Matahari masih enggan beranjak tinggi saat roda-roda mulai berputar, membelah gerimis pagi yang menyiram ibu kota. Aku tinggalkan Jakarta, menumpang pesawat menuju Banyuwangi, memulai tour de Java.
Ini bukan perjalan biasa. Sebuah ikhtiar pencarian diri kesejarahan, dengan membaca ulang Jawa dari kaki-kaki kerakyatan. Apa yang telah melayu dan melaju di Jawa setelah para penjelajah terdahulu melukisnya di garis tinggi.
Setelah mengunjungi Jawa pada 1868, bapak biogeografi Alfred Russel Wallace melukiskan: “Pulau Jawa tepat sebagai contoh bagi para moralis dan politikus yang mau memecahkan masalah tentang bagaimana manusia bisa diatur dan dikelola dengan cara terbaik dalam segala kebaruan dan keragaman kondisi.”
Pada 1927, pemikir dan pujangga India ternama, Rabindranath Tagore, mengunjungi Pulau Jawa dan Bali. Di sana ia menemukan bayangan India yang tenteram dlm pangkuan Jawa. Memandang Candi Borobudur dari kejauhan, sepertinya ia melihat bayangan India. Begitu memasuki teras candi paling bawah, ia terpukau dengan relief-relief Jataka karena keindahan dan jiwa spiritualitas yang terpancar darinya.
Menyaksikan pertunjukan sendratari Ramayana dan Mahabharata, Tagore menyatakan, “Orang Jawa lebih pandai mewujudkan cerita Hindu sebagai tonil daripada orang Hindu sendiri.” Lantas ia simpulkan, “Aku melihat India di mana-mana di Pulau Jawa, tetapi tak tahu di mana sisi India yang sesungguhnya.”
Arkeolog Belanda ternama, FDK Bosch, melukiskan genius Jawa sebagai kemampuan mengawinkan genius budaya luar dgn cerlang budaya lokal yang membentuk suatu kebaruan dan entitas harmonis yang berujung kelahiran tipe peradaban lebih tinggi dari sebelumnya.
Setelah sekian masa berlalu, masihkah Jawa berdaya-beraura sebagai pusat teladan, atau telah dilumpuhkan mesin pembangunan yang membawa gerak mundur. Sebuah ironi yang dibayangkan Jean-Jacques Rousseau bahwa gerak peradaban bukanlah tanda kemajuan, melainkan kemunduran.
Demikianlah, tour de Java ini bukan hanya tentang seberapa jauh roda berputar, tetapi tentang seberapa dalam jejak tertinggal. Bahwa Jawa bukan sekadar pulau—ia adalah sebuah rumah kehidupan yang selalu ingin dialami dan ditengok kembali, sebuah kisah yang selalu ingin diceritakan ulang.