Berbekal Rp15 Ribu Berdakwah ke Negeri Kanguru

0
218

Maha Suci Allah Yang telah memperjalankan seorang hamba dari Jakarta-Indonesia ke Sydney-Australia. Perjalanan yang cukup jauh, bukan sekedar jalan-jalan biasa, namun perjalanan yang membawa misi mulia, yaitu berdakwah. Namun, percaya atau tidak, perjalanan ke negeri Kanguru ini hanya berbekal uang sebesar Rp15 ribu. Pengalaman unik ini diceritakan oleh Ustadz Budi Juliandi, salah satu peserta program Dai Ambasador Dompet Dhuafa tahun 2013 lalu.

*** 

Sejak dinyatakan lulus dan ditetapkan bahwa saya akan ke Australia, belum ada kepastian kapan saya harus berangkat ke Negeri Kanguru tersebut. Sebab, ada sejumlah hal yang harus diurus seperti paspor, visa dan lainnya. Bahkan, saya sempat dikirim ke Balikpapan, Kalimantan Timur oleh Dompet Dhuafa untuk berdakwah menggantikan ustadz yang berhalangan selama empat hari.

Sabtu, 20 Juli 2013 pagi, saya tiba kembali di Jakarta setelah tugas di Balikpapan selesai. Hari itu juga saya mendapat informasi bahwa saya harus berangkat ke Australia malam harinya. Itu pun belum ada kepastian pukul berapa pesawat yang akan mengantar saya ke Australia take off, sebab tiket pesawat belum saya dapatkan. Di tengah ketidakpastian, saya tetap mempersiapkan diri seperti mengemas barang-barang dan menyelesaikan segalaurusan yang belum selesai.

Kepastian jadwal keberangkatan baru saya dapatkan sekitar pukul 20.00 WIB atau jam delapan malam. Diinformasikan, pesawat saya akan take off dari Bandar Udara Internasional Soekarno-Hatta pada pukul 22.50 WIB. Semestinya saya harus sudah berada di bandara pada pukul 21.00 WIB untuk check in dan mengurus administrasi di pintu imigrasi bandara. Mengingat kondisi jalanan Jakarta yang hampir tidak pernah lengang, saya khawatir tidak bisa tiba tepat waktu karena terjebak kemacetan.

Dengan sedikit memaksa, saya meminta supir taksi yang mengantar saya ke bandara untuk mempercepat laju kendaraan, dan saya pun tiba di bandara Cengkareng pukul 22.00 WIB. Untukmembayar taksi, saya keluarkan uang Rp 150 ribu dan jumlah yang sama juga saya keluarkan untuk membayar airport tax.

Setelah semua pembayaran selesai diurus, saya baru tersadar bahwa sisa uang yang saya pegang hanya Rp 15 ribu. Akibat kesibukan mengurus berbagai hal, rupanya saya lupa menyiapkan uang sebagai bekal perjalanan. Jangankan uang dolar Australia, rupiah pun hanya tinggal tersisa dua lembar di saku.

Karena ini adalah pengalaman pertama ke luar negeri, saya tidak tahu apakah ada hal lain yang harus saya bayar. Maka, dengan keringat dingin, saya masuk menuju pintu imigrasi setelah selesai memasukkan barang ke bagasi. Jika masih ada pembayaran lanjutan di dalam terminal Bandara Cengkareng atau saat tiba di Bandara Sydney, maka selesailah perjuangan saya sebelum memulai dakwah di Australia.

Tapi syukur alhamdulillah, ternyata saya tidak harus membayar apa-apa lagi hingga tiba di Bandara Sydney. Meski demikian, kecemasan belum berakhir. Saya masih ketar-ketir karena setibanya di Sydney, saya tidak melihat Mas Putra, perwakilan dari Dompet Dhuafa Australia yang menjemput saya. Sebelum berangkat saya memang tidak sempat melakukan kontak untuk membuat janji, sebab saya pikir setibanya di Bandara Sydney saya bisa menghubunginya melalui telepon genggam. Tapi, ternyata telepon saya tidak bisa melakukan kontak. Selama satu setengah jam saya telusuri pelosok bandara sambil berharap ada orang yang memegang kertas bertuliskan nama saya. Saya dan Mas Putra belum pernah bertemu, jika tidak ada komunikasi telepon ataupun papan nama yang bertuliskan nama saya, kami pasti tidak akan mengenali satu sama lain.

Sempat terpikir untuk nekat naik taksi menuju kantor Dompet Dhuafa Australia yang berada di Bankstown, negara bagian New South Wales. Setelah tiba, nanti saya minta staf Dompet Dhuafa untuk membayar ongkos taksi. Sempat juga terpikir untuk langsung menuju ke Masjid Al-Hijrah di wilayah komunitas Muslim asal Indonesia di Tempe, 9 kilometer sebelah selatan Kota Sydney. Tapi semua rencana itu saya urungkan untuk sementara karena saya yakin ada yang menjemput saya di bandara.

Dalam suhu udara yang sangat dingin itu, akhirnya saya memberanikan diri meminta pertolongan orang lain. Kebetulan saya melihat ada sekelompok orang berwajah melayu di dekat tempat saya berdiri. Setelah saya sapa, ternyata mereka berasal dari Indonesia. Maka, saya meminta tolong untuk menghubungi nomer telepon Mas Putra menggunakan telepon genggam milik salah satu dari mereka.

Ternyata, Mas Putra juga sudah berada di bandara dan sudah cukup lama mencari saya. Dia juga kesulitan mengindentifikasi saya karena belum pernah bertemu sama sekali kecuali melalui perbincangan di e mail. Mas Putra berharap menemukan sosok saya yang berpakaian layaknya ustadz lengkap dengan baju koko dan peci. Tapi, kebetulan saat itu saya justru berpakaian kasual dengan jaket sehingga tidak dikenali. Melalui sambungan telepon itu kami pun berhasil bertemu dan langsung menuju Kantor Dompet Dhuafa Australia di Bankstown di negara bagian New South Wales.

Begitu tiba di Bankstown, saya tidak sempat lagi beristirahat karena sudah harus menjalankan tugas pertama saya dalam misi dakwah di Australia. Bakda shalat ashar, saya sudah dijemput salah seorang jemaah untuk mengisi ceramah dan sekaligus menjadi imam tarawih. Kami menempuh perjalanan selama satu jam menggunakan mobil untuk tiba di kediaman salah satu anggota pengajian, tempat digelarnya taklim tersebut. Ada kenyamanan tersendiri ketika puluhan jemaah pengajian yang sudah menunggu menyambut kedatangan saya. Bukan hanya karena mereka orang Indonesia, tapi semuanya juga berbahasa Minang. Ternyata, para jemaah pengajian tersebut adalah anggota Ikatan Keluarga Padang Panjang, Batipuh, Sepuluh Koto (IKAPABASKO) Australia.

Kebetulan saya sendiri walaupun lahir di Medan, Sumatera Utara, kedua orang tua saya berasal dari Bukittinggi, Sumatera Barat yang juga sering menggunakan Bahasa Minang dalam percakapan sehari-hari. Jadilah pertemuan itu seperti sebuah reuni keluarga besar asal Minangkabau dan hasilnya saya langsung bisa segera beradaptasi dengan orang-orang tua di dalam komunitas tersebut yang saya anggap sebagai ninik-mamak, sebutan penghormatan untuk orang-orang tua di Minangkabau.

Saya merasa tidak sedang berada di Australia saat berbincang dengan mereka. Saya merasa berada di Rumah Gadang Sumatera Barat. Keakraban ini juga membantu saya dalam beradaptasi dengan cuaca Australia yang mulai masuk musim dingin.  Dengan persiapan alakadarnya, saya hanya mengenakan jaket yang tidak cukup tebal dari Jakarta. Kedua telapak tangan saya juga tak terlindungi dari dinginnya suhu yang menusuk tulang. Alhamdulillah, salah satu jamaah yang menyadari keadaan saya berbaik hati memberikan jaket yang lebih tebal.

Bersambung……

Advertisement div class="td-visible-desktop">

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here