Turkiye terbebas dari beban pengungsi Suriah

0
183
Ada tiga juta pengungsi Suriah di sepanjang 900-an km tapal batas dengan Suriah. Jatuhnya rezim Bashar al Assad membuat mereka ingin kembali ke tanah airnya sehingga Turkiye terbebas dari beban biaya.

TURKIYE, negeri yang berbatasan sepanjang 911 km dengan Suriah, lega dengan digulingkannya rezim Presiden Bashar Al Assad, karena jutaan pengungsi Suriah yang sudah bertahun-tahun membebaninya bakal kembali ke negaranya.

Para pengungsi Suriah di seantero Turkiye, seperti dilaporkan AP,  bersorak-sorai menyambut jatuhnya rezim Al Assad hari Minggu (8/12). Banyak dari mereka melihat peristiwa itu sebagai peluang untuk bisa kembali ke Suriah.

Kantor berita AP melaporkan, para pengungsi itu mengibarkan bendera Suriah dan Turkiye di alun-alun utama Kilis, sebuah kota perbatasan di Turkiye selatan.

Sementara di Provinsi Hatay yang juga terletak di tapal batas  Suriah, banyak orang mengatakan sudah waktunya mereka pulang setelah bertahun-tahun tinggal di Turkiye yang menampung sekitar tiga juta pengungsi Suriah.

“Kami bebas sekarang. Semua (pengungsi)  harus kembali ke tanah air,” kata Mahmud Esma kepada kantor berita DHA di gerbang perbatasan Cilvegozu. Turkiye yang berbagi perbatasan  dengan Suriah.

Para pengungsi tersebut adalah pendukung utama kelompok-kelompok pemberontak atau oposisi yang bertekad menggulingkan Assad di tengah pecahnya perang saudara sejak  2011.

Sementara Reuters mengungkapkan, sekitar enam bulan lalu, para pemberontak Suriah telah berkomunikasi dengan Turkiye tentang rencana serangan besar-besaran untuk melengserkan rezom Bashar al Assad.

Mereka merasa telah mendapat persetujuan implisit dari Turkiye sebelum melancarkan serangan yang akhirnya menumbangkan rezim Assad.

Di-ACC Turkiye

Meski para pejabat Turkiye membantah klaim keterlibatan para pengungsi tersebut, sejumlah pengamat percaya bahwa serangan para pemberontak, yang tampaknya selaras dengan tujuan jangka panjang Turkiye, tidak akan terlaksana tanpa persetujuan Ankara.

Kejatuhan Assad telah memungkinkan Turkiye, melalui proksinya di Suriah, yaitu Tentara Nasional Suriah (Syrian National Army SNA), untuk melawan pasukan Kurdi di Suriah yang bersekutu dengan musuh bebuyutan Turkiye, kelompok separatis Partai Pekerja Kurdistan (atau PKK).

Kelompok militan yang memimpin serangan terhadap rezim Assad hingga akhirnya tumbang, yaitu Hayat Tahrir al-Sham (HTS), masuk dalam daftar organisasi teroris oleh Ankara.

Namun faktanya, Turkiye telah beroperasi bersama kelompok itu selama bertahun-tahun di Suriah utara dan Turkiye diyakini memiliki pengaruh signifikan terhadap kelompok tersebut.

Turkiye sendiri telah menegaskan dukungannya terhadap keutuhan wilayah Suriah, namun hal yang paling tidak diinginkan negara itu adalah terbentuknya wilayah otonom Kurdi di perbatasannya atau munculnya gelombang baru para pengungsi disebabkan oleh ketidakstabilan di Suriah.

Ankara telah melakukan sejumlah serangan ke wilayah Suriah sejak tahun 2016 dengan tujuan memukul mundur kelompok ISIS dan militan separatiss Kurdi (PKK) untuk menciptakan zona penyangga di sepanjang perbatasannya.

Kini, Turkiye menguasai sebagian wilayah di Suriah utara dan  menempatkan pasukan di wilayah Suriah barat laut dan memberikan dukungan kepada beberapa kelompok pemberontak yang ambil bagian dalam serangan terhadap rezim Assad, termasuk SNA.

Upaya diplomatik

Turkiye sebelumnya juga terlibat dalam sejumlah upaya diplomatik untuk menyelesaikan konflik antara rezim Assad dengan para pemberontak, termasuk mengadakan pembicaraan dengan pendukung utama Assad, yaitu Rusia dan Iran.

Belum lama ini Ankara mengupayakan rekonsiliasi dengan Assad demi mengurangi ancaman terhadap Turkiye dari milisi Kurdi dan memastikan kembalinya para pengungsi dengan aman, namun Assad menolak tawaran Turkiye.

Sejumlah pejabat Turkiye secara tegas membantah klaim terkait keterlibatan mereka dalam mendukung para pemberontak Suriah.“Semua pernyataan yang mengklaim Turkiye memprovokasi atau bahwa Turkiye mendukung hal ini tidak benar. Itu semua bohong,” kata Omer Celik, Jubir Partai AKP pimpinan Presiden Turkiye Recep Tayyip Erdogan.

Namun para analis mengatakan, serangan pemberontak tidak akan mungkin terjadi tanpa lampu hijau dari Turkiye. Sumber Reuters di pihak oposisi Suriah mengatakan, pemberontak telah menunjukkan rincian rencana serangan yang akhirnya menumbangkan rezim Assad kepada Turkiye, setelah berbagai upaya Ankara untuk melawan Assad gagal.

Pesan para pemberontakan adalah: “Jalan lain telah gagal  selama bertahun-tahun. Kami akan mencoba jalan yang kami pilih. Anda tidak perlu melakukan apapun, asal jangan campur tangan,” demikian pernyataan pembrontak Suriah.

Sejumlah pejabat Turkiye menyatakan, Ankara telah menunda serangan selama berbulan-bulan, namun, pasukan pemberontak akhirnya melancarkan serangan setelah pasukan pemerintah Suriah menyerang wilayah yang mereka kuasai.

Serangan pasukan pemerintah Suriah melanggar perjanjian de-eskalasi antara Rusia, Iran, dan Turkiye. Menurut para pejabat itu, sebagaimana dilaporkan AP, serangan tersebut awalnya dimaksudkan hanya terbatas, tetapi kemudian diperluas setelah pasukan pemerintah Suriah mulai mundur dari posisi mereka.

Saat berbicara di Qatar hari Minggu lalu, Menlu Turkiye, Hakan Fidan mengatakan, negerinya menginginkan persatuan nasional, stabilitas, kedaulatan, dan keutuhan wilayah dan kesejahteraan rakyat Suriah sehingga jutaan warga Suriah yang mengungsi  kembali ke tanah air mereka.”

Gelombang pengungsi baru

Risiko yang mungkin muncul akibat jatuhnya rezim Assad di Suriah dapat berdampak bagi Turkiye, termasuk gelombang pengungsi baru yang mengalir ke perbatasan Turkiye jika terjadi kheos.

Sinan Ulgen, direktur Center for Economics and Foreign Policy Studies yang berbasis di Istanbul, mengatakan bahwa Turkiye menginginkan Suriah yang stabil.

“Risiko pertama yang ingin dihindari Turkiye dengan segala cara adalah disintegrasi Suriah, di mana berbagai kelompok kekuasaan berusaha mendapatkan otonomi di wilayah mereka masing-masing,” kata Ulgen.

Dia menyoroti Unit Perlindungan Rakyat (YPG) Kurdi Suriah yang terkait PKK di timur laut Suriah. Menurut Ulgen, masa transisi yang stabil akan memungkinkan Turkiye menyalurkan bantuan ekonomi ke Suriah demi menciptakan situasi yang memungkinkan kembalinya para pengungsi.

Sejumlah analis berpendapat, serangan pemberontak dapat memicu ketegangan dengan pendukung Suriah, yaitu Iran dan Rusia.

Turkiye yang merupakan anggota NATO, berupaya menjaga   hubungan, baik dengan Ukraina mau pun  Rusia terkait Perang di Ukraina akibat invasi Moskwa ke negara tetangganya itu sejak 24 Fab. 2022.

Ulgen mencatat, Rusia tidak menuduh Turkiye atas pencapaian para pemberontak. Dia mengatakan, hal itu sebagian karena Rusia tidak ingin Turkiye “berubah menjadi lebih anti-Rusia” dalam sikapnya terkait perang di Ukraina.

Turkiye telah berupaya menormalisasi hubungan dengan Suriah, sejak 2022 namun Assad berkeras meminta penarikan pasukan Turkiye dari Suriah utara, sementara Turkiye menyatakan pihaknya tidak dapat menarik diri selama ancaman dari milisi Kurdi masih ada.

HTS, penguasa baru di Suriah dilaporkan menjalin hubungan baik dengan YPG, kelompok Kurdi yang memimpin Pasukan Demokratik Suriah (SDF), lawan pasukan rezim pemerintah.

Turkiye melihat YPG sebagai organisasi teroris meskipun kelompok itu bersekutu dengan AS elawan kelompok ISIS.   Fidan yang menyerukan agar integritas teritorial Suriah dijaga, menyatakan bahwa Turkiye sedang “waspada” untuk “memastikan bahwa organisasi teroris, khususnya Daesh dan PKK, tidak memanfaatkan keadaan.”

Fidan merujuk pada kelompok Negara Islam (ISIS) dan YPG. Tentara Nasional Suriah yang didukung Turkiye mengusir YPG dari Tal Rifaat, di utara Aleppo, dalam serangan terakhir.

Minggu lalu, sejumlah pejabat keamanan Turkiye mengatakan mereka telah menguasai sebagian besar kota Manbij yang selama ini dikuasai Kurdi.

Ozgur Unluhisarcikli, direktur German Marshall Fund di Ankara, mencatat bahwa Turkiye berharap bisa memberikan pengaruh yang signifikan dalam perubahanyang terjadi di  Suriah saat ini.

“Akan ada negosiasi yang akan menentukan masa depan Suriah,” kata dia. “Turkiye akan berpengaruh, begitu pula AS dan negara-negara Timur Tengah yang akan membiayai pembangunan kembali Suriah.”

Tidak mampu kendalikan HTS

Gonul Tol, Direktur Program Turkiye di Middle East Institutes yang berbasis di AS, mencatat, Turkiye mungkin tidak dapat mengendalikan HTS karena kelompok itu mengedepankan kepentingannya sendiri.

“HTS adalah kartu liar. Apakah Turkiye benar-benar ingin organisasi militan itu menguasai negara tetangganya?” katanya.

Dinamika politik masih berlangsung di Suriah, pihak-pihak yang merasa terpukul, misalnya Iran yang menjadi proksi Hizbullah dan Rusia yang memiliki pangkalan AU di Khemimim dan pangkalan AL di Tartus tentu saat ini tentu  sedang mengambil ancang-ancang.

Terlalu banyak kepentingan hadir di Suriah, mulai dari Hizbullah proksi Iran yang menggunakan wilayah Suriah untuk menyerang Israel, kelompok separatis Turki PKK, YPG, Al Qaeda dan ISIS dan banyak fraksi-fraksi lain yang bakal mencari peluang di tengah pergantian rezim saat ini.

Jadi, belum jelas apakah Suriah bakal terpuruk ke konflik baru lagi atau muncul secercah asa perdamaian yang didambakan rakyat  yang sudah jemu dan lelah di tengah konflik berkepanjangan sejak 2011. (berbagai sumber/ns)

 

 

 

Advertisement div class="td-visible-desktop">

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here