BASUDEWA terkenal wayang mata keranjang. Bini sudah tiga, cantik-cantik pula, tetapi masih juga main lirak-lirik bini orang. Diam-diam dia selingkuh dengan Nyai Sagopi istri demang Antyagopa di Widarakandhang. Maka lihat saja Patih Udawa yang di kemudian hari menjadi patih Dwarawati, tampangnya kan mirip-mirip Prabu Basudewa. Jikalau ada perbedaan hanyalah soal rejeki. Sebagai pejabat tinggi negara dia punya rekening gendut di Bank, sedangkan Udawa hanya punya rekening PLN dan PAM.
Paling aneh, meski bini sudah ombyokan, Prabu Basudewa tak juga betah di rumah. Hobinya jadi wayang petualang. Bukan mendaki gunung atau arum jeram, tapi grogol. Apa itu grogol? Jangan salah, ini bukan Grogol terminal bis, melainkan grogol dalam pengertian berburu di hutan. Sebulan sekali beliau bersama patih dan punakawan pasti tinggalkan kerajaan, untuk ngudak-udak macan dan babi hutan. Kalau dapat rusa, di istana langsung dimasak, dibuat tengkleng dan gule.
“He, patih Saraprabawa, jangan banyak makan daging rusa kamu. Bisa kena stroke.” Prabu Basudewa mengingatkan.
“Biarin! Dulu Gus Dur habis kena stroke malah jadi presiden.” Jawab kipatih seenaknya sambil terus menghisap sungsum.
Telah menjadi jadwal tetap, pada hari Dhite Manis (Minggu Legi), Prabu Basudewa berburu ke hutan di kaki Gunung Mahendra. Personalnya juga tetap: Sang Prabu, Patih Suraprabowo dan punakawan Gareng Petruk. Tapi sial kali ini, tak satupun dapat sasaran. Babi hutan, rusa, apa lagi macan; sama sekali tak ketemu. Bahkan yang ada justru onggokan barang-barang bekas. Rupanya kaum pemulung sengaja menampung hasil pulungannya ke dalam hutan, agar tidak mencemari lingkungan. Soal kebersihan lingkungan Mandura memang punya aturan ketat, pelanggar didenda Rp 500.000,-
“Sialan, sepeda rongsokan anak gue ada di sini,” kata Petruk.
“Namanya pemulung, apa saja ditelateni,” tambah Gareng.
Selama ditinggal berburu ke hutan, roda pemerintahan negeri Mandura diserahkan kepada adiknya, Aryaprabu. Tugasnya sekedar gunting pita atau menabuh gong peresmian proyek, memberi sambutan dan memimpin rapat. Namun soal perijinan, harus menunggu Prabu Basudewa kembali. Masalahnya, jika ada amplop-amplop gendut dari pemohon, itu termasuk domain (wewenang) pribadi sang prabu Basudewa.
“Tanda tangan perijinan proyek nggak gampang, jika keliru bisa bisa digugat ke PTUN, lho….,” Prabu Basudewa mencoba menakut-nakuti.
“Oh baik Mas, saya tahu kok.” jawab Aryoprabu, karena memang tahu apa yang tersirat dari yang tersurat.
Ketiga istri raja Mandura itu masing-masing bernama: Dewi Mahindra, Badraini, dan Maerah. Ketiga-tiganya juga belum punya momongan, padahal juga tak pernah lupa dicas bergilir. Makanya, Prabu Basudewa menjadi demikian jenuh pada istri sendiri. Karena itu pula, lama tak ketemu bini tenag-tenang saja dia.
Alkisah, Prabu Gorawongso yang pemerhati kasus Yesica Wongso, sudah lama kasmaran dengan Dewi Maerah bini Prabu Basudewa. Masalahnya, dari ketiga bini raja negeri Mandura tersebut, dialah yang tercatat paling ayu, semog, kulit putih bersih dan betis mbunting padi. Demikian kasmarannya dia pada Dewi Maerah, segala sepak terjang wanita itu selalu dimonitor, dikirimi facebook segala, meski tak pernah dibalas.
“He patih Suratrimantra, aku kepengin memperbaiki keturunan. Misalkan aku menginginkan Dewi Maerah dari Mandura, bagaimana? Ada komentar” ujar raja raksasa itu mencoba konsultasi dengan kipatih.
“Itu ide yang bagus. Tapi paduka harus menyamar mirip Prabu Basudewa, jangan mirip anggota DPR terlibat e-KTP. Kacau nanti urusannya,” saran patih Suratrimantra sambil menyembah.
Demi mendengar kabar bahwa raja negeri Mandura tengah berburu, Prabu Gorawongso segera menyamar sebagai Prabu Basudewa. Dengan pakaian kebesaran raja, yang ternyata malah kekecilan, langsung menuju taman keputren Mandura. Dewa Maerah terkejut sekali, mengapa sang prabu yang baru saja pergi berburu selama dua hari sudah pulang? Katanya, kangennya ngepol pada sang istri. Bisa saja bikin rayuan gombal. Tapi karena Maerah sendiri juga sudah lama menderita malarindu, karenanya hasrat Prabu Basudewa yang menggebu-gebu itu segera dilayani hingga skor menjadi 3-0.
Tapi sial, belum juga ada “perpanjangan waktu” seperti layaknya main bola, mendadak tilam rum (kamar) digedor-gedor Satpam. Wah, repot betul. Mau bersembunyi di kolong, kagak muat. Mau naik ke plafon, takut jebol. Akhirnya Basudewa abal-abal itu kepalang basah harus pasang badan menghadapi Arya Prabu yang telah bersenjata.
“Ada apa Dimas? Kakanda kan baru ada keperluan, kenapa kamu nyelonong saja? Bikin kaco acara saja kamu…..,” Gorawongso yang mirip Basudewa itu marah sekali, padahal baru saja melakukan tendangan duabelas pas.
“Aiyah, kamu kan cuma mirip Basudewa, kan? Mana mungkin Basudewa banyak panu, nggak miyayeni sama sekali” Aryaprabu main tuduh.
Ratu mirip Basudewa itupun digeledhah, tanpa kulanuwun. Ternyata betul, e-KTP-nya atas nama Prabu Gorawongso. Langsung saja raja Sengkapura itu dibuat bancakan, digebuki hingga tewas dan dibakar seperti korban kerusuhan Mei 1998. Prabu Basudewa demi mendengar skandal di taman keputren, segera pulang dan mempersingkat perburuannya. Sial betul prabu Basudewa, punya bini tiga ternyata satu punya PIL. Ditinggal pergi mbebedhag (berburu) di istana malah ‘dibedhog” (dinodai) orang.
Pemred koran dan teve segera dipanggil sang prabu, diajak makan-makan di restoran Padang. Habis itu lalu digelar konprensi pers, dengan pesan media massa dan elektronik dilarang memberitakan skandal tersebut. Barang siapa berani melanggar konsesus, SIUP-nya akan dicabut dan wartawan dan Pemrednya dikandangi.
Di samping itu Prabu Basudewa juga memerintahkan kepada Dewi Maerah untuk menjalani test pisik, sejauh mana penodaan atas diri istri raja Mandura ini telah terjadi. Dan ternyata, tokcer juga ratu Sengkapura itu. Hanya dalam hitungan sebulan perut Maerah telah menggelembung dengan muatan janin di dalamnya. Saat di-USG (Ultra Sono Grafi) di Puskesmas, nampak bayi lelaki yang berwujud setengah buta (raksasa). Gawat nih, jika nanti menjadi buta galak solahe lunjak-lunjak bagaimana coba?
“Saya tidak sudi punya anak semi raksasa, maka mulai hari ini dhiajeng terpaksa dideportasi ke dalam hutan,” perintah Prabu Basudewa marah sekali.
“Kenapa Sinuwun setega itu? Saya kan nggak sengaja. Saya kira waktu itu Sinuwun sendiri, karena sepakterjangnya luar biasa, rosa-rosa seperti Mbah Marijan,” sindir Dewi Maerah.
“Mbuhhhhhh……!”
Sebetulnya sudah banyak yang melobi, termasuk Aryaprabu sendiri, bahkan pengacaranya, Keprita Amputa. Tapi vonis Prabu Basudewa tak bisa diubah, sehingga Dewi Maerah tetap dibuang ke tengah hutan. Kecuali nanti jika 10 tahun ada perubahan perilaku, Maerah bisa dikembalikan ke publik. Namanya ini hukum alternatip.
Patih Sengkapura Suratrimantra mendengar berita tersebut segera mengadakan aksi tanggap darurat. Meski dalam hutan Dewi Maerah dapat tunjangan KSH (Kartu Sengkapura Hamil), seminggu Rp 600.000,- untuk anggaran kontrol di puskesmas dan persalinan nanti.
Saat bayi itu lahir, diberi nama Kangsadewa, sayang Dewi Maerah konduran (meninggal saat melahirkan). Bayi itu dipelihara Suratrimantra, di mana setelah dewasa nanti akan menjadi teroris dan wayang radikal di Mandura, karena menuntut bagian negara Mandura sesigar semangka (separo), tanpa surat pelepasan hak lewat notaris. (Ki Guna Watoncarita).