OPERASI Yulius Caesar berhasil dengan selamat. Tapi hasilnya bikin tim dokter terkaget-kaget, karena yang diduga buah semangka itu ternyata segumpal daging bulat yang kenyuk-kenyuk (lembut) ketika diraba. Mereka pun bertanya kepada Dewi Gendari, apakah selama kehamilan rajin mengikuti kegiatan di Posyandu khusus pelayanan bumil alias ibu hamil.
“Ya sering dok, di sana dianjurkan sering-sering minum asam sulfat.” Kata Gendari tanpa merasa salah.
“Ah yang bener? Asam folat kali ah. Masak ibu Gendari minum asal sulfat perutnya nggak mbrodoli. Tahu nggak, asam sulfat itu air accu….” kata dokter memberi tahu.
Kata tim dokter lebih lanjut, masih beruntung Dewi Gendari tidak sampai wasalam makan obat yang salah. Cuma, resiko yang dialami kemudian, asam sulfat yang masuk ke kandungan itu lalu mengkristal menjadi seperti buah kwaci dari semangka. Mendengar ketrangan para dokter kebidanan, Gendari jadi kecewa dan marah. Bulatan mirip semangka itu diraihnya kemudian dibanting ke lantai, bluggg! Ketika pecah langsung diinjak-injak untuk pelampiasan emosi.
Biji-bijian yang tadinya menggumpal bersama bulatan daging tersebut, mendadak tercerai berai. Aneh bin ajaib, atas kuasa dewa di kahyangan Jonggring Salaka, biji-bijian tersebut satu persatu menjelma jadi bayi mungil. Seperti terkomando, bayi tersebut berkumpul menjadi satu, jumlahnya tercatat ada 100. Bobotnya variatip, ada yang 5 Kg, 4 Kg, terkecil 3,5 Kg. Sebanyak 98 berkelamin laki-laki dan 1 lagi berkelamin wanita. Adapun satunya lagi tak berkelamin secara nyata, identitasnya lobang buat kencing, persis kran pipa air dicabuit krannya!
“Terima kasih dewa linuhung, doaku telah engkau kabulkan. Aku berhasil memiliki seratus anak, yang akan menjadi lawan anak-anak Pandu kelak.” Ujar Dewi Gendari sambil bersujud syukur seperti Prabowo yang jadi korban isyu menang Pilpres 2014 dan 2019.
“Ya, ya, terima kasih kembali.” Jawaban sebuah suara tanpa wujud, bergaung lagi seperti pakai eho.
Dewi Gendari celingukan, mencari dari mana asal sumber suara. Dilongok di kolong ranjang tak ditemukan juga. Masak ada dewa ndhepis (duduk memojok) di kolong ranjang Rumah Sakit. Kurang kerjaan amat. Tapi lalu siapa dia? Apa ada perawat iseng mencoba ngeprank dirinya? Berani betul dia, mau main-main dengan keluarga Istana Gajahoya. Tapi ya sudahlah, buang-buang energi amat. Yang penting kelahiran bayi Kurawa-100 telah terjadi.
Ternyata pertumbuhan bayi Kurawa 100 begitu cepat. Hanya dalam tempo seminggu bayi-bayi itu telah tumbuh seperti balita, sehingga ruang RSP Palasara tak mampu menampungnya lagi. Seratus bayi itu segera diboyong ke Istana Gajahoya. Destarastra selaku ayah pusing memberikan nama untuk 100 bayinya, sehingga perlu bantuan Prabu Abiyasa, dan Dewi Gendari sendiri. Sebab nama bayi itu harus segera didaftarkan ke Dinas Dukcapil untuk memperoleh akte kelahiran.
“Kita wayang Ngastina, jangan kasih nama anak-anak berbau Timur Tengah lho ya. Ingsun nggak mau punya cucu lelaki bernama Daiyan, Zulfikar, Haikal. Begitu pula cucu perempuan jangan diberi nama Shanum, Aleya, Isdihar. Kita harus bangga dengan nama-nama trah Kurawa.” Pesan Prabu Abiyasa.
“Siap, kanjengrama. Saya akan kasih nama anak-anak kami yang selalu mengakar pada budaya dan sastra Ngastina.” Jawab Destarastra sambil gagap-gagap mencari balpoin.
Maka bayi lelaki paling gede diberi nama Suyudana, adiknya Dursasono. Yang gemuk pendek diberi nama Durmagati. Kecil tampan diberi nama Kartomarmo. Ada pula nama Durmuka, Duskarno, Dursaha, Dursala, termasuk “si kembar” Citraksa dan Citraksi. Dan masih berpuluh nama untuk para bayi lelaki. Adapun bayi wanita satu-satunya diberi nama Dursilawati. Jika tak diingatkan Prabu Abiyasa, Gendari hampir saja memberi nama bayi itu Shanum Aleeya.
Kurawa-100 memang cepat tumbuh-kembangnya, jika ayam pastilah jenis bangkok. Bayangkan, hanya dalam tempo sebulan sudiah anak SD, sehingga mereka dimasukkan ke sekolah SDN 03 Gajahoya tanpa sistem zonasi. Karena demikian banyaknya mereka, pihak sekolah terpaksa membuka 3 kelas baru. Di Ngastina tidak ada istilah PPDB yang katanya akronim kata: Penerimaan Peserta Didik Baru. Di negerinya Prabu Abiyasa, murid istilahnya ya tetap murid bukan peserta didik. Para pakarnya pendidikan memang tahu diri, tak mau nantinya pakar dipanjangkatakan sebagai: apa-apa dibuat sukar.
“Kangmas Destarastra, nanti anak-anak kita tamat SD diwisuda nggak?” tanya Dewi Gendari pada suaminya.
“Rasanya enggaklah, wong ini SD Negeri. Yang begitu-begitu kan sekolah swasta. Lagaknya mau meniru perguruan tinggi, tapi sebetulnya hanya untuk mengeruk uang orangtua murid.” Jawab Destarastra.
Rupanya Destarastra si buta dari Goa Hantu itu selalu mengikuti berita. Meski tak bisa baca koran, tapi juga mendengarkan siaran TV dan omongan orang-orang. Berita-berita di medsos yang rajin membacakan Dewi Gendari. Konten TikTok aling disenangi produk Mom Resinda Ciamis. Banyak yang lucu, meski sedikit saru (jorok). Untung saja Destarastra tak bisa melihat, sehingga tak tahu betapa cantiknya pengisi konten. Jika tahu, salah-salah Dewi Gendari ditinggalkannya. (Ki Guna Watocarita)