Rokok yang berawal dari penggunaan tembakau oleh masyarakat asli Amerika, seperti suku Maya dan Aztec, sekitar 4.000 tahun SM kemudian dibawa oleh Christopher Columbus yang menemukan tembakau saat berlabuh di Pulau San Salvador.
Penduduk asli memberikan daun tembakau sebagai hadiah, yang kemudian dibawa Colombus ke Eropa dan menjadi komoditas dagang yang populer. Rokok kemudian menyebar ke seluruh dunia, menjadi bagian dari budaya dan gaya hidup di banyak negara, meskipun dampak buruknya terhadap kesehatan semakin diakui.
Data dari Global Adult Tobacco Survey (GATS) Indonesia Report 2021 mengungkapkan bahwa sekitar 34,5% orang dewasa di Indonesia atau setara dengan lebih dari 70 juta pengguna produk tembakau.
Survei Kesehatan Indonesia (SKI) 2023 mengungkapkan bahwa dari sekitar 70 juta perokok aktif, sekitar 7,4% di antaranya berusia antara 10-18 tahun. Angka yang berbeda di global didapat dari Global Youth Tobacco Survey (GYTS) menunjukkan bahwa prevalensi rokok di kalangan siswa sekolah usia 13-15 tahun berada pada kisaran 18,3% hingga 19,2% dalam beberapa survei terakhir.
Angka ini cenderung menunjukkan hampir satu dari lima siswa di kelompok usia tersebut pernah merokok atau sudah merokok, menandakan bahwa masalah perokok dini merupakan tantangan kesehatan masyarakat secara global. Perbedaan angka antara Indonesia dan global bisa jadi disebabkan oleh variasi metodologi pengumpulan data dan definisi “perokok dini”.
Merokok di usia dini memiliki dampak yang cukup signifikan terhadap kesehatan mental, terutama karena gabungan faktor biologis dan psikososial.
Berikut beberapa aspek utamanya:
Dampak Biologis dan Perkembangan Otak:
Pada masa remaja, otak sedang dalam tahap perkembangan yang sensitif. Paparan nikotin dari rokok dapat mengganggu proses pematangan otak terutama pada sistem neurotransmiter, seperti dopamin, yang berperan penting dalam sistem hadiah (reward system).
Gangguan pada regulasi dopamin ini tidak hanya berkontribusi pada ketergantungan, tetapi juga berpotensi mengubah cara otak mengelola emosi, stres, dan pola pikir yang menyangkut kecemasan atau depresi. Dengan demikian, perokok muda lebih berisiko mengalami gangguan mental jangka panjang karena perubahan neurokimiawi yang terjadi sejak dini .
Faktor Psikososial dan Lingkungan:
Selain aspek biologis, merokok di usia dini seringkali dipicu oleh tekanan lingkungan, seperti pengaruh teman sebaya, tekanan untuk diterima di lingkungan sosial, dan stres dari kehidupan sekolah atau keluarga. Pada masa remaja, pencarian identitas dan pencarian penerimaan sering membuat individu rentan terhadap perilaku merokok sebagai mekanisme koping.
Ironisnya, meskipun merokok sempat memberikan perasaan relaksasi sementara, efek jangka panjangnya justru meningkatkan kecenderungan mengalami gangguan emosional, seperti kecemasan dan depresi. Studi pada remaja, misalnya di MAN 2 Bogor, telah menemukan hubungan signifikan antara perilaku merokok dengan gangguan mental emosional .
Keterkaitan dengan Gangguan Mental Emosional:
Kombinasi efek biologis serta faktor psikososial memunculkan pola di mana remaja yang mulai merokok memiliki risiko lebih tinggi untuk mengalami gangguan mental.
Penelitian menunjukkan bahwa perokok muda cenderung mengalami peningkatan gejala seperti stres, kecemasan, dan depresi.
Merokok sebagai respons terhadap tekanan emosional justru menambah beban psikologis, sehingga menciptakan siklus yang memperburuk kondisi mental. Keterlibatan dalam aktivitas merokok sejak dini juga mengganggu perkembangan mekanisme koping yang sehat, yang berperan penting dalam menjaga keseimbangan emosional .
Secara keseluruhan, merokok di usia dini tidak hanya berakibat pada kesehatan fisik, tetapi juga memiliki implikasi serius terhadap kesehatan mental. Gangguan pada perkembangan otak bersamaan dengan tekanan psikososial meningkatkan risiko munculnya kecemasan, depresi, dan gangguan emosional lainnya.
Berbicara secara spesifik tentang kecanduan zat, tampak bahwa perokok—khususnya yang sudah memulai kebiasaan merokok sejak masa remaja—lebih rentan terhadap penyalahgunaan beberapa jenis NAPZA diantaranya :
Minuman Keras (Alkohol):
Banyak studi mengindikasikan bahwa perilaku merokok seringkali berjalan seiring dengan penyalahgunaan minuman keras. Mekanisme adiksi yang dimiliki nikotin dapat menurunkan ambang untuk mencari efek “reward” yang mirip, sehingga individu cenderung pula mengeksplorasi konsumsi alkohol sebagai cara mendapatkan sensasi kepuasan emosional dan relaksasi.
Sejumlah penelitian, termasuk penelitian di kalangan remaja, menunjukkan bahwa kombinasi penggunaan rokok dan alkohol merupakan pola umum yang terjadi sejak usia muda .
Narkotika (seperti Ganja dan Opiat):
Selain alkohol, data dan kajian lapangan juga mengungkapkan hubungan positif antara merokok dengan penggunaan zat narkotika. Teori gateway menjelaskan bahwa kebiasaan merokok dapat membuka jalan bagi pencarian sensasi yang lebih intens melalui zat psikoaktif lain seperti ganja dan, dalam beberapa kasus, opioid.
Temuan dalam studi yang dilakukan oleh lembaga pendidikan,menunjukkan bahwa perokok remaja cenderung memperlihatkan risiko yang lebih tinggi untuk mulai bereksperimen dengan narkotika .
Psikotropika Lainnya:
Meskipun data yang tersedia seringkali menekankan alkohol dan narkotika, beberapa penelitian juga menemukan bahwa pola perilaku adiktif dari perokok dapat menyertakan penggunaan zat lain yang mengubah kondisi mental atau suasana hati, seperti ekstasi atau zat serupa, meskipun ini cenderung kurang dominan dibandingkan alkohol dan narkotika.
Mekanisme di balik kecenderungan ini diyakini berkaitan dengan efek adiktif nikotin yang dapat memicu sistem reward di otak, serta faktor psikososial seperti tekanan lingkungan dan pencarian identitas—terutama pada remaja.
Perokok yang sudah terbiasa mendapatkan kepuasan dari efek nikotin, kemudian cenderung mencari “sensasi” lebih lanjut ketika dihadapkan dengan akses ke zat lain, sehingga memberikan lahan subur bagi penyalahgunaan NAPZA.
Beberapa negara telah melakukan pendekatan yang terbukti efektif dalam mencegah inisiasi merokok pada usia muda, di antaranya :
1. Menerapkan Kebijakan Batas Usia Minimal (T21)
Sebuah studi yang dianalisis melalui data dari Sistem Surveilans Faktor Risiko Perilaku (Behavioral Risk Factor Surveillance System) di Amerika Serikat menunjukkan bahwa penerapan undang-undang “T21”—yang menaikkan batas usia pembelian tembakau dari 18 tahun menjadi 21 tahun— menunjukkan bahwa prevalensi perokok harian di antara kelompok usia 18–20 tahun menurun drastis, dari sekitar 2,2% pada tahun 2016 menjadi hampir nol pada tahun 2019.
Data tersebut menunjukkan bahwa peningkatan batas usia memiliki dampak langsung dalam mencegah perokok muda agar tidak terjebak dalam kebiasaan merokok sejak dini.
2. Pendekatan Komprehensif mulai dari iklan sampai pengaturan harga
Swedia telah dikutip sebagai model sukses berkat revolusi bebas rokok yang didukung oleh kebijakan pengendalian tembakau yang terintegrasi terhadap regulasi iklan dan promosi yang ketat sehingga anak muda tidak terpapar citra positif rokok; kenaikan cukai rokok yang membuat produk tembakau kurang terjangkau bagi remaja; dan adopsi produk alternatif nikotin yang membantu mengalihkan kecenderungan ke produk yang berisiko lebih rendah.
Meskipun kebijakan yang diterapkan tidak eksklusif untuk pencegahan perokok muda, strategi-strategi tersebut secara tidak langsung berdampak pada lingkungan yang kurang mendukung inisiasi merokok di kalangan anak dan remaja. Pendekatan holistik ini telah mengurangi prevalensi merokok secara keseluruhan dan menciptakan norma sosial yang menolak penggunaan tembakau sejak usia dini.
3. Program Edukasi dan Pencegahan
Beberapa negara seperti Australia dan Inggris telah memusatkan upaya pada pendidikan anti merokok di sekolah dan kampanye kesehatan masyarakat yang menyasar kelompok remaja. Program intervensi komprehensif yang melibatkan kurikulum sekolah, pelatihan keterampilan menolak tekanan teman sebaya, dan dukungan keluarga telah terbukti menurunkan angka inisiasi merokok.
Studi di kedua negara menunjukkan bahwa meningkatkan kesadaran tentang dampak kesehatan rokok dan membekali remaja dengan strategi koping untuk menghadapi tekanan sosial secara signifikan menurunkan kecenderungan mereka untuk mulai merokok.
Dari ketiga pendekatan di atas, kombinasi regulasi yang ketat (seperti T21), kebijakan fiskal, dan program edukasi berbasis komunitas terbukti paling efektif dalam mencegah inisiasi merokok di kalangan anak dan remaja.
Masing-masing studi tersebut menekankan bahwa intervensi multi-sektor—di mana pemerintah, lembaga pendidikan, dan masyarakat bekerja sama—mampu menciptakan lingkungan yang mendukung hidup bebas rokok. Pendekatan semacam ini menyediakan model yang dapat diadaptasi untuk konteks lokal dalam upaya penurunan prevalensi perokok muda secara global.