Tercerabut Dari Akar Budaya

Ilustrasi Petani Pegunungan Kendeng saat demo cor kaki dengan semen di depan Istana.

SEMEN itu kelihatannya dingin, tapi sebetulnya panas. Dan hati dan jiwa warga seputar Pegunungan Kendeng (Jateng) menjadi panas ketika pemerintah tak menggubris penolakan warga atas proyek pabrik semen di atas tanah-tanah mereka. Mereka berbondong-bondong ke Jakarta, demo menyemen kaki di depan Istana. Tapi apa lacur, salah seorang pendemo, Patmi (48), justru meninggal dalam demo teatrikal itu. Dia menjadi martir, ketika tidak sudi tercerabut dari akar budaya dan sejarahnya.

Sesungguhnya, setiap manusia itu mencintai akar budaya dan sejarahnya, yang diukir dari sejak lahir, hingga dewasa dan mati. Orang selalu menyayangi bumi kelahirannya, bumi tanah tumpah darahnya. Maka ketika mereka harus tercerabut dari akar budaya dan sejarahnya dengan alasan untuk pembangunan, berusaha mati-matian untuk mempertahankan.

Sayangnya, perjuangan mereka kebanyakan tak berhasil. Dengan alasan, bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat (pasal 33 UUD 1945), mereka harus menyingkir atas nama pembangunan. Silakan saja menggugat, akan selalu kalah.

Pembangunan memang selalu butuh pengorbanan. Ketika Waduk Gajahmungkur dibangun di Wonogiri (Jateng) tahun 1970-an, warga Baturetno, Betal, Nguter dan sekitarnya, harus terusir dari kampungnya, karena bumi kelahiran yang telah mengukir sejarah dan budayanya akan ditenggelamkan. Begitu juga ketika pembangunan Waduk Sempor (Kebumen) dan waduk-waduk lain selama Orde Baru, rakyat harus mengalah demi kesejahteraan masyarakat Indonesia seluruhnya.

Di era reformasi kita bisa menyimak betapa penolakan warga Temon Kulon Progo (DIY), ketika tanah mereka akan dijadikan areal bandara pengganti bandara Adisutjipto yang sudah tidak memadai lagi. Paguyuban “Tritunggal” berusaha menolak mati-matian, sampai lewat Pengadilan segala. Tapi hasilnya selalu rakyat yang kalah, dan pembangunan Bandara NYIA (New Yogyakarta International Airport) jalan terus.

Tapi paling menyedihkan adalah, ketika ribuan warga Porong  Sidoarjo (Jatim) harus tercerabut dari kampung halamannya, gara-gara kecerobohan PT Lapindo Brantas. Ini sangat menyedihkan, mereka sudah terusir dari kampung halamannya, tapi ganti rugi tidak memadai. Bahkan sejak 2006 hingga sekarang, belum seluruhnya korban Lumpur Lapindo memperoleh ganti rugi yang layak.

Pemerintah boleh beralasan bahwa warga tetap dapat lahan dan lokasi pengganti, untuk sumber rejeki dan kehidupan yang baru. Tapi tetap saja mereka tidak puas. Kalau bisa, inginnya tetap tinggal dan berada di bumi kelahirannya. Mereka tetap ingin dekat dengan sanak familinya, mereka tetap ingin bisa berdialog dengan alam sekitarnya. Pepatah mengatakan, lebih baik hujan batu di negeri sendiri, ketimbang hujan emas di negeri orang.

Sayangnya, ketika proyek pembangunan itu terjadi, ada segelintir manusia yang selalu memanfaatkan penderitaan orang. Saat proses ganti rugi berlangsung, yang main bukan saja oknum pejabatnya, tapi juga para kaum spekulan. Pada pembebasan bandara Temon Kulon Progo misalnya, banyak tanah desa yang ternyata dikuasai orang Jakarta. Mereka hanya bermodal ratusan juta beberapa tahun lalu, kini dapat puluhan miliar dari pembebasan tanah itu. Penduduk asli mrongos, para spekulan yang mrenges!

Paling gres adalah nasib warga seputar Pegunungan Kendeng dari Rembang, Pati, Blora, dan Grobogan. Mereka tetap menolak lahan peninggalan leluhurnya dijadikan pabrik semen, meski teman mereka, Mbok Patmi, telah menjadi martir perjuangan. Paling menyedihkan, ketika warga mengadu ke Presiden, jawab Jokowi pendek saja, “Ini urusan gubernur, kenapa dibawa ke sini?”

Mereka berharap, dengan dua bait tembang Jawa Pangkur yang berisi keluhan penduduk, Presiden Jokowi akan tersentuh. Salah! Meski beliau orang Solo, tapi presiden kita lebih akrab dengan lagu-lagu Barat yang keras nan cadas. Mereka kalah strategi. (Cantrik Metaram).

 

 

 

 

 

Advertisement div class="td-visible-desktop">