
Presiden Prabowo Subianto agaknya mulai kesal dengan ulah oknum-okum pejabat di pusat dan daerah yang alih-alih sadar, tidak kapok kapoknya bekerja semaunya, bahkan jadi pagar amakan tanaman, ikut berkonspirasi menyolong uang rakyat.
Di depan peserta Harlah ke-102 Nahdlatul Ulama di Jakarta, (5/2) Prabowo menyatakan telah mewanti-wanti jajarannya untuk bekerja sepeuh hati kepaa rakyat.
“100 hari pertama ya saya sudah beri peringatan berkali-kali. Sekarang, siapa yang bandel, yang ndablek, tidak mau ikut dengan aliran besar yakni tuntutan rakyat terhadap pemerintah bersih, siapa yang tidak patuh saya akan tindak,” tandasnya.
Selang lima hari kemudian, di depan peserta Kongres XVIII Muslimat NU di Jatim Expo, Surabaya, (10/2) ia melontarkan lagi pernyataan kerasnya terkait ‘raja-raja kecil yang merasa kebal hukum.
“Saya melakukan penghematan. Saya ingin pengeluaran-pengeluaran yang tidak perlu, yang mubazir atau untuk dicolong, agar dihentikan, dibersihkan, “ serunya.
Dalam birokrasi, tutur Prabowo, ada yang merasa sudah kebal hukum, merasa sudah menjadi ‘raja kecil’, sindirnya seraya mengatakan, ia mau menghemat uang, uang untuk rakyat, untuk memberi makan anak-anak rakyat,”
“Ada yang melawan saya. Dalam birokrasi merasa sudah kebal hukum, merasa sudah menjadi raja kecil, ada,” kata Prabowo .
Pangkas anggaran
Tak hanya melontarkan peringata keras, Prabowo juga memangkas aggaran sejumlah program dan kegiatan yang dianggap merupakan pemborosan yang sudh terjadi bertahun tahun.
Pos anggaran terbesar yang dipangkas adalah pembelian alat tulis (90 persen), belanja percetakan souvenir (75,9 persen), sewa gedung, kendaraan dan peralatan (73,3 persen), belanja barang yang tidak prioritas (59,1 persen).
Selebihnya, anggaran seremonial (56,9 persen), perjalanan dinas (53,9 persen), kajian dan analisis (51,5 persen), rapat dan seminar (54 persen), jasa konsultan (45,7 persen, honor dan jasa profesi (40 persen), infrastruktur (34,3 persen), peralatan dan mesin (28 persen), diklat dan bimtek (29 persen), lisensi aplikasi (21,6 persen), bantuan pemerintah (16,7 persen), pemeliharaan dan perawatan (10,2 persen).
Masalahnya, selain kabinet yang gemuk, pengeluaran APBN juga terkuras biaya pembangunan IKN (Rp48,8 triliun untuk periode (2024 – 2029) yang dialokasikan dari APBN 2025 sebesar Rp12 triliun dan program makan siang bergizi gratis (MGB) Rp71 triliun untuk menyasar 19,47 juta penerima manfaat.
Ada sebelas kementerian dan lembaga yang dipangkas cukup besar anggarannya yakni Kementerian PU dari Rp110,95 triliun menjadi Rp29,57 triliun, Kemenfodigi dari Rp7,73 triliun ke Rp3,23 triliun, Kemendes DT dari Rp2,19 ke Rp1,15 triliun, Kemen PKP dari Rp5,27 trilun ke Rp1,61 triliun, BMKG dari Rp2,82 triliun ke Rp1,42 triliun, Komisi Yudisial dari Rp184 triliun ke Rp84,7 miliar, Basarnas dari Rp1,49 triliun ke 1,011 triliun, LPSK dari Rp292 miliar ke Rp85 miliar, Kementrans dari Rp105 triliun ke Rp86 triliun dan Kemendag dari Rp1,85 triliun ke Rp1,03 triliun.
Sebaliknya, 16 kementerian dan lembaga yang tidak dipangkas anggarannya yakni: Kemenhan Rp166,2 triliun, Menkopolkam Rp268 miliar, Kmenterian Ekonomi Kreatif Rp266 miliar, MK Rp611 miliar, MA Rp12,6 triliun, KPK Rp1,2 triliun), Kejagung Rp24,2 triliun, BIN Rp7 triliun, BPK Rp6,1 triliun, BPKP Rp2,4 triliun, PPATK Rp354 miliar, Polri Rp166,25 triliun, BNN Rp2,4 triliun, MPR Rp969 miliar, DPR Rp6,6 triliun,
Perlawanan ‘raja-raja kecil’
Tekad Presiden Pabowo untuk mengefisienkan pengreluaran pemerintah dan menekan kebocoran agaknya mendapat perlawanan atau serangan balik (ight back) birokrat dan politisi di pusta dan daerah yang disebutnya sebagai raja-raja kecil yang kebal hukum.
Selain, jangan sampai timbul kesan, seolah-olah pemangkasan tidak menyentuh instansi yang mendukung pemerintahannya, pemangkasan juga tidak bisa dilakukan serampangan karena karakteristik instansi yang berbeda-beda.
Misalnya, BPS yang kerjanya melakukan survei, tentu biaya perjalanan dinas pegawainya tidak bisa dipangkas besar-besaran karena bakal mengganggu kinerja alau sudah rahasia umum, perjalanan dinas sering dijadikan bancakan oleh PNS.
Puluhan triliun rupiah dihambur-hamburkan untuk biaya dinas dengan bebagai modus operandi, termasuk mengada-adakan program yang tak perlu, juga memainkan lama perjalanan.
Yang dicemaskan, gebrakan Prabowo untuk memangkas anggaran dan bersih-bersih pemerintahan, malah bisa membuat situasi memburuk, misalnya jika dilakukan “slow-down” dalam pelayanan publik, bahkan mogok kerja sehingga melumpuhkan kegiatan.
Hal itu bukan tidak mungkin, mengingat para pelakunya bukan lagi segelintir oknum-oknum, tetapi akibat pembiaran bertahun-tahun, sehingga segala penyimpangan sudah dianggap biasa, terjadi secara sistematis, masif dan terstruktur (TSM).
Bisa jadi, di tengah anggaran yang dipangkas, oknum-oknum yang bebal atau ‘ndablek’ masih berusaha menyunat angaran untuk kepentingan diri atau komplotannya. Jika ini terjadi, tentu, kuantitas, kualitas dan jangkauan layanan tambah menurun. Bisa jadi pula, pemangkasan anggaran dijadikan alasan untuk berkerja sekadarnya.
Yang perlu dibenahi juga, instansi, internal maupun eksternal dan termasuk SDMnya yang juga tidak berfungsi baik untuk mengawasi jalannya pemerintahan selama ini.
Sebut saja, pengawasan melekat yang ada di suatu instansi atau badan mulai dari Satuan Pengawasan Internal (SPI), auditor, inspektorat yang tersebar di pusat dan daerah, ada saber pungli (tidak terdengar lagi kiprahnya), dan berbagai badan pengawas ekternal seperti BPK, BPKP, Ombudsman, Kejaksaan, KPK, sampai DPR dsb.
Sebagai “sapu” negara, bersih-bersih di lingkup badan atau lembaga pengawasan jelas mutlak diperlukan, jika tidak, sudah banyak kisah di negeri ini terkait “pagar makan tanaman”.
Dari mana ya memulainya? Semoga presiden diberi kekuatan untuk melakukan bersih-bersih di negeri ini.