Merampas Aset Koruptor

0
293
Koruptor dulu selalu digambarkan perut buncit dan kepala botak. Kini yang muda dan langsing juga banyak jadi maling harta negara.

KORUPTOR itu tikus negara yang berkepala hitam, pakai dasi. Dulu selalu digambarkan perut buncit, kepala botak, usia di atas 50 tahun alias oversek. Tapi di era gombalisasi ini, koruptor muda juga banyak. Perutnya tidak buncit, yang tetap buncit hanya asetnya. Tapi gara-gara ulah mereka, negara Republik Indonesia rugi sampai puluhan triliun setiap tahunnya. Tahun 2021 misalnya, ICW mencatat kerugian negara akibat korupsi mencapai Rp 62,93 triliun. Ironisnya, UU Perampasan Aset justru macet di DPR.

Bahkan pada Maret 2023 lalu Menko Polhukam Mahfud MD berani mengatakan, jika tak ada celah korupsi di sektor pertambangan, rakyat Indonesia sampai anak-anak bisa dapat tunjangan Rp 20 juta sebulan hanya dengan ongkang-ongkang kaki. Bayangkan, dari sektor pertambangan saja sudah begitu banyak yang dimaling para tikus negara, apa lagi sektor-sektor lain. Alangkah bahagia dan sejahteranya rakyat Indonesia, jika nihil korupsi itu benar-benar terjadi. Sayangnya, ini hanya mimpi basah tanpa harus mandi junub!

Bukannya pesimistis, jika korupsi terus terjadi di segala lini, Indonesia bisa jadi negara gagal seperti Srilanka. Tetapi ya bagaimana tidak pesimis, kita sudah punya KPK sejak tahun 2004, tapi belakangan Ketua KPK-nya malah jadi tukang peras tersangka korupsi. Yang di Mahkamah Agung, 2 Hakim MA ditangkap karena korupsi, belum lagi 2 Sekretaris MA yang ikut-ikutan ditangkap gara-gara jadi markus (makelar kasus). Di MK sami mawon, ada yang jual beli hukum, ada pula yang mengotak-atik hukum sehingga ponakan belum cukup umur bisa jadi Cawapres.

Trias Koruptika benar-benar telah terjadi di Indonesia. Bagaimana tidak, para pejabat di eksekutif, legislatif dan yudikatif; kesemuanya banyak yang terlibat kasus  korupsi. Dengan demikian Indonesia ini kini bagaikan mobil yang keropos, kelihatan bagus hanya karena banyak dempulan Isamu dan pengecetan yang rata. Tapi jika diketuk-ketuk bunyinya dog dog dog, bukan lagi thek thek thek…….

Sebetulnya ada resep manjur pemberantasan korupsi, yakni dengan meniru cara-cara RRC. Di sana, koruptor diadili dengan cepat dan langsung didor di depan publik. Bukan saja pelakunya, keluarga yang ikut menikmati termasuk istri dan anak, harus ikut mati juga di depan regu tembak. Sayangnya Indonesia takut dengan Komnas HAM, karena kata mereka menghukum mati koruptor tidak akan menyelesaikan masalah. Siapa bilang? Buktinya RRC kini telah menyaingi AS sebagai negara maju.

PM China Zhu Rongji di tahun 1998 pernah mengatakan, siapkan 100 peti mati untuk koruptor. Yang 99 untuk para koruptor, sisakan 1 untuk saya jika terlibat korupsi. Bagaimana dengan kita? UU pemberantasan korupsi lewat KPK justru diperlemah, baru kali ini KPK tidak independent karena di bawah Presiden bahkan pegawainya jadi ASN. Paling tragis adalah, ada pengakuan mantan Ketua KPK Agus Rahardjo, pernah dimarahi Presiden Jokowi gara-gara mengusut Setyo Novanto Ketua DPR yang korupsi Proyek E-KTP Rp 5,6 triliun. “Kasihan” memang Setnov, jidat kadung mencono segede bakpao isi kacang ijo, tetap saja masuk hotel prodeo!

Lalu bagaimana lagi cara membasmi korupsi di negeri ini? Lewat tembak mati koruptor, tidak boleh karena itu melanggar HAM, katanya. Apakah dihukum picis ala perwayangan saja? Praktisinya tidak sampai mati, tapi cukup diikat di perempatan jalan, setiap orang lewat wajib menggores tubuhnya pakai kater sampai berdarah-darah. Kalaupun nanti mati pada akhirnya, bukan karena dikater orang bergantian, melainkan kena tetanus! Jadi tersangkanya ya tetanus itu sendiri.

Sebetulnya ada cara lumayan jitu untuk membasmi korupsi di negara kita, yakni lewat perampasan asset koruptor alias dimiskinkan. Siapapun yang terlibat korupsi setelah diputuskan Pengadilan, aset pribadinya dirampas negara. Itu tak hanya yang jelas-jelas hasil korupsi, justru harta pribadi yang tak sesuai dengan penghasilannya secara normal, juga dibeslah pula.

Sayangnya RUU-nya macet di DPR. Dibahas sejak Mei 2023 hingga kini tak kunjung jadi, apa lagi disahkan. Kabarnya, karena para Ketum parpol berkeberatan. Itu bisa dimaknai bahwa para Ketum itu khawatir jika nanti kadernya yang terlibat korupsi baik di legislatif (DPR-DPRD) maupun eksekutif (Walikota, Bupati, Gubernur dan Mentri) benar-benar dibikin miskin sampai jadi kere. Kasihan kan jika kadernya yang sudah kadung kere harus menerima BLT. (Cantrik Metaram).

Advertisement div class="td-visible-desktop">