BANJARAN SENGKUNI (12)

0
642
Gendari-Haryo Suman berunding. Intinya, Pandu harus disingkirkan. Jika diperlukan, nanti dicarikan tokoh yang sekaliber Paman Usman.

SEBENARNYA Brataseno ini anak pertama Pandu-Kunthi, tetapi lantaran resmi menjadi bayi setelah kelahiran Kangka, otomatis statusnya menjadi anak kedua. Sebaliknya Kangka yang mustinya anak kedua, berubah posisi menjadi anak pertama. Soalya dia juga paling awal didaftarkan di Kantor Catatan Sipil. Di negeri Ngastina bayi baru lahir harus cepat-cepat didaftarkan. Bila tidak, anak tidak akan mendapat jaminan tunjangan dari negara.

Sebelum kembali ke kahyangan Bethara Bayu berpesan, agar bocah istimewa Brataseno tak perlu dibawa ke Posyandu seperti lazimnya bayi-bayi umum. Soalnya dia sudah tumbuh jadi anak sehat, tubuhnya kuat meski tanpa diberi ASI, makanan bergizi apa lagi imunisasi. Berat badannya juga tak perlu ditimbang selalu, karena timbangan bayi pastilah tidak cukup.

“Namun demikian Kunthi sebagai ibunya harus selalu waspada, bila Brataseno diare langsung diberi oralit ya.” Kata Betthara Bayu panjang lebar.

“Siap pukulun, karena saya juga sudah hafal lagunya AT Mahmud, pukulun.” Jawab Dewi Kunthi mantap.

Prabu Abiyasa bangga betul pada cucu yang keduanya ini. Karena dia telah melewati masa-masa balitanya, sehinggga tak ada ceritanya Brataseno main mobil-mobilan dan gelembung air sabun. Bocah ini juga tak mau main HP sebagaimana balita sekarang. Cuma yang bikin Prabu Abiyasa prihatin, bocah Brataseno tak bisa menyembah dan duduk. Bahasa krama juga tak bisa, selalu ngoko saja pada siapapun orangnya tak peduli pada orang yang lebih tua.

Bagaimana mungkin kepada Prabu Abiyasa si Brataseno bisa bertanya, “Simbah wis madhang durung (kakek makan belum)?” Dampar atau tempat duduk Prabu Abiyasa di istana Gajahoya yang oleh para kawula lain selalu disembah-sembah, oleh Brataseno malah dibuat main perosotan ala Gogon Srimulat. Kaki-kaki dampar yang selalu dibersihkan oleh para abdidalem kraton, oleh Brataseno malah dicorat-coret pakai spidol. Kata orang Solo, Brataseno jan ndlogok temenan (kurang ajar betul).

“Wahai Pandu anakku, aku bangga betul pada cucuku si Brataseno ini. Sayang dia berstatus anak kedua, sehingga tak mungkin menjadi raja penerusmu kelak.” Kata Prabu Abiyasa di suatu pagi nan cerah.

“Kenapa kanjeng rama ngomong begitu. Nggak usah mikir ke sana-sana rama, Kangka dan Brataseno kan masih bocah, tak perlu memikirkan dulu suksesi tahta kerajaaan untuk mereka. Punya paman Usman di MK pun kita tak pernah berpikir ke sana.” Jawab Pandu takzim.

Akhirnya Prabu Abiyasa berterus terang bahwa ingin lengser keprabon, mengingat usianya sudah 70 tahun. Dosen di kampus pun harus pensiun. Karenanya istana Gajahoya hendak mempersiapkan suksesi atau jumenengan untuk Pandu sebagai penggantinya. Kenapa harus Pandu, dikarenakan putra sulung Destarastra berhalangan tetap pada penglihatannya. Bagaimana nanti jika raja harus meneken berbagai berkas  yang masuk istana dan perlu persetujuannya.

Sebetulnya Pandu belum siap untuk menerima suksesi kepemimpinan negeri Ngastina. Makanya dia minta rama Prabu Abiyasa untuk bertahan dan bertahta dulu. Usia 70 tahun masih sangat layak menjadi raja. Lha wong di Indonesia Prabowo yang sudah berusia 72 tahun saja masih kepengin jadi presiden, gara-gara ingin memberi makan siang gratis pada rakyat.

“Ini hal yang berbeda, Pandu. Di Ngastina yang menentukan suksesi adalah panjenenganingsun (saya), sedangan di negara republik yang menentukan rakyat. Jadi meski dibeckingi presiden pun, belum tentu jadi. Percayalah sama aku….,” kata Prabu Abiyasa, gayanya mirip Menpen Harmoko di masa Orde Baru dulu.

“Ya sudah, kalau kanjeng rama maunya begitu. Tetapi saya harus selalu minta petunjuk rama lho ya, untuk menentukan arah kebijakan pemerintahan. Saya nggak mau salah langkah, sehingga rakyat yang menjadi korban.” Jawab Pandu sang pangeran pati, nadanya setengah hati karena sesungguhnya dia merasa belum siap lahir batin jadi raja.

Demikianlah, karena paugeran (aturan) suksesi raja memang begitu, Pandu jadi raja tanpa perlu kampanye. Misalnya,  menaikkan gaji ASN awal Januari, tak perlu bagi BLT dan Bansos atas nama kerajaan. Karenanya money politic tidak laku di negeri Ngastina. Prabu Abiyasa tak perlu pesan ke KPU agar materi debat yang mudah-mudah saja bagi Pandu. Dan tak perlu pula Pandu diolok-olok sebagai Samsul atau belimbing sayur.

Suksesi berjalan aman dan lancar. Ditest duduk di dampar kencana Kraton Gajahoya, tanpa kendala. Artinya tidak sampai kembali melorot atau malah pingsan di atas kursi. Itu pertanda bahwa Pandu memang trah yang berhak menjadi penerus Prabu Abiyasa. Dan ketika Pandu bergelar Dewanata itu resmi memerintah, Prabu mantan memilih jadi begawan Abiyasa dengan bertempat tinggal di Wukir Retawu atau Candi Saptahargo. Ini tanah hadiah dari Sejretaris Kerajaan. Semula akan mengambil lokasi di Kartosura, ternyata sudah keduluan dibeli oleh Istana untuk Presiden Jokowi yang akan lengser Oktober 2024 ini.

“Maaf kangmas Destarastra, rama Prabu menunjuk saya untuk menggantikannya. Padahal itu mestinya itu hak mutlak kangmas Destarastra.” Ujar Prabu Pandu sambil mencium tangan kakaknya yang tuna netra.

“Oo, nggak papa. Saya menyadari akan kelemahan dan kekurangan saya. Saya hanya berpesan, menjadi raja yang amanah dari awal sampai selesai nanti. Jangan seperti di Indonesia; 9 tahun pemerintahannya kelihatan bagus, tetapi setahun menjelang berakhir jadi jeblok gara-gara terlalu mamaksakan anak belimbing sayur untuk menjadi Cawapres.” Jawab Destarastra bisik-bisik takut ada intel nguping.

Beda dengan Dewi Gendari, dia kecewa betul atas pelantikan Pandu. Mestinya yang jadi raja kan suaminya. Destarastra meski buta, kan bisa disiasati dengan operasi katarak atau ganti kornea. Dengan Pandu yang menjadi raja, Gendari merasa pesimis untuk menjadikan anak keturunnya Kurawa-100 nanti menjadi raja di Ngastina. Tapi sebagai wanita yang penuh optimisme, dia berkeinginan kuat untuk bisa mengubah keadaan. Gendari tak mau kalah dengan “Ibu Suri” versi Youtuber Tempo “Bocor Alus.”

“Hai Gantalpati, kamu ngikuti perkembangan politik Ngastina nggak?” tanya Dewi Gendari lewat HP, langsung ke Sengkuni yang masih tinggal di negeri Gendara.

“Enggaklah, ngapain ngurusi negara orang?” Jawab Haryo Suman lugu dan polos, maklum tak tahu dengan gejolak batin kakak kandungnya.

Dewi Kunthi lalu membeberkan segala rencana besarya demi kejayaan Kurawa-100 ke depan. Oleh karenanya Dewi Kunthi meminta Haryo Suman segera datang ke Ngastina demi mempersiapkan kejayaan. Jangan ditunda-tunda, kalau nanti tak ada biaya tiket naik pesawat Blekok Airlines Gendara – Ngastina nanti segera ditransver dananya. Jer basuki mawa beya, kata Dewi Gendari.

Dua hari berikutnya Haryo Suman telah tiba di istana Gajahoya. Di tempat khusus yang bebas penyadapan Gendari-Haryo Suman berunding, bagaimana menyiasati perkembangan politik di Ngastina. Intinya, Pandu harus disingkirkan, sehingga Destarastra bisa menggantikannya. Jika diperlukan, nanti akan dicarikan tokoh yang sekaliber Paman Usman. (Ki Guna Watoncarita).

 

 

Advertisement div class="td-visible-desktop">

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here