
ADA yang bilang, kalau mau kaya, jadilah wakil rakyat, baik tingkat pusat (DPR) maupun tingkat daerah (DPRD). Benarkah demikian? Buktinya di kalangan DPRD sekarang ini, baru beberapa hari dilantik sudah banyak yang berebut gadaikan SK pengangkatannya ke bank. Padahal bagi orang kita kebanyakan, malu jika butuh uang sampai menggadaikan barang. Soalnya terkesan menjadi orang elit alias ekonomi sulit, jika tak mau disebut miskin.
Jadi benarkah jadi wakil rakyat menjadi cara mudah tolak kemiskinan? Tak semunya begitu. Kelihatannya memang keren, terpilih jadi anggota DPRD. Padahal banyak yang babak belur kantongnya di masa kampanye. Maka tradisi lama berulang, baru beberapa hari dilantik jadi anggota DPRD, langsung pada berebut gadaikan SK-nya ke bank. Ini terjadi di mana-mana. Ironis kan, sudah jadi anggota DPRD malah banyak utang, karena tiap bulan cicil utang.
Menjadi wakil rakyat itu sebetulnya pengabdian, memperjuangkan nasib rakyat pendukungnya. Tapi sekarang terbalik-balik. Menjadi anggota DPRD untuk cari uang. Sebab faktanya, banyak orang yang tadinya pengangguran, begitu duduk jadi anggota dewan, langsung berubah nasibnya. Dulu rumahnya kecil, buat bakar keong saja tidak mateng, sekarang tinggal di rumah bagus, daerah elit pula.
Tapi untuk menjadi wakil rakyat memang perlu modal. Bukan saja untuk biaya kampanye, tapi juga harus bayar “mahar” untuk partai yang jadi kendaraan politiknya. Dari mana dananya? Jika tidak jual aset ya ngutang sana-ngutang sini. Kalau terpilih, alamat segera BEP (balik modal). Tapi kalau kalah, banyak yang dikejar-kejar debt collector.
Bulan September ini anggota DPRD di segala penjuru RI sudah dilantik, dan mulai bekerja. Mereka sudah dapat SK bahwa telah menjadi anggota dewan yang definitip. Tiap bulan terima gaji, belum ceperan lain bila ada pembahasan APBD dan Perda. Biasanya, agar semua lancar, antara Pemda dan DPRD saling pengertianlah.
Tapi ingat, sekarang ada KPK yang selalu mengintai kelakuan busuk para wakil rakyat. Sudah banyak anggota DPRD masuk penjara berjamaah gara-gara “tawar menawar” dengan Kepala Daerah. Ada juga anggota dewan tapi malah sibuk jadi calo tanah. Selama di DPRD tak pernah ada suaranya, tapi dia sibuk kasak-kusuk pertemukan pejabat Pemda yang yang cari lahan untuk bangunan pemerintah, dengan para pemilik tanah. Harga bisa diatur. Dari pemilik segini, dijual ke Pemda segono. Semua dapat bagian.
Tapi tak semua anggota dewan selincah itu cari uang. Bagi yang belum berpengalaman, terpaksa gunakan cara-cara konvensional. Karena SK anggota DPRD ternyata bisa juga digadaikan atau dijaminkan ke bank, banyak yang menempuh cara itu. Waktu kampanye banyak pula yang ngutang sana sini, sehingga untuk menutupnya dalam waktu cepat tak ada cara lain kecuali menjaminkan SK-nya. Nilai pinjamannya lumayan lho, bisa ratusan juta sampai Rp 1 miliar. Nantinya setiap gajian dedel duel, selain dipotong untuk partai, juga nyicil ke bank.
Tradisi gadikan SK anggota DPRD sudah terjadi di mana-mana, hampir setiap daerah pasti ada. Dari Lampung, Surabaya, Bandung, Sampang dan masih ada yang lain lagi, semua melakukannya termasuk yang di DKI Jakarta. Sebetulnya sih sah-sah saja menggadaikan SK anggota DPRD, hanya tidak etis. Itu kan simbol kehormatan dari rakyat. Itu kepercayaan rakyat kepada wakilnya di dewan. Masak symbol kepercayaan malah digadaikan? (Cantrik Metaram)
