
DALAM bentuk roh halus dan berdiri di pojok ruang sidang, Prabu Kresna tersenyum kecut. Enak saja, dirinya disebut tukang menggoreng isyu. Tapi isyunya kan tidak digoreng dadakan seperti tahu bulat Rp 500,- Satu hal yang perlu diluruskan, dirinya bukan menggoreng isyu, tapi menciptakan isyu yang dalam waktu cepat bisa menyihir publik. Soalnya, semua dipikirkan benar-benar secara tepat guna. Tanpa pasang banyak baliho macam Cak Imin, isyu yang disebar itu telah menjadi menu gosip di warung kopi.
Contohnya JK itu lho, tak ada angin tak ada hujan mendadak ngomong soal cicilan utang RI pertahun Rp 1.000 triliun. Etnis Cina hanya 5 persen, tapi mengusai bisnis dalam negeri sampai 50 persen. Jangan-jangan, 50 persen yang tersisa 10 persennya juga dikuasai oleh JK sendiri. Tapi ini hanya sekedar jangan-jangan lho, bukan jangan gudeg atau jangan bobor.
“Jangan nyebut-nyebut Bethara Kresna, nanti dia dengar lho. Orangnya ada di sini kok.” Ujar SBP memperingatkan peserta sidang.
“Yang bener? Kalau begitu kebetulan sekali, suruh maju saja ke sini.” Potong Bethara Indro sambil celingukan, matanya menyapu ke segala penjuru ruangan.
Lalu tampaklah seseorang bertampang begawan, berdiri di pojok ruangan dengan kaki tak ngambah lemah. Semua peserta sidang membatin, masak Prabu Kresna pakai jubah, jenggotan dan mengenakan kethu kadrun segala. Apakah beliaunya sudah hijrah macam artis Ari Untung, yang beropini bahwa raja Arab Salman bawa tangga khusus di pesawat agar tidak membebani utang Indonesia.
SBP kemudian ngawe (memanggil dengan kode tangan) Sukmawicara ke depan, lalu ditunjukkan padanya soal skenario Perang Baratayuda yang sudah setengah jadi. Kresna pun mencermati. Resi Seta kalah oleh Resi Bisma, oke! Bisma lawan Srikandi dan dimatikan, oke. Tetapi ketika ada adegan Srikandi memanah kumis Karno hingga tinggal sebelah, Prabu Kresna mengajukan usul.
“Bagaimana jika kumis Adipati Karno jangan dibikin hanya tinggal sebelah, pukulun. Biar seru sebaiknya kumis itu dibikin mirip Chaplin Indonesia.” Kata Sukmawicara sambil menyembah.
“Wah, susah itu. Gerakan panah kan tidak seperti mesin bordir. Lagi pula, dengan kumis bentuk Chaplin, Adipati Karno nggak jadi dipermalukan oleh Srikandi.” Jawab SBP.
Sukmawicara ya Prabu Kresna dalam bentuk badan alus, tahu bahwa keisengan Srikandi sebelum eksekusi yang sebenarnya, adalah bagian balas dendam. Sebab sebelumnya Adipati Karno ini dengan sengaja memanah kemben (kain penutup payudara) Srikandi yang benar-benar terlihat menggamit rasa merangsang pandang. Konyol memang Adipati Karno, dalam kondisi gentingnya pertempuran masih memikirkan urusan syahwat juga.
Dan itu pula kehebatan Kitab Jitapsara bikinan para dewa. Mereka bisa mengatur peristiwa yang belum terjadi, bukan saja para tokoh utamanya, tapi juga ekses-ekses sampingannya. Dan ketika hal itu benar-benar terjadi, masyarakat wayang menerimanya sebagai takdir belaka. Tak ada yang menggugat, tak ada pula yang menguji-materi ke MK-nya dunia perwayangan.
“Wahai Sukmawicara, bagaimana dengan skenario Begawan Durna terbunuh oleh murid sendiri, Trusthajumena? Ada dampak politisnya nggak?” tanya SBP kembali.
“Nggak ada pukulun. Dia kan nggak ikut koalisi mana pun. Kalau dampak sosialnya memang ada, sebab pasca Perang Baratayuda nanti, perguruan Sokalima ditutup dan mahasiswanya ter-DO dengan sendirinya.” Penjelasan Sukmawicara.
“Suruh saja Komar jadi Rektornya, dia kan sudah pengalaman di UMUS Brebes.” Potong Bethara Indro, masih mencoba melawak.
Skenario Kitab Jitapsara hampir mendekati akhir pembahasan. Tapi ketika dipasangkan Antareja lawan Baladewa, Sukmawicara protes keras. Terus terang saja, dia tak tega jika kakak kandungnya harus mati terbunuh oleh Antarejo ksatria Jangkarbumi tersebut. Dalam Perang Baratayuda dia bisa jadi senopati wudhu tanding (tak terkalahkan). Sebab dia punya kesaktian luar biasa, siapapun yang terjilat bekas telapak kakinya, langsung akan wasalam menit itu juga. Padahal sudah menjadi rahasia umum, semua wayang tidak pakai sepatu (kecuali dewa dan begawan). Maka perusahaan sepatu Bata dan Nike yang buka cabang di Pendawa dan Ngastina, tutup semua.
“Lalu bagaimana cara menyiasati?” SBP bertanya pada Sukmawicara.
“Serahkan sama saya, dijamin semuanya beres.”Jawab Sukmawicara memberi jaminan.
Draft UU Kitab Jitapsara sudah selesai dibuat, berkas kemudian dibukukan dan dicetak di Jl. Margonda Depok, gudangnya print digital yang murah dan cepat karena bisa ditunggu. Begitu buku selesai Sukmawicara memperoleh satu, tapi dengan stempel merah: bukan untuk konsumsi publik. Buku ini setengah resmi karena belum ada tanda tangan SBG (Sanghyang Bethara Guru), tapi dijamin keasliannya.
Sukmawicara segera pamitan tinggalkan sidang Bale Marcukundha. Buku Kitab Jitapsara yang tak seberapa tebal itu diselipkan di balik jubahnya, takut hilang dan jika ketemu orang akan diviralkan di medsos. Bisa kacau ini urusan. Tapi baru saja membuka pintu gapura Selamatangkep, berpapasan dengan Sukmalanggeng yang tak lain tak bukan adalah Harjuna adik iparnya.
“Ngapain kamu nyusul ke Jonggring Salaka?” tegur Sukmawicara.
“Mau tahu bocoran informasi yang kangmas peroleh dari kahyangan.” Jawab badan alus penjelmaan Harjuna.
Sukmawicara tertawa, Sukmalanggeng sok gaya meniru mantan Wamenkum Deny Indrayana saja, cari bocoran informasi di MK soal sistem tertutup atau terbuka soal Pileg 2024 mendatang. Tapi terlepas dari urusan politik, mayoritas publik menyukai hal-hal yang tertutup, kalau terbuka cukup sedikit-sedikit saja, biar merangsang, gitu. (Ki Guna Watoncarita)
