Dari pertengahan Mei 2015 lalu, Korea Selatan sibuk mengatasi penularan penyakit MERS yang menyebar begitu cepat. Hingga Selasa (9/6/2015) jumlah yang terjangkiti MERS di negara itu tercatat 108 orang, 9 orang dinyatakan meninggal dan ribuan orang dikarantina.
MERS adalah penyakit yang disebabkan oleh Corona virus yang disebut Middle East Respiratory Syndrome Coronavirus (MERS-Cov). Insiden MERS pertama kali dilaporkan pada tahun 2012 di Arab Saudi. Karena itu Mers juga dikenal sebagai penyakit flu Arab. Pada kurun waktu tiga bulan, sejak April sampai dengan Juni 2013, jumlah infeksi MERS-Cov di dunia tercatat sebanyak 64 kasus dengan 38 kematian.
MERS menyerang saluran pernapasan yang menyerupai sakit flu biasa, mulai dari yang ringan hingga berat. Gejalanya adalah demam, batuk dan sesak nafas, dan bersifat akut. Sebagian besar penyakit MERS dilaporkan terjadi pada usia di atas 50 tahun dan sebagian besar terjadi pada laki-laki.
Dalam laporan penelitian yang dimuat mBio, jurnal ilmiah komunitas ilmuwan mikrobiologi Amerika Serikat, jejak tersebut ditemukan pada 7 November 2013 oleh tim peneliti yang dipimpin Esam Azhar, professor virologi medis di Universitas Raja Abdulaziz, Jeddah, Arab Saudi.
Hari itu merupakan hari yang sama ketika salah satu dari empat ekor unta di kandang dinyatakan positif mengidap MERS.
Tim peneliti lalu kembali mengambil sampel udara di kandang yang terletak dekat Kota Jeddah itu selama dua hari berturut-turut. Hasilnya, virus MERS tidak bisa dideteksi.
Azhar menduga ada dua kemungkinan yang menjelaskan mengapa virus itu tidak bisa dideteksi pada hari kedua dan hari ketiga pengambilan sampel. Masa endapan virus, menurutnya, boleh jadi pendek atau tidak tetap.
“Yang jelas, molekul virus MERS yang kami deteksi di udara 100% sama dengan rangkaian gen virus yang ada di unta. Hal ini menggarisbawahi perlunya penyelidikan lebih lanjut dan langkah-langkah guna mencegah penyebaran virus mematikan ini ke udara,” kata Azhar yang dikutip kantor berita AFP.
Sebelumnya, keempat unta di kandang menunjukkan gejala-gejala MERS, termasuk cairan yang keluar dari hidung. Sang pemilik kemudian memaparkan obat tetes hidung ke salah satu unta.
Sepekan kemudian, pria berusia 43 tahun itu dirawat di Rumah Sakit Universitas King Abdulaziz di Jeddah, akibat virus MERS. Belakangan kondisinya kian parah dan dia pun meninggal dunia.
“Penelitian ini juga menggarisbawahi pentingnya perolehan data rekam jejak klinis secara rinci dengan menekankan apakah pengidap bersentuhan dengan hewan yang terpapar MERS. Sebab, laporan terkini mengindikasikan orang-orang yang bekerja dengan unta memiliki risiko infeksi (MERS) yang lebih tinggi,” kata Azhar sebagaimana dikutip kantor berita Reuters.
Sampai saat ini, para ilmuwan belum bisa memastikan asal usul virus MERS. Namun, beberapa kajian mengaitkan keberadaan virus itu dengan unta. Kajian-kajian itu meneliti kemungkinan virus itu ditularkan ke manusia melalui konsumsi daging unta mentah dan susu unta yang belum dipasteurisasi.
Untuk mencegah kemungkinan tersebut, Badan Kesehatan Dunia (WHO) dan Kementerian Kesehatan Arab Saudi mengimbau kepada masyarakat untuk mengonsumsi daging unta matang dan susu unta yang telah dipasteurisasi.
Para pekerja di rumah jagal unta juga diimbau untuk mengambil langkah antisipasi, termasuk mencuci tangan seusai bersentuhan dengan unta, mengenakan masker pelindung, dan memakai busana pelindung.
Penelitian
Virus MERS-Cov ini tidak sama dengan corona virus penyebab penyakit Severe Acute Respiratory Syndrome (SARS), namun mirip dengan corona virus yang terdapat pada kelelawar.
Penyakit MERS dapat menular antar manusia secara terbatas, dan tidak terdapat transmisi penularan antar manusia yang berkelanjutan. Kemungkinan penularannya dapat melalui kontak langsung melalui percikan dahak (droplet) pada saat pasien batuk atau bersin, maupun secara tidak langsung melalui kontak dengan benda yang terkontaminasi virus MERS-Cov.
Hingga saat ini, belum ada vaksin yang tersedia untuk melawan MERS ini. Pengobatan anti viral yang bersifat spesifik juga belum ada. Tim medis melakukan pengobatan terhadap pasien secara parsial tergantung kondisi pasien. Seperti jika pasien panas maka diberi obat penurun panas, jika pasien batuk diberi obat batuk. Belum ada obat yang komplit untuk melawan seluruh penyakit yang ditimbulkan MERS ini.
Para peneliti telah berusaha menemukan vaksin untuk penyembuhan yang tepat dari virus MERS. Hasil penelitian menyatakan, vaksin yang digunakan untuk mengobati Hepatitis C bisa mencegah replika virus MERS.
Ilmuwan dari NIH (National Institute of Health) telah menemukan bahwa gabungan dari obat interferon-alpha 2b dan ribavirin bisa mengobati penyakit MERS. Sampai saat ini, gabungan kedua obat itu digunakan untuk terapi bagi penderita yang mengidap virus hepatitis C.
Penelitian ini melakukan uji tes terhadao 6 kera Makaka yang sudah terinfeksi virus MERS. 3 dari 6 kera tersebut mendapatkan terapi gabungan dari obat hepatitis C sedangkan 3 kera lainnya tidak dilakukan perawatan apapun.
Setelah beberapa jam, kera yang mendapatkan terapi kombinasi dari obat hepatitis C lebih sedikit mengalami gangguan pernapasan dan masalah lainnya. Bahkan, hanya sedikit terlihat pneumonia berdasarkan pemeriksaan dari sinar-X. Dilihat dari pemeriksaan laboratorium bahwa 3 kera yang mendapatkan terapi tersebut memiliki jumlah virus yang sedikit.
Selain itu, kerusakan di bagian paru-paru juga lebih sedikit. Sedangkan 3 kera lainnya yang tidak mendapatkan pengobatan mengalami berbagai masalah.
Jurnal Nature Medicine menyebutkan terapi untuk MERS dilakukan dengan menggabungkan obat interferon-alpha 2b dan ribavirin. Akan tetapi terapi itu hanya digunakan melawan infeksi awal dari MERS-CoV.
Untuk pencegahan, agar tidak terkena MERS disarankan dokter dengan PHBS (pola hidup bersih dan sehat), menghindari kontak langsung dengan penderita, menggunakan masker, menjaga kebersihan tangan dengan sering mencuci tangan dengan sabun dan menerapkan etika batuk ketika sakit. – Dari berbagai sumber