Peluang sekecil apapun biasanya akan dicari, diciptakan, dan kemudian dimanfatkan oleh para pelaku kejahatan. Apalagi, jika celah untuk melakukannya terbuka lebar-lebar, sedangkan potensi risikonya termasuk sanksi hukum minim, bahkan tidak ada sama sekali.
Hal itu agaknya yang membuat leluasa para calon kepala daerah, terutama para petahana peserta pilkada. Mereka mengucurkan dana hibah dan bansos sebagai “pelumas mesin politik” di saat kampanye untuk menjalan kendaraan mereka menuju tampuk pimpinan daerah.
Komisioner Indonesia Corruption Watch (ICW) Ade Irawan, Komisioner Masyarakat Peduli Demokrasi (Perludem) Didik Supriyanto dan Pengamat Politik Pusat Kajian Politik Universitas Indonesia (Puskapol UI) Sri Eko Budi Wardani dalam Bincang Pagi di TV One, Kamis (12/11), sependapat, sulit, bahkan nyaris mustahil, untuk mengawasi dana Bansos tidak dimanfaatkan oleh para peserta Pilkada.
Didik berpendapat, pemerintah pusat harus konsisten dengan segera melakukan moratorium terhadap penganggaran dana Bansos dan hibah. Karena sudah hampir bisa dipastikan dan sudah menjadi isu laten, dimanfaatkan oleh peserta Pilkada guna mengongkosi kegiatan kampanye.
“Lebih baik dihentikan atau dalihkan untuk kepentingan lain yang bermanfaat bagi rakyat,” ujarnya. Pencairan dana Hibah atau Bansos, menurut dia, sangat mudah dan ‘fleksibel” sehingga rawan dimanipulasi. Kepala Daerah (sebagai petahana) berkolaboasi dengan DPRD, biasanya menyampaikan list atau daftar orang, kelompok atau organisasi yang akan menerima aliran dana, kemudian diverifikasi oleh kepala dinas (tingkat Satuan Kerja Pemerintah Daerah – SKPD).
Menjelang Pilkada, menurut Didik, bermunculan yayasan-yayasan baru yang jika ditelusuri beralamat palsu, atau jika jelas alamatnya, fiktif kegiatannya. Yayasan-yayasan yang direkomendasikan oleh bakal calon atau peserta pilkada digunakan menampung aliran dana Bansos.
Begitu pentingnya dana Bansos bagi Parpol, ungkap Didik, tercermin dari terjadinya tarik-urat antara Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo dengan Fraksi FDIP di DPRD provinsi tersebut yang mengusungnya dalam Pilkada. Ganjar menolak pencantuman alokasi dana bansos dalam APBD sebelum penggunaannya dipertanggungjawabkan dengan jelas, sebaliknya DPRD ngotot menggolkannya.
Sri Wardani berpendapat, kemendagri seharusnya memiliki kewenangan untuk melakukan intervensi pengawasan penggunaan dana Bansos, baik di kantor-kantor kementerian maupun di daerah-daerah. “Mestinya aparat kemendagri memiliki kepekaan menelisik tren kenaikan dana bansos menjelang Pilkada, “ katanya.
Sementara Ade berpendapat, jika moratorium belum bisa dilakukan, pengawasan terhadap penggunaan dana Bansos harus transparan dengan membukanya ke publik, misalnya dengan menyampaikan ke media, memampangnya di tempat-tempat umum atau melalui website.
“Kita tidak bisa berharap banyak, dengan menyerahkan pengawasan pada DPRD yang sering menjadi bagian dari proyek berjamaah, ‘bagi-bagi’ dana Bansos, “ tuturnya.
Didik, Sri Wardani dan Ade Irawan sependapat, perlu dilakukan deregulasi untuk melakukan moratorium penganggaran dana Bansos, atau paling tidak melarang pengucuran dana satu tahun menjelang Pilkada.
Dugaan penggunaan dana Bansos dan hibah secara tersamar oleh calon kepala derah selama masa kampanye juga ditengarai oleh Plt Wakil Ketua KPK Indriyanto Seno Aji. “Hal itu memberikan andil terjadinya dugaan Tindak Pidana Korupsi,” ujarnya.
Lonjakan luar biasa alokasi dana bantuan sosial dan hibah menjelang Pilkada serentak mendatang (9/12), bahkan ada yang meningkat sampai hampir 20 kali lipat diungkapkan oleh Public Virtue Institute baru-baru ini.
Dana bansos yang seharusnya diulurkan kepada rakyat yang memerlukannya ternyata sering disalahgunakan oleh para calon kepala daerah terutama para petahana untuk memenangkan Pilkada. Tercatat 90 daerah kabupaten/kota yang bansos dan hibahnya meningkat, 10 diantaranya melonjak minimal dua kali lipat. Petahana mencalonkan diri lagi dalam pilkada di seluruh 90 daerah tersebut.
Bancakan dana bansos secara berjamaah melibatkan seluruh unsur pemerintahan, baik eksekutif, yudikatif dan legislatif (termasuk ketua, wakil ketua dan anggota DPRD) dan juga melibatkan parpol, tercermin dalam kasus persidangan yang masih berlangsung terhadap Gubernur Sumatera (non aktif) Gatot Pujo Nugrtoho.
Dugaan terkait penggunaan dana Bansos dan hibah secara tersamar oleh calon kepala derah selama kampanye untuk memenangkan Pilkada juga ditengarai oleh Plt Wakil Ketua KPK Indriyanto Seno Aji. “Hal itu memberikan andil terjadinya dugaan Tindak Pidana Korupsi, “ ujarnya.
Urutan besarnya lonjakan alokasi dana bansos dan hibah Ke-10 daerah: Konawe Utara (naik 1.884 persen – Rp4,8 milyar), Bangka Selatan (601,5 persen – Rp16,8 milyar), Labuhanbatu Utara (432,9 persen -Rp29,5 milyar), Kotabaru ( 270,7 persen – Rp33,8 milyar), Seluma (213,6 prsen – Rp12,7 milyar), Pematang Siantar 180,9 persen – Rp13,031 milyar), Sungai Penuh (169 persen – Rp7,3 milyar), Pesawaran (168,4 persen – Rp19,7 milyar), Manado (167,9 persen – Rp55,9 milyar) dan Pangkajene (159,4 persen – Rp13,2 milyar).
Diperlukan segara sikap proaktif untuk menghentikan bancakan dana Bansos berulang-ulang dari Pemilu ke Pemilu, PIlkada ke Pilkada, karena rakyat jelas lebih memerlukannya.