGM yang juga sastrawan Indonesia, ambil Fakultas Hukum juga karena bermimpi nantinya bergelar Mister. Di tengah masa perkuliahan, tiba-tiba gelar Mr diganti menjadi SH. “Kecewa sekali saya, sehingga gelar itu tak pernah saya pakai.” Ujarnya ketika penulis wawancarai belasan tahun lalu. Dan sepanjang kariernya Putu Wijaya malah berkecimpung di dunia sastra dan pers, sementara keahliannya bidang hukum dianggurkan.

Sayang benar rasanya, kuliah bertahun-tahun, begitu dapat malah dicampakkan. Putu Wijaya bisa berbuat demikian, karena dia memiliki skill lain. Jaman sekarang, titel sarjananya dianggurkan bukan karena terlalu idealis macam Putu Wijaya, tapi karena dibuat modal cari kerja tak kunjung laku. Makanya, jangan bangga mengantongi ijazah sarjana, karena belum tentu tertampung di pasar kerja. Akibatnya kini kini banyak sarjana jadi pengangguran, sarjana malah jadi tukang ojek online, PPSU (petugas kebersihan DKI) dan seterusnya……

Berdasarkan data BPS, sampai Agustus 2022 penganggur lulusan Perguruan Tinggi jumlahnya mencapai 673.485 orang. Mereka inilah para penganggur terbuka, yang tiap hari buka-buka koran cari lowongan, yang juga selalu terbuka atas bantuan mertua ketimbang anak-anaknya tak bisa makan. Dari mereka yang sudah berumahtangga, banyak yang kemudian mengikuti pendaftaran terbuka sebagai TKI. Meski dampak negatifnya juga banyak. Misalnya, dibela-belain jadi tenaga kerja luar negeri, eh di rumah istrinya malah jadi korban “tenaga kuda” tetangga. Banyak lho kejadian seperti ini.

Lalu berapa sekarang jumlah sarjana di Indonesia yang berstrata S1? Menurut data Kementrian Dalam Negeri, jumlahnya tinggal sebanyak 12,44 juta jiwa atau 4,5% penduduk Indonesia 270 juta jiwa. Disebut “tinggal” karena  selebihnya mengalami penyusutan alami alias meninggal. Nah, dari belasan juta sarjana di Indonesia ini, penerima gelar saja pertama kali adalah Drs. RMP (Raden Mas Pandji) Sosrokartono (1877-1952) kakak kandung RA Kartini.

Dari sinilah munculnya Hari Sarjana tersebut, yang diambil dari hari kelahiran beliau 29 September tahun 1877. Padahal sejumlah sumber menyebutkan termasuk Wikipedia, hari lahir RMP Sostrokartono adalah 10 April 1877 bukan 29 September. Jangan-jangan 29 September itu adalah hari di mana beliau diwisuda di Polytechnische School di Delft Belanda pada 1899.

Terlepas dari akurasi data peringatan Hari Sarjana, berkat perjuangan RMP Sosrokartono pula pemuda Indonesia berkesempatan sekolah di Nederland dan menjadi sarjana. Pada 29 Agustus 1899, RMP Sosrokartono diundang sebagai salah satu pembicara pada Kongres Bahasa dan Sastra (Nederlands Taal-en Letterkundig Congres) ke-25 di Gent, Belgia. Di sana beliau mengkritik pemerintah Belanda yang tak memberi kesempatan bangsa pribumi untuk sekolah di Negeri Belanda. Ternyata kritikannya diterima, dan sejak itu pula sejumlah pemuda Indonesia diberi kesempatan sekolah di Nederland, sebagai balas budi (Politik Etis). Padahal banyaknya pemuda Indonesia disekolahkan di Nederland menjadi embrio Kebangkitan Nasional menuju kemerdekaan Indonesia.

Kita patut berbangga diri, berkat kemerdekaaan Indonenesia telah berhasil mencetak belasan juta sarjana termasuk yang bergelar S2 dan S3. Tapi diakui atau tidak, banyak sarjana kita yang bekerja tidak sesuai dengan kompetensinya. Sekedar contoh,  bagaimana mungkin sarjana Sastra Arab sebagaimana AS Hikam, mendadak jadi Menrsitek di era pemerintahan Gus Dur. Ilmu Nahwu Shorof dan Balaghoh-nya mau diaplikasikan ke mana?

Itu kelas papan atas. Yang rendahan buanyak. Misalkan teman penulis saat bekerja di Mingguan “Parikesit” di Solo (1972-1976) yang hidupnya kembang kempis. Ada sarjana hukum jadi Sekretaris Redaksi, dokterandus UGM menjadi Redaktur Pelaksana. Maka ketika RRI Surakarta siaran gending Jawa dengan lelagon “rujak rujak nangka rujake para sarjono”, Bandrio teman bagian fotograpi yang putra Bupati Wonogiri langsung nyeletuk, “Kuwi sing rujakan mesthi Drs. Busro Haryono karo Mulyono SH…..!”

Bahwa jauh lebih banyak sarjana kita yang bekerja sesuai dengan kompetensinya, itu sudah pasti. Tetapi, meskipun sarjana itu punya keterampilan intelektual yang kuat, memiliki pikiran kritis, mampu berpikir analitis; kenapa kok banyak yang terlibat kejahatan terhadap negara? Ini jadinya kan sarjana yang bermental durjana! Sebab menurut KPK, sebagaimana yang dikatakan oleh Kasatgas Kerja Sama Perguruan Tinggi & Rekam Sidang KPK RI Budi Santoso, 86 persen koruptor yang jadi pasien KPK adalah para lulusan Perguruan Tinggi.

Maklumlah, yang bisa jadi Menteri, Gubernur, Rektor, anggota dan Ketua DPR, Ketua MK, Hakim Agung; kan semuanya harus sarjana. Sayangnya, otak berlian mereka ketika lihat tumpukan uang jadi ngglimpang (terbalik). Tragis dan ironis kan, sarjana kemudian jadi narapidana. (Cantrik Metaram)

spot_img

Related Articles

spot_img

Latest Articles