GREGETAN juga menyaksikan empat anggota Kelompok Kriminal Bersenjata (KKB) yang tanpa senjata api di Kabupaten Intan Jaya, Papua di tayangan video beberapa hari lalu, berlarian masuk hutan menghindari intaian drone TNI.
Salah seorang diantaranya bahkan dilaporkan sempat melempari drone yang terbang setinggi sepelemparan batu itu walau meleset, sebelum ia menyelinap di balik rimbunnya pepohonan di kawasan hutan.
Jika saja KKB tersebut memiliki senapan serbu laras panjang seperti AK-47 (ex-Soviet) , M-16 (buatan AS) atau SS1 atau SS2 buatan PT Pindad yang berjarak jangkau di atas 300 meter tentu drone bisa dijatuhkan.
Sebaliknya, jika yang diterbangkan TNI dari jenis drone serang atau tempur, tentu yang terjadi berbeda, KKB tersebut dengan mudah bisa dihabisi dengan bom, rudal atau senjata yang digembolnya.
Menurut catatan, drone di Indonesia baru digunakan untuk memantau lalu lintas, kegiatan peliputan oleh media, memantau kondisi cuaca atau lalu lintas atau kondisi medan oleh TNI, tidak dipersenjatai karena memang bukan jenis drone serang.
Untuk itu, tepat rasanya jika Panglima TNI Panglima TNI Marsekal Hadi Tjahjanto mengajak para petinggi di jajarannya untuk menyoroti perkembangan pesawat nir awak atau drone.
Konflik antara Azerbaijan dan Armenia, kata Hadi pada Rapim TNI di Mabes TNI, Cilangkap (16/2) adalah contoh terbaru penggunaan drone secara taktis menjadi penentu kemenangan.
Ia menuturkan, drone mempunyai sejumlah kelebihan, antara lain harganya yang murah dan mudah dioperasikan dan bisa dilengkapi persenjataan dan alat penginderaan.
TNI, lanjutnya, harus mengembangkan konsep-konsep operasional penggunaan alutsista nirawak seperti drone dan integrasinya dengan alutsista TNI yang sudah ada.
“Ke depan penggunaan dalam medan pertempuran modern akan semakin mengemuka,” tutur Hadi.
Menurut catatan, dalam konflik di wilayah sengketa Nagorno Karabakh, September lalu, Azerbaijan menggunakan drone-drone Bayraktar-2 dan Anka buatan Turki dan don Kamikaze Harop buatan Israel.
Drone-drone tersebut mampu mengubah perimbangan kekuatan di lapangan. Dari tayangan video, tampak drone-drone Azerbaijan melumat tank-tank Armenia, bunker, situs-situs rudal dan juga konsentrasi pasukan lawannya.
Padahal kedua negara bekas sempalan Uni Soviet itu memiliki warisan arsenal alutista sama seperti tank-tank T-62, T-72, pesawat-pesawat tempur MiG-21, MiG-23 dan MiG-29 walau Azerbaijan mengolekasi lebih banyak.
Beroperasi 24 Jam
Drone Bayraktar-TB2 dengan kecepatan 220 Km per jam, daya jelajah 150 Km sampai ketinggian 22.500 Km dan dapat beroperasi 24 jam dan mampu menggembol bom, rudal atau persenjataan sampai 55 Kg.
Dibuat dengan bahan karbon, Kevlar dan komposite hibrida, Bayraktar-TB2 dengan panjang 6,5 meter dan bentang sayap 12 meter berklasifikasi pesawat pada ketinggian sedang dengan enduransi tinggi (MALE).
Dibandingkan pesawat tempur seperti F-15 Eagle AS atau Sukhoi SU-35 yang berharga sampai Rp1 triliun, Ukraina membeli 12 unit drone Bayraktar-2 dan tiga unit alat pengendali darat 69 juta dollar AS (sekitar Rp900 milyar).
Drone Anka awalnya dibuat untuk penginderaan, pencitraan medan dan pendeteksi musuh, namun kemudian dikembangkan dalam berbagai varian dan untuk berbagai misi. Anka juga dinilai sukses di palagan Nagorno Karabakh.
Salah satu jenis drone Anka dibeli oleh Tunisia dengan nilai kontrak 240 juta dollar AS (sekitar Rp3,3 triliun) untuk enam unit dan tiga sistem kontrol di darat.
Pasukan Azerbaijan juga mengoperasikan drone Harop Sky Strike Kamikaze buatan Israel untuk membunuh tank-tank Armenia dan juga situs-situs rudal lawan.
Drone Kamikaze dengan panjang 2,5 meter, bentang sayap tiga meter mampu terbang dengan kecepatan lebih 400 Km per jam dan daya jelajah sampai 1.000 Km.
Berkualifikasi siluman, drone Kamikaze konon mampu menghindari deteksi radar musuh, bahkan melacak dan menghancurkannya pada saat radar sedang tidak memancarkan emisi radio atau tidak dioperasikan.
Selain di palagan Nagorno-Karabakh, drone Kamikaze juga pernah sukses menghancurkan sistem pertahanan udara kombinasi rudal dan meriam anti pesawat SA22 Pantsir milik yang ditempatkan Rusia di Suriah.
Teknologi militer terus berkembang, bahkan pasukan infantri nantinya bisa digantikan oleh robot yang bisa terbang karena dilengkapi mesin jet di punggungnya dan juga menyelam di kedalaman laut.
Penggunaan alutsista nirawak terus dikembangkan sehingga lambat laun, jumlah personil atau anggota pasukan bisa dikurangi.
Selain tidak berulah, ngirit ongkos tidak perlu digaji, robot-robot tempur nggak pernah hilang nyawanya atau mati.