MENDENGAR jawaban Sarjokesuma yang terkesan clometan, Patih Sengkuni dan Pendita geregetan bukan main. Jika di padepokan Sokalima beragama miliknya, pastilah murid model Sarjokesuma ini sudah dilempar penghapus. Tapi karena dia putra Prabu Duryudana yang selama ini memberikan sandang-pangan untuknya, Pandita Durna hanya bisa mengelus dada. Sabar, sabar….. , anak cucu jangan sampai ketular!
“Itu sih cita-cita dan kepenginan otomatis. Maksud eyang, cita-cita baku setelah berumahtangga. Punya istri punya anak kan antinya butuh dana untuk memenuhi kebutuhan hidup. Yang politisi saja pade kepengin jadi pejabat, apa kamu nggak pengin?” kata Begawan Durna lagi.
“Ngapain capek-capek eyang. Jadi politisi kan untuk cari uang, jadi pejabat juga untuk ngumpulin duit. Buat apa saya ngurus begituan? Duduk manis begini saja nanti jika bapak meninggal saya bakal jadi raja Ngastina dan memperoleh semua itu. Jadi santai sajalah, bro…!” jawab Sarjokesuma seenaknya.
Semua peserta diskusi terbatas ini terbelalak matanya, kok sampai sebegitunya dia punya omongan. Masak pakai diksi “jika bapak meninggal”, itu kan sama saja mendoakan Prabu Duryudana cepat mati. Lha kalau lama tak juga meninggal, kan sama saja nasib Sarjokesuma seperti Pangeran Charles dari Britania Raya. Sudah jadi manula, tapi tahta kerajaan Inggris belum juga diserahkan Ratu Elisabeth padanya.
“Sarjokesuma, omonganmu bener juga sih. Tapi kehidupan manusia dan juga wayang, kan tidak pasti. Kamu mestinya punya pilihan, mau jadi Pangeran Charles atau Pangeran Cikeas?” kejar Pendita Durna kesal.
“Jadi Pangeran Cendana saja, eyang!” jawab Sarjokesuma to the point.
“Kamu mau dikejar-kejar negara karena punya tanggungan utang sampai Rp 2,6 triliun?” potong Patih Sengkuni sambil menoyor kepala Sarjokesuma dengan keras.
Dia berani bertindak demikian, karena Prabu Duryudana kebetulan baru ke toilet. Belakangan raja Ngastina ini memang anyang-anyangan melulu. Kata tim dokter istana Gajahoya, ada indikasi Prabu Duryudana terkena kanker prostat dan harus berobat ke AS. Beliaunya sudah pamitan pada ramanda Destarata-Gendari, bukan untuk minta dibiayai tapi mohon doa restunya saja.
“Gini lho Le, sekarang kan baru ada isyu rame tentang Wahyu Konglomerat. Semua putra raja ikut konvensi, apa kamu nggak mau ikut KWK-2024? Kamu kalau menang, jadi gampang cari cewek cantik. Jangan seperti sekarang ini, anak Prabu Jokopitono tapi nglamar anak Satpam saja ditampik.” Kata Patih Sengkuni memberi pencerahan.
“Oo, gitu ya Eyang Sengkuni? Ya sudah saya ikuuuut….!” jawab Sarjokesuma dengan wajah ceria.
Para peserta diskusi kembali tertawa, ternyata dia lebih memikirkan kebutuhan bonggol ketimbang benggol. Padahal jaman milenial begini, jika sudah dapat benggol otomatis kebutuhan bonggol terpenuhi. Istri cap apa yang tak suka suami kaya, tak peduli dari mana kekayaan itu diperoleh. Dari dari hasil keringat sendiri, atau dana hibah tanpa akte.
Legalah Prabu Duryudana karena Sarjokesuma telah berminat ikut KWK-2024. Dengan demikian nantinya berangkat ke AS untuk berobat kanker prostat di Las Vegas bersaa Ibu Negara Banowati bisa dengan tenang. Padahal di mata rakyat, berobat kanker kok ke Las Vegas apa nggak salah alamat. Kalau mau main judi di kota itu ya masuk akal, apa lagi di masa mudanya dulu Jokopitono ahli main judi dadu mengalahkan Pandawa Lima.
“Mungkin di sono kepengin main Kasino-Indro,” kata pedagang warung kopi.
“Husy, itu kan pelawak! Di sono adanya Casino, goblok!” sergah pengunjung warung.
Ternyata, rasa lega Prabu Duryudana justru bikin gundah gulana Durmagati. Dia merasa tersaingi secara tidak adil oleh keponakan sendiri. Wong sudah otomatis bakal dapat jatah menjadi raja entah kapan, kok masih pengin ikut KWK-2024 segala. Mbok ya kasihan sama Durmagati yang hanya sentana dalem karena adik raja, selama ini hanya diberi posisi jadi komisaris BUMN yang nyaris bangkrut. Berilah jalan orang lain meraih rejeki, jangan malah disaingi. Jika Sarjokesuma ikut bertarung, di mana-mana asu gedhe menang kerahe.
Meski sudah dapat becking Betara Kala, rupanya Durmagati kurang pede juga melihat langkah Sarjokesuma. Maka saat sang keponakan baru nyarap di warteg di sebuah pagi, langsung ditemui. Ironisnya paman Durmagati tak juga ditawari makan, dia terus saja melahap dua piring nasi berlauk ayam goreng dan sayur asem. Untuk penambah selera sebongkok pete rebus juga menyertainya.
“Rupanya serius bener Oom, kok sampai harus menemuiku di Warteg sini. Sudah makan kan, Oom?” kalimat pembuka Sarjokesuma sambil menggigit kepala ayam goreng.
“Ya sudahlah! Kalau belum, ngapain ketemu ponakan yang pelit.” Jawab Durmagati penuh sindiran.
“Kebetulan aku bawa uang pas-pasan, tak makan dulu ya.” Jawab Sarjokesuma tanpa basa-basi dan tanpa beban sama sekali. (Ki Guna Watoncarita)
