PUBLIK pun terkaget-kaget atas testimony Wara Srikandi. Ini sangat berkebalikan dengan PC dalam kasus Ferdy Sambo. Bini Ferdy Sambo ini mengaku terjadi pelecehan seksual oleh Brigadir Joshua, sementara Wara Srikandi putri Prabu Drupada mengaku tidak ada pelecehan seksual oleh Prabu Jungkung Mardeyo. Apa yang diyakini publik adalah asumsi yang dibangun oleh media massa berdasarkan fakta kesalahpahaman.
Berita Srikandi ajar manah berikut insidennya memang telah dimuat panjang lebar pada koran dan media online. Patih Dorakethu di Parang Gubarjo terkaget-kage membaca berita TV dan media online, juragannya tewas ditimpuk batu bata oleh Harjuna gara tindak pidana pelecehan seksual. Sungguh memalukan, pamitnya mau ikut sayembara memperebutkan putri Pancala, yang terjadi pulang dalam bentuk mayat seperti copet pasar habis digebuki.
“Kalau tidak percaya, silakan peti matinya dibuka kembali.” Kata petugas dari negeri Pancala.
“Percaya, kami percaya. Dan di negeri kami nggak ada pengacara seberani Komarudin.” Jawab Patih Dorakethu.
Demikianlah, kasus tewasnya Prabu Jungkung Mardeya telah ditutup dan seminggu berikutnya sayembara revitalisasi Taman Maerakaca dilanjutkan kembali. Membuka lagi sayembara, Prabu Drupada dalam sambutannya minta maaf beribu maaf atas terjadinya insiden saat putrinya belajar memanah. Semua terjadi karena di luar kengajaan, dan Prabu Jungkung Mardeya sebagai korban telah dipulangkan ke negaranya dengan baik.
Patih Sengkuni yang memperoleh nomer undian satu mencoba masuk ke lokasi Taman Maerakaca yang sudah lama terbengkelai itu. Dia masuk sendirian, karena timsesnya bala Kurawa hanya dibolehkan menunggu di luar kompleks. Dan benar kata media massa, Taman Maerakaca kini memang ancur-ancuran. Bangunan berantakan, tapi jadi ajang preman mencari rejeki tidak halal. Ada sejumlah bangunan darurat sekedar untuk melepas syahwat.
“Mari Oom, silakan masuk! Ada yang baru….”, kata seorang lelaki ramah.
“Oom, Oom, kapan saya kawi sama tantemu?” sergah Patih Sengkuni sambil memelototi si empunya omongan.
Lelaki yang agaknya asisten germo di Pancala Fuck itu sepertinya lupa-lupa ingat sudah pernah tahu siapa dia. Tapi kalau patih Ngastina, kok rambutnya masih hitam. Yang dia ingat, Patih Sengkuni ini dulu pernah bernadzar siap jalan kaki Ngastina-Pendawa jika kubu Ngamarta yang menang trajon. Tapi meski Pandawa yang menang Sengkuni tak juga ngluwari ujar.
Patih Sengkuni terus melanjutkan perjalanan, sampai tibalah di bawah pohon beringin yang growong (berlobang) besar. Dia kemudian duduk di akar pohon sambil menyalakan rokok gudang garam merah kegemarannya. Tiba-tiba rokok itu seperti ada yang nampel hingga mencelat. Lalu tiba-tiba muncul suara menggelegar: dilarang merokok selain petugas.
“Busyet dah! Pohon beringin ini ada jin penunggunya. Jangan galak-galaklah, saya kenal baik sama Airlangga Hartarto.” Kata Patih Sengkuni mohon permakluman, lalu tangannya meraih kembali batangan rokok yang terlempar.
“Jangan kaitkan aturan dengan politik. Sono ngerokok di tempat lain!” suara jin itu semakin galak dan tiba-tiba ada potongan ranting jatuh ke kepala Patih Sengkuni, pletak.
Benar kata orang, semenjak Taman Maerakaca terlantar dan menjadi slum (daerah kumuh) kini banyak jin yang jadi penghuni gratisan, nyampur dengan jin kepala hitam yang menguasai lahan demi cuan. Patih Sengkuni mendadak ngeri. Dia segera kabur tinggalkan lokasi, Taman Maerakaca memang angker, gawat-keliwat-liwat. Dia tak mau kesambet macam Cak Nun, yang kemudian ngomong ngaco bawa-nawa mama Fir’aun.
“Nggak dapat Wara Srikandi juga nggak patheken. Hiii….” Kata Sengkuni sambil ngacir.
“Payah! Baru ketemu jin sudah ngeper. Beraninya sama jin Cihampelas.” Ledek Durmagati. (Ki Guna Watoncarita)
