Tanah Harapan yang Tak Pasti

Papan hitam berlatar hitam itu tampak mencolok dengan tulisan digital berwana kuning. “Welcome to Calais Port”, demikian tulisan yang tertera di papan itu menyambut setiap penumpang kapal di pelabuhan Calais, yang terletak di Utara Perancis. Calais memang menjadi salah satu pintu keluar Perancis menuju Inggris. Di depannya terbentang Strait of Dover atau Pas de Calais yang merupakan bagian terpendek dari English Channel  yang memisahkan Perancis dengan Britania Raya.

Selama ini, Calais menjadi pintu bagi ribuan imigran yang berasal dari Afrika dan Timur Tengah yang ingin mencari peruntungan di Inggris dan negara sekitar. Pemerintah setempat bekerjasama dengan Kepabeanan Inggris untuk menghalau arus pengungsi agar tidak masuk  ke Inggris. Tak tanggung-tanggung, London menggelontorkan jutaan pounsterling untuk mengamankan perbatasan.

Tidak saja negara-negara yang berada di sekitar Samudera Hindia yang menghadapi masalah imigran dan pengungsi, saat ini Eropa juga memiliki masalah yang sama. Hampir setiap hari, ribuan pengungsi berusaha mencapai Eropa.  Mereka rela berjejal di dalam kapal, berhari-hari menahan lapar karena keterbatasan bekal, terombang-ambing di lautan demi harapan menggapai hidup baru yang lebih baik.

Akar masalah hampir sama, konflik komunal, kemiskinan, dan peperangan yang membuat mereka harus “lari” meninggalkan tanah leluhur. Mereka rela mengeluarkan biaya yang tidak sedikit meski bahaya besar selalu mengintai, baik sebelum maupun setelah mencapai daratan.

Penghujung April lalu, dunia dibuat terbelalak. Sebanyak, 700 imigran tenggelam dan tewas di Laut Tengah, karena berusaha masuk ke Eropa. Kapal yang mereka tumpangi karam, karena kondisi kapal yang buruk dan kelebihan muatan. Ini merupakan kecelakaan dengan korban paling besar sepanjang tahun ini.  Insiden ini juga memaksa Uni Eropa menggelar sidang darurat menteri luar negeri, karena sepakan sebelumnya, juga terdapat kecelakaan kapal imigran yang menewaskan 400-an orang di Laut Tengah.

“Kita tidak boleh tinggal diam dan tidak sensitif menaggapi tragedi yang menewaskan ribuan orang itu,” ujar PM Italia Mattteo Renzi. Pulau Lampedusa di Italia menjadi target utama pada imigran gelap asal Afrika dan Asia yang ingin memasuki Eropa. Pemerintah di Roma juga sudah kewalahan menangani arus imigran ilegal yang terus berusaha mencapai pulau Eropa terdepan di Laut Tengah itu.

Para pimpinan Uni Eropa menyepakati, diperlukan strategi baru untuk menangani gelombang pengungsian ilegal dari Afrika ke Eropa lewat Laut Tengah. Salah satunya dengan memperluas cakupan program penjaga perbatasan Triton yang beroperasi di seputar batas 30 km dari pantai Italia.

Tahun 2014 mencatat rekor kedatangan pengungsi terbanyak ke Eropa, yakni sejumlah 170.000 orang. Hampir seluruhnya datang lewat Laut Tengah dan menumpang perahu yang tak layak dan kelebihan muatan. Sekitar 20.000 diproses permohonan suakanya. Sementara jumlah korban tewas akibat kapal karam tercatat lebih 2.200 orang atau naik 9 kali lipat dibanding tahun sebelumnya. [DW]

 

Advertisement div class="td-visible-desktop">

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here