Wakaf Islam (6) “Fikih wakaf telah berkembang seiring dengan kebutuhan masyarakat”
Kebanyakan hukum fikih tentang wakaf merupakan hukum-hukum ijtihadi, umat hanya mempunyai satu tujuan wakaf yaitu “mendekat kepada Allah Swt.”. Akibatnya terdapat ruang yang luas bagi pewakaf (wakif) dan Undang-undang wakaf untuk membuat syarat-syarat yang dipandang relevan untuk merealisasikan wakaf. Yang diharapkan dari UU Wakaf adalah agar ia memberikan kebebasan sebesar mungkin kepada pewakaf untuk merealisasikan niatnya berwakaf dalam batas-batas kaidah syariat.
Wakaf adalah amalan yang sangat mulia karena urgensinya bagi pembangunan ekonomi dan kemaslahatan umat. Oleh karena itu UU wakaf harus berjalan untuk menggalakkan pembentukan wakaf-wakaf baru.
Mayoritas ahli fikih berpendapat bahwa kekayaan wakaf itu bebas dari kewajiban zakat. Wakaf adalah harta yang sepenuhnya telah lepas dari pemiliknya untuk tujuan qurbah (mendekat kepada Allah) dan kebajikan yang menjadikannya sebagai harta untuk tujuan kebaikan. Lalu bagimana mungkin ia dituntut untuk membayarkan sebagian darinya untuk kebaikan lagi? Pemahaman seperti ini telah disadari oleh banyak dari sistim perpajakan modern. Kebanyakan UU Perpajakan barat memberikan keringanan pajak terhadap aset-aset wakaf, dimana sejumlah harta wakaf dibebaskan dari pajak properti, pajak penghasilan (PPh) dan pajak pertambahan nilai (PPN), serta segala bentuk kewajiban lainnya.
Pada era modern ini terjadi perluasan besar di pasar uang serta dalam fikih tentang hak spiritual dan hak intelektual yang semuanya merupakan obyek wakaf. Sebagaimana hadis Abu Hurairah : “Ketika manusia mati, maka terputuslah amalnya kecuali tiga; sedekah jariyah, ilmu yang bermanfaat dan anak shaleh yang mendoakannya”. Terkait ilmu yang bermanfaat, maka itupun termasuk sesuatu yang bisa diwakafkan, sebagaimana diwakafkannya kemampuan kreatif atau hak cipta.
Ada banyak jenis hak dan manfaat yang bisa diatur oleh Undang-undang wakaf Islam. Yang terpenting adalah hak penggunaan harta spiritual (non-material), terutama karya-karya para ulama terdahulu yang harus dilindungi terhadap para penerbit modern. Ketika hak cipta diberikan kepada penerbit, maka mereka memanfaatkan karya-karya tersebut seakan menjadi miliknya sendiri, tidak ada kewajiban memberikan kompensasi atas hak penulis. Sebagai contoh, hendaklah 15% dari kitab yang mereka jual diberikan kepada kampus-kampus, sekolah-sekolah pusat kajian ilmiah, dsb.
Wakaf adalah sedekah yang manfaatnya mengalir berulang kali sehingga disebut sebagai Sedekah Jariyah (mengalir). Sedekah diberikan kepada penerima yang manfaatnya hanya sekali waktu dan dengannya proses sedekah sudah selesai. Adapun wakaf, maka sedekah didalamnya mencakup pengulangan, lagi dan lagi. Dengan demikian penerima wakaf bisa menerima manfaat dari benda wakaf secara berulang-ulang. Misalnya seseorang berwakaf masjid, maka si penerima wakaf dapat memanfaatkan masjid untuk beribadah berulang kali, selama masjid tersebut tetap berdiri.
Wakaf publik atau wakaf sosial tujuannya adalah aspek kebaikan umum, seperti masjid, sekolah dan panti jompo. Adapun wakaf privat atau wakaf keluarga, penerimanya adalah pribadi-pribadi yang mempunyai hubungan kekerabatan dengan pewakaf (wakif).
Karena wakaf merupakan salah satu bentuk “kebajiakn ekonomi” maka kebanyakan pemerintah memberikan keistimewaan perpajakan dan kemudahan peraturan lainnya.
*) Disarikan dari buku Wakaf Islam, Badan Wakaf Indonesia 2015