
BERITA ini sungguh menyenangkan bagi kaum suami. Jika Anies berhasil jadi presiden maka yang dapat cuti melahirkan bukan saja istri yang pegawai swasta maupun pemerintah, tetapi juga suaminya sekaligus. Cuti untuk kaum “penyetrum” itu juga tidak tanggung-tanggung; bukan seminggu atau 2 minggu, tetapi 40 hari, mirip slametan kematian! Padahal jika sampai diberlakukan, bisa “mengancam” produktivitas nasional tetapi makin menambah lahirnya generasi melineal.
Dalam acara Desak Anies edisi Perempuan di Jalan Half Patiunus, Jakarta Selatan, Kamis (18/1) kemarin, Capres No. 01 itu menjanjikan, jika menang akan memberikan cuti juga bagi para suami yang istrinya melahirkan. Yang selama ini terjadi, yang dapat cuti melahirkan hanya istri itu sendiri, sedangkan suami paling 2 hari. Data menyebutkan, 1,7 juta dari 11 juta perempuan usia 20-24 tahun memilih untuk berhenti bekerja dengan alasan menikah atau punya anak.
Apa yang disebut Anies tidak salah memang, jarang perusahaan swasta memberikan cuti bagi para suami saat istrinya bersalin. Paling-paling suami minta izin, saat jemput istri pulang dari RS. Lagi pula, memangnya suami istri ini sama sekali tak punya keluarga? Tak memililiki PRT? Para suami selama ini tak pernah mempermasalahkan soal tiadanya cuti saat istrinya melahirkan. Mereka sadar diri, yang enak suami kok kemudian dibebankan ke perusahaan.
Sebetulnya pengaturan mengenai cuti hamil/melahirkan diatur dalam Pasal 82 UU Ketenagakerjaan No. 13 Tahun 2003. Dan ketika UU itu melebur dalam UU Ciptaker, sama sekali aturannya juga tidak diubah. Pada ayat 1 disebutkan: Pekerja perempuan berhak memperoleh istirahat selama 1,5 (satu setengah) bulan sebelum saatnya melahirkan anak dan 1,5 (satu setengah) bulan sesudah melahirkan menurut perhitungan dokter kandungan atau bidan.
Cuma untuk kalangan ibu-ibu rumahtangga ASN, cuti kelahiran itu dibatasi sampai anak ketiga. Anak ke empat cutinya di luar tanggungan negara, artinya selama 3 bulan tersebut sang ibu tidak menerima gaji pemerintah. Dan selama ini para ibu muda yang procat-procot melahirkan, juga tak pernah memasalahkan.
Ini sama halnya dengan kaum suami yang tak pernah mempermasalahkan cuti bagi dirinya ketika istri melahirkan. Sebab dalam kultur Indonesia, ketika mendengar anak perempuannya mau melahirkan, yang tinggal di kampung pun segera datang untuk melihat cucu. Nah kebutuhan istri melahirkan yang mengurus ya ibu kandung atau mertua, sedangkan para suami tetap tenggelam dalam kesibukan kerjanya. Yang umum terjadi seperti itu.
Dan Anies ingin memberi kebebasan pada para suami. Selama bini melahirkan, jangan sibuk dengan urusan kantornya. Urus juga istri dan anakmu, sehingga akan bisa menimbulkan kesadaran betapa reportnya seorang istri ketika melahirkan dan setelahnya. Banyak wanita bertaruh nyawa dan kalah, dalam melahirkan buah cinta kasih mereka. Para suami harus tahu ini, jangan asal selesai “nyetrom” ditinggal begitu saja.
Cuma masa cuti yang sampai 40 hari itu, apakah tidak terlalu lama? Ini bisa “mengancam” produktivitas nasional. Indonesia sekarang ini menurut data BKKBN setahunnya lahir 44 juta bayi, berarti setiap bulannya lahir sekitar 3,6 juta manusia baru. Bila seperempat dari mereka ini suami istri pegawai atau ASN, berarti ada sekitar 900.000 suami di rumah saja selama 40 hari. Kewajiban mereka di kantor/perusahaan diambil oleh teman sekerjanya.
Dan paling “berbahaya”, orang Jawa punya keyakinan dan ini dibenarkan juga di dunia medis, istri pasca melahirkan baru bisa “disentuh” kembali oleh suami setelah 40 hari. Sebab jaringan kawasan kandungan dan sekitarnya baru normal kembali. Nah, itulah hari-hari paling membahagiakan bagi para suami. Sebab setelah “gencatan senjata” selama 40 hari, tanpa seizin Dewan Keamanan PBB pun rudal balistik sudah boleh kembali dilepaskan. Duerr….duerrr, dorrr, mblbbb…..! (Cantrik Metaram)