JAKARTA, KBKNews.id – Setiap orang tua pasti menginginkan yang terbaik bagi anak-anaknya. Sejak kecil, anak dirawat dengan kasih sayang, bahkan tak jarang orang tua rela mengorbankan tenaga, waktu, dan harta demi masa depan anak.
Namun, saat usia orang tua menua dan mereka tak lagi produktif, muncul pertanyaan, apakah anak berkewajiban menafkahi orang tuanya?
Secara moral dan budaya, masyarakat umum meyakini bahwa anak memiliki tanggung jawab untuk membalas jasa dan merawat orang tua di masa tua. Namun dari sisi hukum Islam, bagaimana sebenarnya kedudukan menafkahi orang tua?
Pandangan Islam tentang Kewajiban Nafkah kepada Orang Tua
Melansir NU online, dalam Islam, berbakti kepada orang tua adalah perintah langsung dari Allah SWT. Hal ini ditegaskan dalam Al-Qur’an, salah satunya dalam surah Luqman ayat 14–15, yang memerintahkan manusia untuk menghormati dan berbuat baik kepada orang tua.
Salah satu bentuk bakti adalah memberikan nafkah, terutama untuk kebutuhan pokok, selama anak memiliki kemampuan finansial.
Artinya, kewajiban menafkahi orang tua hanya berlaku jika anak memiliki kelebihan harta setelah mencukupi kebutuhan dasar dirinya, istri, dan anak-anaknya.
وإنما تجب نفقة الوالدين بشروط منها يسار الولد والموسر من فضل عن قوته وقوت عياله في يومه وليلته ما يصرفه إليهما فإن لم يفضل فلا شيء عليه لإعساره
Artinya: “Anak memiliki kewajiban menafkahi kedua orang tuanya dengan syarat tertentu, salah satunya adalah memiliki kelapangan rezeki. Kelapangan rezeki ini ditentukan oleh adanya kelebihan harta setelah anak tersebut memenuhi kebutuhan makanan pokok dirinya, istri, dan anak-anaknya dalam sehari-semalam. Jika masih terdapat kelebihan harta, maka nafkah tersebut dapat diberikan kepada kedua orang tua. Namun, apabila anak tidak memiliki kelebihan harta dan berada dalam kondisi ekonomi yang sulit, maka ia tidak memiliki kewajiban untuk menafkahi orang tuanya karena keterbatasan rezeki yang dialaminya.” (Lihat Taqiyudin Abu Bakar Al-Hushni, Kifayatul Akhyar, Beirut, Darul Kutub Al-Ilmiyah, 2001 M/1422 H, halaman 577)
Namun, tidak semua orang tua membutuhkan nafkah dari anaknya. Hanya orang tua yang memenuhi dua syarat sebagai mustahik nafkah yang berhak menerima bantuan tersebut.
فَأَمَّا الْوَالِدُونَ فَتَجِبُ نَفَقَتُهُمْ) عَلَى الْفُرُوعِ (بِشَرْطَيْنِ) أَيْ بِأَحَدِ شَرْطَيْنِ (الْفَقْرُ وَالزَّمَانَةُ) وَهِيَ بِفَتْحِ الزَّايِ الِابْتِلَاءُ وَالْعَاهَةُ (أَوْ الْفَقْرُ وَالْجُنُونُ) لِتَحَقُّقِ الِاحْتِيَاجِ حِينَئِذٍ فَلَا تَجِبُ لِلْفُقَرَاءِ الْأَصِحَّاءِ، وَلَا لِلْفُقَرَاءِ الْعُقَلَاءِ، إنْ كَانُوا ذَوِي كَسْبٍ لِأَنَّ الْقُدْرَةَ بِالْكَسْبِ كَالْقُدْرَةِ بِالْمَالِ فَإِنْ لَمْ يَكُونُوا ذَوِي كَسْبٍ وَجَبَتْ نَفَقَتُهُمْ عَلَى الْفُرُوعِ. عَلَى الْأَظْهَرِ فِي الرَّوْضَةِ. وَزَوَائِدِ الْمِنْهَاجِ. لِأَنَّ الْفَرْعَ مَأْمُورٌ بِمُعَاشَرَةِ أَهْلِهِ بِالْمَعْرُوفِ وَلَيْسَ مِنْهَا تَكْلِيفُهُ الْكَسْبَ مَعَ كِبَرِ السِّنِّ
Dalam hadis tersebut, di antara memiliki arti. Adapun orang tua berhak mendapatkan nafkah dari anaknya jika memenuhi salah satu dari dua syarat.
• Syarat pertama, mereka berada dalam kondisi fakir dan mengalami penyakit kronis atau tertimpa musibah yang menghalangi mereka untuk bekerja.
• Syarat kedua, mereka fakir dan mengalami gangguan mental yang membuat mereka tidak mampu memenuhi kebutuhan-nya sendiri.
Dari sini dapat disimpulkan bahwa anak tidak wajib menafkahi orang tua yang masih fakir namun sehat atau memiliki akal yang masih baik, selama mereka masih bisa bekerja dan memiliki penghasilan.
Sebab, kemampuan untuk bekerja dianggap setara dengan kepemilikan harta. Namun, jika mereka tidak memiliki pekerjaan atau sumber penghasilan, maka anak wajib menafkahi mereka, sebagaimana pendapat yang lebih kuat dalam kitab Raudhah dan Minhaj.
Selain itu, Islam mengajarkan anak untuk memperlakukan orang tua dengan baik. Salah satu bentuk perilaku yang tidak termasuk dalam kategori berbakti adalah membiarkan orang tua yang sudah lanjut usia atau kakek-nenek tetap bekerja untuk memenuhi kebutuhan hidupnya sendiri. (Muhammad bin Ahmad As-Syarbini, Al-Iqna’ pada Hasyiyatul Bujairimi alal Khatib, Beirut, Darul Kutub Al-Ilmiyah, 1996 M/1417 H, juz IV, halaman 439-440)
Secara rinci orang tua yang berhak menerima nafkah dari anaknya adalah mereka yang berada dalam kondisi tidak mampu secara finansial, tidak sehat, atau mengalami gangguan mental.
الْفَقْر وَالزَّمَانَة) فالزمن الغني او الفقير القوي لا تجب نفقته (أَوْ الْفَقْر وَالْجُنُون) فالمجنون الغني او الفقير العاقل لا تجب نفقته
Hadis tersebut merupakan, pandangan KH Afifuddin Muhajir dalam Fathul Mujibil Qarib (Situbondo, Al-Maktabah Al-As‘adiyah, cetakan pertama, 2014 M/1434 H, halaman 169), orang tua berhak menerima nafkah dari anaknya apabila memenuhi salah satu dari dua syarat berikut:
- Pertama, mereka dalam kondisi fakir dan menderita penyakit kronis. Jika seseorang menderita penyakit kronis tetapi memiliki kekayaan, atau sebaliknya, fakir namun masih sehat dan kuat, maka mereka tidak berhak menerima nafkah dari anaknya.
- Kedua, mereka berada dalam kondisi fakir dan mengalami gangguan mental. Jika seseorang mengalami gangguan mental tetapi memiliki kekayaan, atau fakir namun masih memiliki akal yang sehat, maka mereka juga tidak wajib dinafkahi oleh anaknya.
Jadi, hukum seorang anak yang wajib menafkahi orang tuanya memiliki syarat tertentu. Jika orang tua dalam kondisi fakir dan tidak dapat bekerja akibat masalah kesehatan atau gangguan mental, maka anak hukumnya wajib memberikan nafkah selama ia memiliki kelapangan rezeki
Namun, jika anak tidak memiliki kelebihan harta setelah memenuhi kebutuhan pokok keluarganya, maka ia hukumnya tidak berkewajiban menafkahi orang tua.
Meskipun begitu, berbakti kepada orang tua tetap menjadi keharusan bagi setiap anak, baik dalam bentuk dukungan finansial, perhatian, maupun bantuan lain sesuai kemampuannya, tanpa harus membebani diri dengan jumlah nafkah tertentu secara rutin.




