PEMIMPIN pemberontak Suriah Abu Mohammed Al Julani bersumpah, negaranya tidak akan menghadapi perang lagi karena rakyat sudah lelah akibat konflik selama bertahun-tahun.
“Orang-orang sudah lelah dengan perang. Jadi negara ini tidak siap untuk perang yang lain dan tidak akan terlibat dalam perang yang lain,” ujarnya saat menyambangi masjid Damaskus seperti dilaporkan Sky News (10/12).
Suriah, lanjutnya, akan dibangun kembali, akan bangkit menggerakkan pembangunan dan rekonstruksi dan mencitakan stabilitas.
Hal senada disampaikan oleh PM Transisi Suriah Mohammad al-Bashir yang menyatakan, sudah waktunya Suriah menciptakan “stabilitas dan ketenangan” di negaranya.
“Kini tiba saatnya, rakyat Suriah menikmati stabilitas dan ketenangan,” kata Bashir kepada televisi Al Jazeera Qatar dalam wawancara pertamanya sejak dilantik
Sebelumnya Presiden Bashar masih “PD” dan menyatakan pasukannya akan merebut kembali Aleppo dari tangan lasykar HTS, namun begitu pasukan aliansi pemberontak memasuki Damaskus, Minggu dini hari, ia langsung kabur bersama keluarganya.
Semula tujuannya tidak diketahui, karena pesawatya menghilang dari layar pengawas udara setempat dan tidak melaporkan tujuannya, namuankemudian pihak Rusia mengeklaim, ia sudah tba di Moskow dan pemerintah memberikan status suaka politik bagi Bashar dan keluarganya.
Sementara itu, Menlu Amerika Serikat Antony Blinken mendesak semua negara untuk mendukung proses politik yang “inklusif” di Suriah.
Akhir dinasti al-Assad
Kejatuhan rezim Bashar sekaligus menandai akhir dinasti al-Assad yang menguasai panggung politik Suriah sejak sekitar lima dekade, mulai dari pemerintahan Presiden Hafez al-Assad antara 1971 sampai kematiannya pada 2020, lalu digantikan puteranya, Bashar dari 2020 hingga 8 Des. 2024.
Namun jatuhnya rezim Presiden Bashar belum bisa memastikan apakah konflik akan berakhir karena berbagai faksi, baik beraliran agama mau pun kelompok-kelompok proksi Rusia dan Iran pasti juga akan mencoba tampil lagi.
Untuk sementara, situasi di Suriah merupakan pukulan telak bagi Iran dan Rusia. Iran menganggap Suriah sebagai poros perlawananan menghadapi Israel di mana Iran menempatkan penasehat militer dan sejumlah satuan Garda Revolusi (IRGC).
Iran juga menggunakan tangan-tangan Lasykar Hizbullah di Lebanon untuk menyerang wilayah Israel menggunakan rudal-rudal buatannya, sementara Rusia menempatkan pagkalan AL nya di Tartus dan pangkalan AU di Khmemim untuk membayang-bayangi kekuatan NATO di Laut Mediteranea.
Kejatuhan rezim Bashar salah satunya kemungkinan juga akibat menurunnya bantuan militer Iran dan Rusia.
Iran baru saja diserang Israel pada 26 Okt. lalu sebagai balasan serangan ratusan rudal Iran ke wilayah Israel Agustus dan awal Oktober. Menurut sumber militer Barat, serangan Israel telah menimbulkan kerusakan serius pada sejumlah sarana dan prasarana militer Iran, walau hal itu dibantah Iran.
Kelompok-kelompok radikal seperti ISIS dapat dengan mudah memanfaatkan kekosongan kekuasaan di Suriah untuk kembali bangkit membangun kekuatan.
Kekhawatiran ini semakin nyata mengingat adanya sisa-sisa senjata kimia yang sebelumnya dikuasai oleh rezim Assad, yang kini berisiko jatuh ke tangan aktor non-negara.
AS di atas angin
Dalam konteks ini, AS agaknya berada di atas angin, bisa mengambil peran untuk membantu rezim pemerintah Suriah yang baru dalam mengupayakan stabilitas guna menata kembali perekonomiannya yang porak poranda dilanda perang saudara sejak 2011.
Dalam konteks ini, peran AS dalam memastikan transisi yang inklusif dapat terhambat oleh kebijakan luar negeri yang lebih berorientasi pada hasil instan daripada pembangunan institusi jangka panjang.
Peran Geopolitik AS di Suriah pasca kejatuhan Bashar al-Assad memberikan peluang besar baginya untuk memengaruhi dinamika geopolitik di Timur Tengah.
Dengan mundurnya Iran dan Rusia , sekutu utama Iran di Suriah, AS memiliki peluang untuk melemahkan jaringann “Poros Perlawanan” yang selama ini menjadi ancaman bagi kepentingannya dan sekutunya di kawasan yakni Israel dan Arab Saudi.
Namun, pendekatan pragmatis pemerintahan Trump dapat membatasi keterlibatan langsung AS di Suriah.
Alih-alih berinvestasi dalam pembangunan kembali Suriah, AS kemungkinan akan menggunakan strategi diplomasi insentif untuk memengaruhi arah politik negara tersebut, sedangkan bantuan ekonomi atau dukungan militer selektif dapat diberikankepada aktor-aktor lokal yang dianggap mendukung kepentingan AS.
Berbagai analisis muncul terkait arah perkembangan gunjang-ganjing politik di Suriah, dan dunia aganya harus sabar menanti!